Senin, 28 Januari 2013

P[re] M[enstrual] S[yndrome]


PMS adalah monster merah berlendir yang saban sebulan sekali rajin bertandang tanpa diundang. Ia datang tanpa sekeranjang buah tangan, apalagi berharap menyulam kenangan. Di kepalanya ada antena berbentuk cula, yang semakin membuat jahat bentuk mukanya. Rambut berapinya panjang menyentuh tanah, membakar tanah. Tidak ada senjata di kedua tangannya. Tapi jangan tanya bentuk jemarinya, kalau kamu pernah melihat duri landak, seperti itulah kurang lebihnya. Jumlah jarinya bukan lagi lima, aku kira mereka lebih dari seratus sekian nomina. Ia juga punya kebiasaan bertelanjang kaki, biar ia bisa merasakan gairah api dari perut bumi. Dan seperti kebanyakan monster seram lainnya, ia punya ekor panjang yang tumbuh di antara belahan pantatnya. Saking panjangnya, kamu bisa melilitkannya di dahan berotot besar untuk dijadikan ayunan. Tapi itu jauh panggang dari api, karena ia tidak suka teman yang mengalun, apalagi bersenang-senang mengejar angin dalam gerakan berayun.

Ia adalah monster. Ia adalah pemangsa. Tak ada kata ‘teman’ dalam kamus tebalnya. Teman adalah kondisi sementara dari apa yang disebutnya: calon-korban-selanjutnya. JADI, jangan coba-coba sok akrab dengannya. Itu sama halnya dengan memasukkan kepala tanpa prasangka ke dalam mulut singa. Dan – tentu saja – itu tak ada keren-kerennya.
Monster tetaplah monster. Sang pemangsa yang ditakdirkan membuat memar luka. 

PMS adalah monster merah berlendir yang suka marah-marah hingga pipinya memerah. Ia suka mengerang dengan amat garang. Ia suka mengeluh sampai berpeluh. Ia suka menggerutu hingga gigi geliginya saling beradu. Ia suka super sensitif bila disentil sedikit. Ia suka menyampah dan menyumpah tanpa peduli siapa yang salah. Ia suka menunujuk telunjuk tanpa mau menundukkan tengkuk.
Monster merah adalah monster yang sinis. Monster merah adalah monster yang bengis. 

PMS adalah monster merah berlendir yang beberapa hari dalam sebulan setia duduk di pangkuan. Ia adalah perwakilan. Memegang kendali penuh atas kuasa diriku. Ia adalah pembuat luka. Lidahnya setajam satu helai rambut dibelah tujuh. Yang tanpa rasa dan tanpa nyana memenggal ulu hati siapa saja yang ada di hadapan, sekali tebas!
Aku tak kuasa melawan. Otakku beku, lidahku kelu. Hatiku membatu. Ia mengikat tanganku ke belakang, dengan simpul mati yang perihnya sampai hati. Ia menekuk paksa lututku, membentur keras ubin dingin – bunyinya terdengar seperti retakan gempa berkekuatan diatas 8.0 skala richter. Menarik ke belakang rambutku sekencang-kencangnya, hingga urat leherku menegang kencang, nyaris putus! LANTAS, ia memasangkan rantai baja ke pangkal leherku, dingin yang beku. Yang kemudian dengan angkuh hati menyeret-nyeretku kemana saja ia suka. Tertawa-tawa dengan jumawanya. Mendudukiku laksana singgasananya. Aku tak berdaya, aku tanpa kuasa. 

PMS adalah monster merah berlendir yang sesuka hatinya melukai perasaan apa-apa yang ada dihadapannya. Aku sedih melihatnya, tapi aku bisa apa? Aku hanyalah tawanan, yang tak punya daya memutar haluan. Ia menancapkan taring dan cakarnya ke tubuh teman, saudara dan orang-orang lainnya. Hingga kadang menembus sampai ke dasar hati. Membuatku tak enak hati. 

PMS adalah monster merah berlendir yang kelakuannya sering minus. Membuat mukaku cemberut dan berkerut. Kelakuannya sering kusesali. Diam-diam aku banyak berdoa dalam hati, semoga ia lekas pergi. Monster merah berlendir itu membuatku asing dengan diri sendiri. Seperti tersesat di tengah kota yang nama-nama jalannya susah di-eja. Aku tahu bukan diriku yang di dalam sana, tapi yang di luar sana tahu apa?
Aku jadi tampak jahat, seperti penyihir tua dengan tudung kepala hitamnya. Aku jadi sangat menyebalkan, seperti siaran berita televisi yang diputar berulang-ulang tanpa kenal bosan.
Aku inginnya setiap monster PMS itu datang bertandang, secara otomatis ada papan peringatan yang menancap di jidatku. Yang mana bunyinya seperti ini: ‘hati-hati, lagi galak!’ 

Sekarang ini monster merah berlendir sedang menguasaiku. Tak ada pilihan lain kecuali pasrah melihatnya bermain-main menggunakan tubuhku. Berasyik masyuk dengan ragaku, sungguh tak punya malu!
Sampai di waktu ia akan berlalu, aku hanya bisa menggerutu tanpa tanda seru, tanpa seorang pun yang tahu, sendiri bersembunyi di kolong ranjangku. ‘Apakah kamu mendengarku bergumam, hu-hu-hu?’


Tidak ada komentar: