Selasa, 14 Desember 2010

Saya Dirayu Setan Untuk [Menjadi] Sedih



"Seandainya engkau dulu mempunyai keberanian untuk mencintaiku sebagaimana layaknya seorang pria mencintai wanita..."


Ha ha ha... entah setan apa yang sedang bertengger di pundak saya saat ini. Tiba-tiba ia merayu saya untuk melihat di balik punggung.
"Lihat... bianglala itu terus berputar. Sangat cepat. Tak maukah kau memberi jeda?"
"Untuk apa?"
"Apakah kau tak rindu mengulang kenangan? Dibalik jeda, kau bisa memutar balik arah bianglala itu."
"Untuk mengenang apa dan siapa?"
"Tidak-kah kau ingat, di sana pernah duduk seorang anak laki-laki sebayamu. Kalian duduk berseberangan arah. Ingin saling mendekat, tapi sama-sama takut jatuh, karena bianglala sudah terlanjur berputar..."
"Bah! Hentikan khotbah omong kosongmu itu! Aku sedang tak ingin bermain peran dalam drama melankolis."
"Engkau takut bukan?"
"Takut apa?"
"Takut karena tak banyak yang bisa kau kenang."
"Engkau salah... aku masih punya ruang ingatan tentang sosoknya di pojok otakku. Meski tak banyak, paling tidak aku masih punya..."
"Ha ha ha... Iya. Tapi itu kenangan yang berjarak. Ingatan yang tak ramah, dingin dan kikuk. Menyedihkan!"
"Sudahlah! Hentikan celotehan busukmu. Aku tak tertarik memberi jeda. Biarkan bianglalanya terus berputar."
"Kau pikir tadi itu apa hah?! Ha ha ha..."
"Sial! bangsat licik!"

Ha ha ha... Bagus sekali! Terperangkap sekali lagi dalam sirkuit drama mental; melankoli mendalam, sensasi sepi, rasa tak memiliki tempat berpijak. Tak mampu mengebaskannya, hanya menggiring saya dalam medan tangis. 

Ha ha ha... Bukankah ini lucu. Melodramatis bodoh! 

"Silahkan anda menertawakan saya. PEDULI SETAN!!!"

MARI... SAMPAI...


Mari tertawa sekerasnya, sampai perutmu sakit
Mari tersenyum selebarnya, sampai mulutmu kaku
Mari bernyanyi selantangnya, sampai tenggorokanmu kering
Mari menari sebebasnya, sampai kaki dan tanganmu mati rasa

Mari menangis sepuasnya, sampai hatimu kebas
Mari lanjutkan lagi...
Tertawa...
Tersenyum...
Bernyanyi...
Menari...

Dan menangis...
[mari kita ulangi siklus-nya]
                                                                         

UNTITLED


“Engkau ini happy terus ya…”
“Enak ya jadi kamu, hidup kayak gak ada beban”
“Heran, kamu ini pernah punya masalah gak sih. Kog perasaan jarang bahkan gak pernah aku lihat kamu itu sedih atau menangis. Kerjaanmu setiap hari kalau gak tersenyum dan tertawa, sudah seperti orang gila saja. Ha ha ha…”


Begitulah sebagian apa kata mereka [sahabat] mengenai apa yang mereka sebut dengan “kelihatannya” aku ini, yang sepertinya bahagia selalu dan melulu. Tidak sepenuhnya salah memang, tapi tak sepenuhnya benar juga. Apalah artinya hidup tanpa masalah dan air mata. Aku pun pernah. Aku pernah tahu seperti apa rasanya menangis sampai dada seakan mau meledak, saat hati meninju tepat dan telak di belakang tengkuk, membuatku sulit bernafas. Dan otak entah melarikan diri kemana… dasar pengecut licik!

Sayangnya aku bukan tipe “berbagi tangis”. Tapi untung aku masih punya koalisi handal; Dia,  malam, tembok dan bantal. Dengan sedikit mantra: “Malam ini juga aku putuskan. Benamkan tangis dalam bantal, dan lupakan seluruh persoalan itu!”.Dan simsalabim adakadabra,  besoknya aku sudah terinveksi virus amnesia. Atau entah, sulit untuk sedih kalau ada efek terang – siang hari.

Silahkan berbagi kesedihan denganku, kapan saja. Dengan senang hati aku akan menjadi “tempat sampah”, aku punya reputasi sebagai pendengar yang baik [he he he]. Dan aku-pun bisa berubah wujud menjadi badut [ho ho ho].

