Senin, 28 Januari 2013

BEKAS


Apakah kamu punya bekas luka? Luka karena kecerobohan sendiri atau karena suatu hal yang tak bisa kamu hindari? Apakah luka itu sangat mengganggu penampilanmu? Apakah orang-orang sibuk mengolokmu karena hal itu? Dan kamu merasa semakin jauh dari standar cantik yang ada di iklan-iklan tivi, apakah seperti itu?
 
Hufh, saya mulai bosan banyak bertanya. Membuat saya terlihat seperti: wartawan-infotainment-yang-mau-tahu-segalanya. Saya tahu rasanya ditanya-tanya itu seperti apa, dan itu tidaklah menyenangkan - semoga kamu tidak melihat saya sebagai suatu hal yang menyebalkan.
Oke, kembali ke luka-luka itu. Kalau kamu merasa seperti di atas, menganggukkan kepala dengan semua tanya saya tersebut dan lantas di pikiranmu terbersit keinginan untuk melakukan segala cara menghilangkannya, mulai dari salep pemburam bekas luka sampai operasi kecantikan untuk melibas habisnya sampai mulus, itu HAK kamu! Lha wong itu uang-uangmu dan situ mampu ya sah dan silahkan saja. Saya bukan polisi moral yang harus bilang: ‘Hei, semua perempuan itu cantik lho. Yang penting kan inner beauty-nya.’ Ya elah, kalau yang ngomong kayak mbak Dian Sastro ya sama dengan bohong besar kali. Lha apa beliaunya pernah merasa ‘jelek’ gitu? Lha mindset setiap orang kan beda-beda, mana tahan juga bila setiap hari dibombardir dengan iklan-iklan brengsek yang membuat perempuan semakin tak ubahnya barang yang dipajang di etalase toko. Hanya sebagai pemuas daya visual semata, saudara-saudara.
Dan ya itulah kampretnya, kita ini ya mau-mau aja, kagak keberatan malah. Kita dijadikan objek penghasil uang, dan kita dengan nyamannya duduk adem ayem di atas empuknya sofa sambil ngemil remah-remah kertas dari majalah fashion dan life-style yang baru beli kemarin. Ya begitulah kita, lalu mau apa? Ini zaman visual, mau tak mau standar citra-lah yang berkuasa. Mari beri peluk dan cium untuk yang-mulia-televisi-tercinta. 

Eh, kenapa itu preambule-nya panjang bener, mau kemana dan mau naik apa kita? Hehe, jadi begini, sebenarnya saya mau ngomongin tentang bekas luka dan bekas lainnya. Bekas luka yang saya maksud di sini bukan bekas luka yang masif, yang biasa-biasa saja sebenarnya. Salahkan hormon ketidakpedulian saya! Dari dulu saya cuek-cuek saja kalau kulit saya punya sayat panjang karena kecerobohan sendiri, lebih tepatnya kelemahan tubuh saya dalam memindai rute jalan yang benar. Ini secara harfiah lho, seperti kena goresan pinggir meja yang konturnya tidak rata, kena duri-duri hasil blusukan di kebun belakang rumah, kena cipratan minyak goreng yang panas saat membuat telur mata sapi, tergores pisau saat mengupas kentang dan lain sebagainya. Beruntunglah, saya punya kulit yang lumayan bisa menahan rasa sakit. jadi kalau terkena kejadian macam itu, ya saya biarkan saja. Saya gak panik cari-cari obat penghilang nyeri atau plester penutup luka. Saya santai saja. Kan saya punya obat alami yang bisa saya hasilkan sendiri. Ya, saya punya kelenjar ludah yang ampuh. Tinggal lulurkan pada lukanya dan voila! Rasa nyerinya bakalan berkurang [terdengar jorok bangget yah? Hehe]. Lalu bekas lukanya? Ah, biarkan itu jadi tugas tuhan si maha tahu saja. Dan kalaupun tak akan hilang, anggap saja itu sebagai tanda pengingat – tatto alami. Kebetulan daya ingat saya lemah sekali. 

Seperti halnya noda di baju: kena cipratan sambal dan kecap saat menyantap bakso, merah-merah hasil berkelahi dengan teman di kaos yang sekarang sudah belel sekali, bekas ingus habis menangis sesenggukan karena hal sepele di lengan baju, noda warna merah cat saat membuat mural yang tak sengaja terciprat di celana, mimisan yang meluncur deras di bagian depan kaos yang warnanya sekarang sudah tidak merah lagi – eh, apakah saya terlalu sering menyebut warna merah? Ah, dasar alien dari planet merah!
Saya tak juga berusaha untuk menghapusnya dengan merendamnya memakai deterjen dengan daya luntur noda yang dahsyat. Saya sangat suka memandanginya, seperti melihat sebuah cerita. Seperti noda kopi di kaos yang sekarang saya pakai, ini karena ulah seorang teman yang iseng mendorong saya saat saya akan memonyongkan bibir ke mulut cangkir berisi kopi yang belum habis separo. Uh, dasar! Hei teman, apa kabar? 

Oh, saya memang menikmatinya, tapi apa kabar dengan ibu saya yang selalu cerewet dengan segala kecuekan saya ini? Wahai ibu, anakmu ini punya alasan yang sahih lho. Tapi beliaunya pasti punya seribu satu alasan untuk menyerang balik – ugh, seluruh ibu di jagat raya bakalan begitu.
Ayo itu bajunya dicuci yang bersih, kasihan bajunya kena noda kotor kayak gitu – Itu kenapa jerawat di pipi di pelihara terus, makanya rajin-rajin bersihin muka – Itu kenapa tangan kok dibiarin melepuh, cepet diolesin salep sana – Dan blablabla lainnya, saudara.
Dan saya-pun hanya bisa menjawab ya, ya dan ya. Namun sayangnya itu hanya sebatas wacana. He-he-he… 

DAN, entah ini parah atau tidak. Saya punya bekas jahitan karena kecelakaan di dahi sebelah kiri, lumayan kelihatan lho. Tapi saya sendiri tak pernah merasa melihatnya. Yang lantas dengan masa bodohnya, saya menguncir kuda rambut sebahu saya ini. Kening pun sukses terekspos secara vulgarnya. Sedang tidak peduli dengan poni di dahi, karena menurut saya ponytail tanpa poni itu seksi. Oh pohon durian, apakah saya ini perempuan? Huwahahaha…. >.<


Tidak ada komentar: