Minggu, 13 November 2011

AKU. KEPALA. TEMAN UBUR-UBUR. ABSTRAK & ABSURD


x : "Hei, aku ada rahasia."
y : "Apakah?"
x : "Ada sesuatu di kepalaku yang hanya aku dan tuhan yang tahu."
y : "Semua juga pasti begitu, bukan hal yang aneh."
x : "Tapi ini lain. Bukan apa yang ada di isi otakku, melainkan apa yang terjadi dengan tempurung otakku. Sekali lagi ini tidak ada kaitannya dengan esensi."
y : "Jadi apakah sesuatu dengan kepalamu itu."
x : "Hmm... tapi kau harus janji tak akan berbagi ini dengan siapapun."
y : "Bukankah aku ini teman ubur-uburmu. Huh!"
x : "Hehehe, iya. Jadi begini, pernahkah kau merasa kepalamu itu seperti balon? yang setiap berlalunya jam dan detik akan selalu diimbangi dengan menyusutnya volume gas. kalaupun tidak, sepadat dan sestabil apapun - dikemudian hari pasti akan bermunculan mata ikan di balon gasmu. Dan, Door!!! tinggal menunggu waktu saja untuk melihatnya seperti itu."
y : "lalu, apakah itu merisaukanmu?"
x : "Pada awalnya aku tidak memperdulikannya. Tetapi semakin kesini mau tak mau aku harus hirau padanya. Kepalaku sudah tidak multitasking lagi - fokus sudah mulai melemah. Aku jadi lebih pelupa pada kejadian-kejadian yang baru terjadi."
y : "Hahaha. Kau ini sudah seperti manusia usia kepala tujuh puluhan saja."
x : "Hahaha... ya, memang lucu kedengarannya. Aku saja juga hampir tak percaya. Bahkan pernah terfikir olehku bahwa ini adalah ulah para alien. Di malam hari diam-diam mereka menanamkan bibit penuaan dini di lahan kepalaku. Dan mereka menggunakannya untuk mengkontaminasi mimpi-mimpiku."
y : "Ehm, apakah kau yakin? Bukannya engkau sendiri pernah bilang bahwa dirimu itu adalah alien dari planet anonim. Seharusnya kau punya antibody atau paling tidak memiliki imunitas yang tinggi terhadap invasi alien-alien itu."
x : "Hmm... masuk akal juga kata-katamu. Jadi apa yang harus kulakukan?
y : "Mudah saja, bila kau punya cukup uang sewa saja detektif swasta, kalau tidak begitu laporkan saja pada secret agent. Aku rasa ini bukan hal yang remeh temeh lagi, karena mereka sudah punya nyali untuk menyerang secara frontal dan personal."
x : "... bau tanah basah sisa hujan semalam sepertinya telah membuat pandangan kita kabur - otak berhalusinasi - kaki tidak menginjak tanah - tubuh limbung dan apa-pun itu semakin terasa abstrak dan absurd."
y : "Itulah... bukankah kita ini alien dari planet anonim..."
x : "Benar juga, kenapa mesti risau. Hahaha, dasar ubur-ubur tubuh transparan, tidak sia-sia kau jadi temanku."
y : "Terimakasih, itu semacam sanjungan buatku. Hahaha..."
x : "Hahaha..."

Hash...Dasar kepala, kau ini semacam dualis. Kadang kau ramah seperti teman sepermainan. Namun kadang juga sinis serupa lawakan satir bertema politik praktis. Tapi apapun itu aku tetap bangga padamu... :]

TELEVISI HARI INI


Hari ini televisi di kepalaku serupa perkakas dapur yang berdentang memekakkan kuping. Dia semakin rumit untuk diterima otak. Membuat ujung saraf mempertontonkan layar tancap berwarna monokrom. Imej dijual dan dibeli, diberlakukan seperti pelacur di meja lelang. Siapa berani bayar tinggi maka hasrat akan terpuaskan. Dia bebas datang pergi. Bosan adalah amnesia...