Tapi maaf, sejauh ini aku hanya bisa berbagi kebahagiaan dan kesenangan. Bukannya ingin sok tegar atau tangguh [lagi pula aku tidak tertarik menjadi superhero atau-pun robot], aku hanya masih sanggup menelannya sendiri. Toh, aku punya otak  yang “aneh”. Sepertinya otakku ini sudah di-setel secara otomatis untuk mengaburkan memori-memori yang mengandung air mata [terimakasih untuk Dia]. Hmm… kadang terfikir untuk memeriksakan kepala ini, berhubung aku punya riwayat pelipis kiriku pernah membentur telak batu cadas [tapi aku lupa rasa sakitnya]. Masih ada bekas jahitannya dipelipis sini, yang kata ibuku bisa jadi penanda kalau suatu saat nanti aku hilang. Ha ha ha, konyol… gawat! otak-ku mulai berhalusinasi…

Aku memang tak bahagia setiap hari, tapi pedih-pun pasti punya rasa bosan. Sedih bukan pula harga mati, senyuman dan tawa pasti bisa merayunya. Mungkin ini soal sudut pandang otak dan tata letak hati. Jadi harus pandai-pandai menata ulang dan mendekorasi-nya. Waaah… sepertinya aku harus belajar tentang design interior. He he he…

Selasa, 07 Desember 2010

KEPALA DAN TEMBOK


Kepala : “Mereka bilang aku sinting.”
Tembok : “Bukannya sinting, tapi unik.”
Kepala : “Tembok yang aneh.”
Tembok : “Engkau lebih aneh lagi.”
Kepala : “Ha ha ha…”

Senin, 06 Desember 2010

DIMANAKAH TOLERANSI?


Dimanakah toleransi?
Apakah ia telah bermutasi menjadi dengkul-dengkul sekeras beton.
Ataukah diam-diam bersembunyi di balik sepatu-sepatu mahal berhak tinggi.

Mungkin pula ia sedang hinggap di lipstik-lipstik merah menggoda.
Pemulas bibir topeng-topeng bersorban agama,
yang merasa matahari muncul dari balik punggungnya.

Toleransi adalah sumpah serapah
Toleransi adalah bogem mentah
Toleransi adalah pentungan
Toleransi adalah batu kerikil
Toleransi adalah kerlingan sinis
Toleransi adalah... adalah... adalah...

Lalu, dimanakah toleransi?
Ooh tidak... kita menyembunyikannya di brankas besi.
Dan, kita lupa berapa kombinasi angkanya...

----------------------------


MULUT-MULUT BERBUSA DI LAYAR KACA


“Lompati detail-detailnya, langsung ke pokok permasalahan dan cari solusinya”

Begitu banyak masalah hukum dan politik di negeri ini. Banyak kasus dengan nominal selangit. Menjadi sorotan publik dan santapan utama media-media mainstream. Lalu televisi ramai-ramai mengadakan perbincangan-perbincangan politik. Membahas secara detail dan kadang mendramatisir. Pengamat dan tokoh politik lalu lalang di televisi. Dan kadang para dewan [yang sampai sekarang saya masih heran disembunyikan dimana urat malunya] yang “terhormat” itu ikut nimbrung, yang entah benar-benar peduli atau hanya ingin ikut numpang tenar saja. Kasus-nya pun semakin tidak karu-karuan. Carut marut seperti benang kusut. Diobok-obok sebatas area “mulut”. Sebatas obrolan di warung kopi. Nikmati selagi panas. Sudahi obrolan saat kopi sudah tak hangat lagi.
Yaa… maklum saja, mungkin tradisi masyarakat kita yang suka basa-basi. Kalau gak banyak omong gak asyik. Kalau gak ngomongin orang gak sip. Mungkin kita ini butuh tiga mulut dan satu kuping. Ha ha ha…
Kemudian… saat obrolan politik itu sudah tak menarik lagi, ayo berbondong-bondong ke kasus baru yang lebih besar dan populer. Toh masyarakat ini gampang lupa. Dan dimulailah pertunjukan. Mulut-mulut berbusa menginvasi televisi. Membanjiri otak-otak pemirsanya. Yang lalu memuntahkannya lewat sumpah serapah, pentungan, lemparan batu dan bogem mentah…

