PMS adalah monster merah berlendir yang saban sebulan sekali rajin bertandang tanpa diundang. Ia datang tanpa sekeranjang buah tangan, apalagi berharap menyulam kenangan. Di kepalanya ada antena berbentuk cula, yang semakin membuat jahat bentuk mukanya. Rambut berapinya panjang menyentuh tanah, membakar tanah. Tidak ada senjata di kedua tangannya. Tapi jangan tanya bentuk jemarinya, kalau kamu pernah melihat duri landak, seperti itulah kurang lebihnya. Jumlah jarinya bukan lagi lima, aku kira mereka lebih dari seratus sekian nomina. Ia juga punya kebiasaan bertelanjang kaki, biar ia bisa merasakan gairah api dari perut bumi. Dan seperti kebanyakan monster seram lainnya, ia punya ekor panjang yang tumbuh di antara belahan pantatnya. Saking panjangnya, kamu bisa melilitkannya di dahan berotot besar untuk dijadikan ayunan. Tapi itu jauh panggang dari api, karena ia tidak suka teman yang mengalun, apalagi bersenang-senang mengejar angin dalam gerakan berayun.
Ia adalah monster. Ia adalah pemangsa. Tak ada
kata ‘teman’ dalam kamus tebalnya. Teman adalah kondisi sementara dari apa yang
disebutnya: calon-korban-selanjutnya. JADI, jangan coba-coba sok akrab
dengannya. Itu sama halnya dengan memasukkan kepala tanpa prasangka ke dalam
mulut singa. Dan – tentu saja – itu tak ada keren-kerennya.
Monster tetaplah monster. Sang pemangsa yang
ditakdirkan membuat memar luka.
PMS adalah monster merah berlendir yang suka
marah-marah hingga pipinya memerah. Ia suka mengerang dengan amat garang. Ia suka
mengeluh sampai berpeluh. Ia suka menggerutu hingga gigi geliginya saling
beradu. Ia suka super sensitif bila disentil sedikit. Ia suka menyampah dan
menyumpah tanpa peduli siapa yang salah. Ia suka menunujuk telunjuk tanpa mau
menundukkan tengkuk.
Monster merah adalah monster yang sinis. Monster merah
adalah monster yang bengis.
PMS adalah monster merah berlendir yang beberapa
hari dalam sebulan setia duduk di pangkuan. Ia adalah perwakilan. Memegang kendali
penuh atas kuasa diriku. Ia adalah pembuat luka. Lidahnya setajam satu helai rambut
dibelah tujuh. Yang tanpa rasa dan tanpa nyana memenggal ulu hati siapa saja
yang ada di hadapan, sekali tebas!
Aku tak kuasa melawan. Otakku beku, lidahku kelu. Hatiku
membatu. Ia mengikat tanganku ke belakang, dengan simpul mati yang perihnya
sampai hati. Ia menekuk paksa lututku, membentur keras ubin dingin – bunyinya terdengar
seperti retakan gempa berkekuatan diatas 8.0 skala richter. Menarik ke belakang rambutku sekencang-kencangnya,
hingga urat leherku menegang kencang, nyaris putus! LANTAS, ia memasangkan rantai
baja ke pangkal leherku, dingin yang beku. Yang kemudian dengan angkuh hati
menyeret-nyeretku kemana saja ia suka. Tertawa-tawa dengan jumawanya. Mendudukiku
laksana singgasananya. Aku tak berdaya, aku tanpa kuasa.
PMS adalah monster merah berlendir yang sesuka
hatinya melukai perasaan apa-apa yang ada dihadapannya. Aku sedih melihatnya, tapi
aku bisa apa? Aku hanyalah tawanan, yang tak punya daya memutar haluan. Ia menancapkan
taring dan cakarnya ke tubuh teman, saudara dan orang-orang lainnya. Hingga kadang
menembus sampai ke dasar hati. Membuatku tak enak hati.
PMS adalah monster merah berlendir yang
kelakuannya sering minus. Membuat mukaku cemberut dan berkerut. Kelakuannya sering
kusesali. Diam-diam aku banyak berdoa dalam hati, semoga ia lekas pergi. Monster merah berlendir
itu membuatku asing dengan diri sendiri. Seperti tersesat di tengah kota yang
nama-nama jalannya susah di-eja. Aku tahu bukan diriku yang di dalam sana, tapi
yang di luar sana tahu apa?
Aku jadi tampak jahat, seperti penyihir tua dengan
tudung kepala hitamnya. Aku jadi sangat menyebalkan, seperti siaran berita televisi
yang diputar berulang-ulang tanpa kenal bosan.
Aku inginnya setiap monster PMS itu datang bertandang,
secara otomatis ada papan peringatan yang menancap di jidatku. Yang mana
bunyinya seperti ini: ‘hati-hati, lagi
galak!’
Sekarang ini monster merah berlendir sedang
menguasaiku. Tak ada pilihan lain kecuali pasrah melihatnya bermain-main
menggunakan tubuhku. Berasyik masyuk dengan ragaku, sungguh tak punya malu!
Sampai di waktu ia akan berlalu, aku hanya bisa
menggerutu tanpa tanda seru, tanpa seorang pun yang tahu, sendiri bersembunyi
di kolong ranjangku. ‘Apakah kamu
mendengarku bergumam, hu-hu-hu?’
Tidak ada komentar:
Posting Komentar