Apakah kamu
punya bekas luka? Luka karena kecerobohan sendiri atau karena suatu hal yang
tak bisa kamu hindari? Apakah luka itu sangat mengganggu penampilanmu? Apakah orang-orang
sibuk mengolokmu karena hal itu? Dan kamu merasa semakin jauh dari standar
cantik yang ada di iklan-iklan tivi, apakah seperti itu?
Hufh, saya
mulai bosan banyak bertanya. Membuat saya terlihat seperti:
wartawan-infotainment-yang-mau-tahu-segalanya. Saya tahu rasanya ditanya-tanya
itu seperti apa, dan itu tidaklah menyenangkan - semoga kamu tidak melihat saya sebagai suatu hal yang menyebalkan.
Oke, kembali ke luka-luka itu. Kalau kamu merasa
seperti di atas, menganggukkan kepala dengan semua tanya saya tersebut dan lantas
di pikiranmu terbersit keinginan untuk melakukan segala cara menghilangkannya,
mulai dari salep pemburam bekas luka sampai operasi kecantikan untuk melibas
habisnya sampai mulus, itu HAK kamu! Lha wong itu uang-uangmu dan situ mampu ya
sah dan silahkan saja. Saya bukan polisi moral yang harus bilang: ‘Hei, semua perempuan itu cantik lho. Yang penting
kan inner beauty-nya.’ Ya elah, kalau yang ngomong kayak mbak Dian Sastro
ya sama dengan bohong besar kali. Lha apa beliaunya pernah merasa ‘jelek’ gitu?
Lha mindset setiap orang kan
beda-beda, mana tahan juga bila setiap hari dibombardir dengan iklan-iklan
brengsek yang membuat perempuan semakin tak ubahnya barang yang dipajang di
etalase toko. Hanya sebagai pemuas daya visual semata, saudara-saudara.
Dan ya itulah kampretnya, kita ini ya mau-mau aja,
kagak keberatan malah. Kita dijadikan objek penghasil uang, dan kita dengan
nyamannya duduk adem ayem di atas empuknya sofa sambil ngemil remah-remah
kertas dari majalah fashion dan life-style yang baru beli kemarin. Ya begitulah
kita, lalu mau apa? Ini zaman visual, mau tak mau standar citra-lah yang
berkuasa. Mari beri peluk dan cium untuk yang-mulia-televisi-tercinta.
Eh, kenapa itu preambule-nya panjang bener, mau
kemana dan mau naik apa kita? Hehe, jadi begini, sebenarnya saya mau ngomongin
tentang bekas luka dan bekas lainnya. Bekas luka yang saya maksud di sini bukan
bekas luka yang masif, yang biasa-biasa saja sebenarnya. Salahkan hormon ketidakpedulian saya! Dari dulu saya cuek-cuek saja
kalau kulit saya punya sayat panjang karena kecerobohan sendiri, lebih tepatnya
kelemahan tubuh saya dalam memindai rute jalan yang benar. Ini secara harfiah
lho, seperti kena goresan pinggir meja yang konturnya tidak rata, kena
duri-duri hasil blusukan di kebun belakang rumah, kena cipratan minyak goreng
yang panas saat membuat telur mata sapi, tergores pisau saat mengupas kentang
dan lain sebagainya. Beruntunglah, saya punya kulit yang lumayan bisa menahan
rasa sakit. jadi kalau terkena kejadian macam itu, ya saya biarkan saja. Saya gak
panik cari-cari obat penghilang nyeri atau plester penutup luka. Saya santai
saja. Kan saya punya obat alami yang bisa saya hasilkan sendiri. Ya, saya punya
kelenjar ludah yang ampuh. Tinggal lulurkan pada lukanya dan voila! Rasa nyerinya bakalan berkurang
[terdengar jorok bangget yah? Hehe]. Lalu bekas lukanya? Ah, biarkan itu jadi
tugas tuhan si maha tahu saja. Dan kalaupun tak akan hilang, anggap saja itu sebagai
tanda pengingat – tatto alami. Kebetulan daya ingat saya lemah sekali.
Seperti halnya noda di baju: kena cipratan sambal
dan kecap saat menyantap bakso, merah-merah hasil berkelahi dengan teman di
kaos yang sekarang sudah belel sekali, bekas ingus habis menangis sesenggukan
karena hal sepele di lengan baju, noda warna merah cat saat membuat
mural yang tak sengaja terciprat di
celana, mimisan yang meluncur deras di bagian depan kaos yang warnanya sekarang
sudah tidak merah lagi – eh, apakah saya terlalu sering menyebut warna merah? Ah, dasar alien dari planet merah!
Saya tak juga berusaha untuk menghapusnya dengan
merendamnya memakai deterjen dengan daya luntur noda yang dahsyat. Saya sangat
suka memandanginya, seperti melihat sebuah cerita. Seperti noda kopi di kaos
yang sekarang saya pakai, ini karena ulah seorang teman yang iseng mendorong
saya saat saya akan memonyongkan bibir
ke mulut cangkir berisi kopi yang belum habis separo. Uh, dasar! Hei teman, apa kabar?
Oh, saya memang menikmatinya, tapi apa kabar
dengan ibu saya yang selalu cerewet dengan segala kecuekan saya ini? Wahai ibu,
anakmu ini punya alasan yang sahih lho. Tapi beliaunya pasti punya seribu satu
alasan untuk menyerang balik – ugh,
seluruh ibu di jagat raya bakalan begitu.
Ayo itu
bajunya dicuci yang bersih, kasihan bajunya kena noda kotor kayak gitu – Itu kenapa
jerawat di pipi di pelihara terus, makanya rajin-rajin bersihin muka – Itu kenapa
tangan kok dibiarin melepuh, cepet diolesin salep sana – Dan blablabla
lainnya, saudara.
Dan saya-pun hanya bisa menjawab ya, ya dan ya. Namun
sayangnya itu hanya sebatas wacana. He-he-he…
DAN, entah ini parah atau tidak. Saya punya bekas
jahitan karena kecelakaan di dahi sebelah kiri, lumayan kelihatan lho. Tapi saya
sendiri tak pernah merasa melihatnya. Yang lantas dengan masa bodohnya, saya menguncir
kuda rambut sebahu saya ini. Kening pun sukses terekspos secara vulgarnya. Sedang tidak
peduli dengan poni di dahi, karena menurut saya ponytail tanpa poni itu seksi. Oh
pohon durian, apakah saya ini perempuan? Huwahahaha…. >.<