PERCAKAPAN DI POJOK OTAK


Percakapan saya dengan seorang teman :
Teman [T] : “Sedang baca buku apa kamu? Coba lihat!”
Saya [S] : “Ini…”
[T] : “Bukannya ini buku tentang agama Kristen ya?”
[S] : “Bukan. Itu buku yang kebetulan saja ceritanya berlatar belakang Vatikan
dengan segala intrik di dalamnya, yang kebetulannya lagi mereka
beragama Kristen. Bukankah nama lain dari kebetulan adalah Tuhan. Jadi
dengan kata lain aku sedang membaca Tuhan, bukan lembaga, lambang
ataupun institusi yang berjubah agama.”
[T] : “Ha ha ha, ayolah… jangan naif! Tema besar yang diangkat dalam buku ini adalah
tentang Kekristusan dan tetek bengeknya.bukan? Dan tentu saja di dalamnya
banyak berisi doktrin- doktrin dan dogma-dogma yang “sengaja” ditulis untuk
ditanamkan kepada pembacanya. Kamu tahu dengan pasti itu kan?”
[S] : “Benar, lalu apa masalahnya?”
[T] : “Ha ha ha, lucu sekali!”
[S] : “Ahh… jangan terlalu sinis begitu. Apa yang salah dengan membaca buku yang
“lain” dari kita. Apa masalahnya dengan buku komunis, atheis, buku-buku agama
[lain], isme- Isme dan bla la bla… Kita ini sudah cukup “dewasa” dan cukup
“tahu”, sudah bukan saatnya mempermasalahkan hal-hal sepele seperti itu.”
[T] : “Hmm… apa kau tak takut dosa?”
[S] : “Ha ha ha. Ayolah… jangan berpikiran sepicik itu. Kita [otak dan rasa] tak akan
berkembang, kalau kita hanya menuruti yang selalu satu selera saja. Hidup ini
tak melulu tentang bunga melati, di luar sana ada banyak betbagai macam bunga;
mawar berduri, bunga bangkai, bunga teratai, bunga matahari dan bunga-bunga
lainnya. Cobalah membaui semuanya, yaa… salah satunya melalui buku tentunya.”
[T] : “Tapi, tetap saja buku-buku kafir itu sumber dosa!”
[S] : “Dosa yang mana? Kafir yang siapa? Itu hanya buah penghakiman dari otak-otak
yang kurang “makan”. Ayolah teman… Tuhan tak se-kaku itu. Ia pastinya kutu
buku, bukannya setiap agama mempunyai bukunya sendiri. Dan mungkin saja Dia
sekarang ini sedang berada di perpustakaanNya yang besar dan nyaman, duduk
menghadap matahari ditemani secangkir teh sedang membaca buku tentang Kremlin.
He he he…”
[T] : “Engkau tak pernah berubah. Selalu menjadikan Tuhan sebagai bahan
kekonyolanmu.”
[S] : “Ahh… kalian selalu salah mempersepsi maksutku, omonganku tak seharfiah itu.”
[T] : “Halah… omong kosong!”
[S] : “Memang… kalau kita teruskan obrolan ini, jatuhnya hanya akan menjadi omong
kosong penuh basa basi belaka. . Inilah susahnya berbicara dengan orang yang
keras kepala, kata-kata hanya akan membentur dikerasnya otakmu yang berbatu.
Tak ada gunanya!”
[T] : “Hah.. Apa kau bilang! Aku keras kepala?!”
[S] : “Iya. Dan untungnya aku pernah membaca buku bagaimana caranya menjinakkan orang
keras kepala macam dirimu. Jadi, tenanglah saja…”
[T] : “Apa?!”
[S] : “Merendam kepalamu itu ke dalam baskom besar berisi es batu. Biar otak di
kepalamu itu mencair!!! Ha ha ha…”
[T] : “Ha ha ha… sialan kau!”
[S] : “Sudah sudah… ayo kita redamkan kepala dengan secangkir teh. tuhan-mu ini
sedang bermurah hati ingin mentraktirmu, eits… bercanda! He he he…”
[T] : “Ha ha ha… dasar aneh!”
[S] : “Memang! He he he… cukup-cukup, secangkir teh sudah tak sabar menunggu omong
kosong kita.”
[T] : ”Ayolah…”
Dan percakapan itu-pun berakhir di secangkir teh… :)

Senin, 29 November 2010

DALAM DIRIKU


dalam diriku mengalir sungai panjang,

darah namanya;

dalam diriku menggenang telaga darah,

sukma namanya;

dalam diriku meriak gelombang sukma,

hidup namanya;

dan karena hidup itu indah,

aku menangis sepuas-puasnya (*)





(*) Sapardi Djoko Damono - Dalam Diriku

...


"Sudah kubilang. Berhenti menyukaiku...!!!
Aku ini batu. Tak punya perasaan..."

Minggu, 28 November 2010

DUH GUSTI...




Duh Gusti...
Mau jadi apa aku ini
Merasa pun tak bisa
Menghamba pun tak mampu
Hanya Sanggup-ku
Membentangkan luang
Dalam rentetan kesia-siaan
Waktu demi waktu
Ruang demi ruang
Rasanya hanya persinggahan saja
Tak sanggup kerasan!

Aku lungrah...
Terpuruk aku pada lelah
Tertunduk aku pada bosan
Aku terus mencari...
Kepalaku penuh dengan gurita tanya
Yang selalu jawabnya berhenti pada koma
Setiap jawabnya merancang tanya
Dan ketika tanya merajuk jawab
Lingkaran setan pun menjelma taring
Yang membuat penat para malaikat
Juga aku terus pula menanti...
Dalam jebakan mimpi yang mengancam
Melemahkan kesadaran atas keberadaan
Ahh...
kadang aku tak ingat lagi
Manakah yang lebih melelahkan
Mencari atau menanti...

Duh Gusti...
Siapakah aku beberapa tahun kedepan
Aku buta arah
Aku tuna langkah
Menangkap angin dalam kebisuan
Hampa...
Kering...
Kosong...
Melayang...
Semangatku tlah mengakar pada lahan tandus
Di titik kulminasi yang meranggas
Luruh terendus musim
Hanya percaya pada berita ramalan cuaca
Pada bibir gincu yang merayu...

Duh...
Aku rapuh di tapal batas musim semi
Hahaha...
Aku ini bener-benar pencundang menyedihkan!!!

OMONG KOSONG DI KEPALA SAYA




Perkenalkan; ini kepala saya
Penuh omong kosong
Absurd
Kata melambung kesana-kemari
Mengeja dibelakang punggung
Suara bertanduk
Suara bersayap
Berisik!

Otak saya adalah balon
Banyak mata ikan
Berenang-renang dengan sirip waktu
Riang
Senyumnya bulan sabit
Setiap malam rajin menyapa suara;
"kapan kau injak ranjaunya...?" [!]

Saya stadium akut
Cih! omong kosong ini semakin gombal saja
Ngelantur tak teratur
Denyutnya tak kenal jeda
Rapat merapat
Keparat!

Terlalu bising mengatasi sendiri
Kuputuskan berbagi dengan tembok!
Ehh, dan Engkau [!]
Tetaplah berdiri disitu
Ada peragaan omong kosong di sini
Hahaha...
Aku masih bisa melihatMu
dari lubang kunci...


Jumat, 14 Mei 2010

SEBUAH KOTA



Aku ingin bercerita kepadamu.Tentang sebuah kota yang mengganggu ingatan.Yang angin dan hawanya mengikat lekat di kepala...
Rasanya baru beberapa hari kemarin aku beranjak dari kota itu.Kota dengan rumah-rumah tua berpintu dan berjendela kayu di gang sempit berlantai batu yang aroma serupa gerimis.Menggoda rasa untuk sudi singgah kembali.Dari pagi ke pagi kembali embun mengecup pucuk-pucuk daun di pot berbunga pelataran rumah yang kuncup di malam hari.Menyejukkan jiwa yang kerontang dibakar siang.Percakapan hangat gelak tawa akrab mengalir seirama angin di tiap sudut kota.Meninggalkan jejak gema di hati...


Sungguh! Menginjakkan kaki ke tempat itu serasa pulang ke rumah.Meringkuk dalam dekapan hangat seorang ibu.Melenakan tapi tak pernah terpuaskan.Sebuah kota yang selaksa opium.Bau tanah,aroma angin,hangatnya sore,geliat malam yang dingin.genitnya mentari pagi,senyum dalam tiap bahasa,hujan di hijau pepohonan,dan........... Semuanya adalah ingatan yang merangsang kenangan.Seperti rasa rindu kepada seorang kekasih yang tak tersampaikan.Sangat merisaukan...

Ahh... Rinduku pada kota itu telah berpeluh sudah.Pasang di malam rembulan karam.Geliat gelisah berlabuh di kontraksi mimpi-mimpi.Yang alurnya sungsang di balik bayang gemintang.Mentari memeras keringat di bau bantal...

Itulah kenapa aku bercerita tentang kota itu kepadamu.Siapa tahu suatu saat kau bisa membawaku kembali kesana.Menikmati suasana kota bersama.Menyesap secangkir teh atau meneguk segelas kopi dibalik punggung bayang-bayang senja.

Hmm... Membayangkannya saja sudah membuat hatiku merona...
Hehehehehe ^^

AKU, LAYANG-LAYANG DAN SENJA KELABU



Tebal sekali awan senja kali ini
Abu-abu warnanya memintal jelang malam
Masih bisa kulihat satu dua layang-layang
Berkejar-kejaran melawan angin
Menurun...
Menaik...
Memutar...
Menukik...
Mencari keseimbangan agar bisa membumbung tinggi
kadang limbung...
Kadang stabil...
Kadang karam...
Kadang pasang...

Disini,dari atas balkon ini

Kunanti dengan sabar
Sampai dimana layang-layang itu,
sanggup mencapai titik tertinggi ke-akuannya
Tapi sayangnya bukan hal yang mudah
Karena angin selalu datang mengacaukannya
Sibuk meracau kesana kemari
Penuh busa menjilat-jilat dengan hasrat
Lihatlah!
Sepertinya ia berhasil
Benang,kerangka,dan kertas
Bukan lagi satu harmoni kolaborasi
Semuanya saling merajuk
Mengusaikan permainan petang ini
Karna senja terlalu kelabu
Terusik angin yang cemburu

Akh...Akhirnya
Satu dua layang-layang telah menyerah kalah
Perlahan-lahan turun mereka memeluk bumi
Esok nanti masih ada hari di kala senja
Masih ada angin yang rawan
Masih ada lawan memburu titik tertinggi
Dan mungkin...
Masih ada aku disini...

Hei...
Pulanglah kalian
Anak-anak penggembala layang-layang
Hari sudah malam menjelang
Orang rumah pasti sudah resah menanti
Mandi...
Siram tubuhmu yang bau matahari
Pun sepiring nasi
Pasti sudah tersedia untukmu
Mengganjal perut laparmu
yang seharian tak kenal lelah menaklukkan angin

Pulanglah kallian...
Bawa pulang layang-layangmu
Jangan risaukan aku
Gerimis tak kan segera datang
Aku masih ingin sendirian disini
Menunggu awan tak lagi kelabu
Biar bisa kunikmati aroma senja
Ingin warnanya meronakan hati
Kutunggu senja kembali merah muda
Kutunggu... 


Senin, 04 Januari 2010

DI BERANDA MALAM HUJAN MENGIRIS GERIMIS

CHAPTER II

Namun…
Niscaya tinggallah doa-doa
Yang dilarungkan dalam secawan candu
Memabukkan…
Menerbangkan gemerlap imaji tanpa batas
Menenangkan…
Aroma terapi mimpi tanpa henti
Tak perlu merasa bersalah
Tak juga penebusan dosa tanpa arah
Selayaknya hujan bagiku
Begitu menggairahkan …
seluruh nafas memburu tanpa ragu
Mengkultuskan saraf dalam aliran darah
Tungku-tungku nadi tak lagi membara
Hanya arang yang tak lagi berapi
Melankolis dramatis…
Saat mendung mengiris gerimis,
dalam gemuruh pelukan hujan
Hujan adalah fragmen
Membingkai setiap ada dan yang tiada
Setipis kulit ari
Ada kalanya…
Sang waktu tersesat dalam perangkap hujan
Saat ujung jariku menyentuh rintiknya
Yang dengan mudahnya
Mengajakku bergelantungan
Di sulur-sulur anggur kenangan lalu
Dan kadang…
Dalam bulir-bulir gerimisnya
Aku bisa melihat apa yang merisaukan
di balik tabir takdir
Yang duduk diam di sana
Angkuh tak tersentuh
Hmm…
Rasakan baunya
Bau hujan pertama
Di penghujung kemarau
Bau tanah kering yang diguyur hujan
Mengkristalkan gemuruh rasa
Membawanya pulang kerumah
Dalam hembusan nafas
Yang mematikan senyap amarah
Ahh…
Akulah pemadat
Yang merindukan hujan
Menghunuskan pedang
Ke ulu hati kemarau
Kala bayang-bayang menjelma sepi
Menjelang sunyi
Dalam kelengahan
yang melelahkan…

Di pelataran malam
Luruh seluruh…

SAYA BARU TAHU



Saya baru tahu
ternyata hidup ini penuh dengan vibrasi
sehingga apa yang kita pikirkan dan kita lakukan
akan kembali ke kehidupan kita

Saya baru tahu
ternyata semua di dunia ini diciptakan secara berpasang-pasangan.

Saya baru tahu
ternyata sukses, gagal, bahagia, nelangsa, cinta, benci, nikah, lajang itu
adalah pilihan namun sering saya tidak sadar kalau saya memilihnya

Saya baru tahu
ternyata tidak ada yang namanya kebetulan
karena semuanya adalah respon dari semua doa dan permintaan yang saya ajukan
namun sering saya tidak menyadarinya

Saya baru tahu
kenapa kadang-kadang doa dan permintaan saya hanya bersemayam di level quanta
dan tidak mampu menjelma di tataran fisik, karena meski saya telah meminta
namun juga meragukannya.

Saya baru tahu
ternyata selama ini saya hanya menggunakan 12% kemampuan diri saya yang
bersumber pada kerja otak dan mengabaikan 88% kekeuatan yang ada pada hati saya.

Saya baru tahu
Ternyata selama ini saya hanya bekerja pada gelombang beta dan tidak pernah
beralih ke gelombang alpha, tetha apalagi delta sehingga semakin keras saya
berusaha semakin sedikit yang saya hasilkan.

Saya baru tahu
ternyata kebahagiaan itu ada di hati bukan pada berapa banyak materi yang saya
punya.

Saya baru tahu
ternyata ketika saya menyerahkan semua urusan secara ikhlas (total surrended)
yang nampak adalah keindahan yang tak berujung

Saya baru tahu
ternyata pada level quanta, semua benda berwujud energi yang dapat di bentuk
menjadi apapun

Saya baru tahu
ternyata semakin banyak saya memberi samakin banyak pula saya menerima

Saya baru tahu
ternyata dunia ini telah diciptakan dengan sistim yang sudah sangat sempurna
sehingga banyak hal yang terjadi di luar kuasa saya sebagai manusia

Saya baru tahu
ternyata saya tidak pernah sendirian karena Tuhan selalu ada kalau saya
mengakses Dia

Saya tahu
mulai sekarang saya harus bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan saya, alam
semesta, diri saya, orang tua saya, keluarga saya, guru-guru saya,
sahabat-sahabat saya, orang yang tidak suka sama saya dan semua orang yang ada
di sekitar saya karena mereka adalah bagian dari hidup saya.





* Zainal M Afandi

DI BERANDA MALAM HUJAN MENGIRIS GERIMIS

CHAPTER I :


"Nak,jangan suka hujan-hujanan di siang bolong begini,
Apalagi pas orang-orang pada khusuk jum'atan,
PAMALI!"
Itu nasehat ibuku.
saat aku kanak-kanak dulu.
Nasehat yang mengancam menurutku.
Tapi aku tak peduli.
Kutulikan seluruh sendi.
Meninggalkan jejak buih di gelombang otakku.
Aku terus berlari.
Berjubah sayap sembrani.
Memeluk rintik hujan di sela-sela jemari.
Dan sampai pada akhirnya...
Sampai pada waktunya...
Sosok ibu adalah penyambung lidah Tuhan.
Dimana setiap kata adalah sabda.
Gerimis menghianatiku.
Merayu beling karatan menelikungku.
Menguakkan gading putih arteri.
Di telapak kaki telanjang tak kenal dosa.
Yang selama ini setia mengajakmu menari.
Melintasi hari berganti mimpi.
Ahh...
Kau menghianatiku gerimis!
Lihatlah...
Darahku liar mencumbumu.
Mengalirkan air di mendung mataku.
Deras mengambang pasang.
Di pelupuk mataku segala luruh.
Dalam bisu yang pilu.
Huh...!
Teganya kau menghianati.
Aku hanya bocah...
Dekil ingusan kurus tak tahu urus.
Kau telah memupus lumpuh keluguanku.
Menguapkan segala naif.
Merintikkan fatamorgana.
Kala...
Hujan mengiris gerimis.
mengembun narasi liris.
Membasahi sajak yang tertikam sepi pagi.
Kutabur kamboja...
Di beranda yang redup suluhnya.
Kujentikkan niscaya.
Menjadikan jelaga selamanya.
Di bayang-bayang semu musim kesumba.
Sepertinya...