Hari ini aku bertanya, "televisi itu apa?" Apa serupa serum yang membuat sembuh sejenak, lalu kambuh lagi? kalau sudah menjamur menjelma serupa opium - memabukkan, lantas kemana?

Kita adalah generasi televisi. Menelan mentah-mentah apa-apa walau kadang tanpa isi. Siapa tak suka televisi? Benda kotak berkabel yang membuat riang tanpa harus mengeluarkan uang. 


"Kapan kita berlibur ke tanah lapang, dimana tanpa televisi kita masih bisa berseri dan bernyanyi riang..."

MENULIS [lagi]


Saya ingin menulis. Hanya itu...
Kapan terakhir kali menulis. Entah...
Saya tak ingin lupa, tak ingin mati pada hitungan hari dan riuh rendah detak jam. Ini mungkin akan serupa cermin. Membuat saya bisa melihat di belakang punggung, tanpa takut ada mata di balik tembok yang mengawasi saya...

Saya hanya kangen bau tinta basah di awal kalimat. Saya rindu moment disaat kata-kata di kepala menahan geram pada tangan yang sedang enggan. Di saat pilihan -pilihan kalimat seperti beragam menu yang semua adalah favoritmu. Dimana frasa seperti balon gas warna-warni. Ia menyenangkan, tapi kadang ada mata ikan di ari kulitnya. Membuatmu ingin menyimpannya di lemari kaca. Tapi ia adalah gas yang seharusnya berteman dengan udara dan angin...

Akhirnya, menulis adalah paksaan yang menyenangkan. Yang membuat lupa pernah ada todongan ancaman yang membekas di jidatmu... Karena di kemudian hari ia akan memberi permen warna pelangi dan sebungkus coklat berbentuk hati... :]

Selasa, 23 Agustus 2011

E untuk 'Es' dan K untuk 'Krim'


Kemarin pagi aku melihat anak kecil bermain di ayunan dengan sebatang es krim di tangan kanannya. Es krim yang warna warni. Ia tidak peduli dengan sekitarannya. Es krim itu telah menyita perhatiannya 100%. Tangan dan bibirnya penuh dengan lelehan es. dan isi otak-ku pun ikut meleleh...

Ada apa dengan es krim? benda dingin bertekstur lembut dengan bentuk dan warna beraneka rupa. Sebenarnya aku tidak terlalu suka sesuatu yang terlalu manis. Tapi untuk es krim dan coklat adalah pengecualian. Ada yang masih tertinggal di sana, sebuah momen yang masih menancap di kepala. Saat masih kanak-kanak dulu, aku sering bolos sekolah demi menunggu pak penjual es krim dengan topi bundar warna abu-abu lewat. Aku tak peduli walaupun hari itu belum makan nasi. Kukira hal itu setimpal dengan resiko dengan yang mungkin akan aku dapat. Sakit perut tak mengapa asalkan ada rasa yang tertinggal di lidahku sepanjang hari.

Hmm, menurutku es krim itu simbol keakraban. Mungkin itu karena teksturnya yang lengket dan menggumpal jadi satu. Eh, itu bukan semata karena pernah ada yang memberiku es krim dan ia kemudian menjadi bocah lelaki yang pernah kusukai di masa lalu. Hehehe...

Tapi es krim tak melulu tentang yang manis-manis. Aku pernah memutuskan melupakan seseorang yang mungkin akan kusukai hanya karena sebuah es krim. Hahaha, apa yang bisa kau harapkan dari seorang 'laki-laki' selain omongan yang bisa dipegang dan janji yang bisa dipercaya. *Hiaaah. Malah curhat! Syananana...


Aku memang suka es krim, tapi tak sebesar aku menyukai kopi di malam hari dan hujan di pagi hari. Tapi aku tetap sukaaa. Syalalala... :]

Kamis, 11 Agustus 2011

............


Bahkan menghitung berapa banyak helai rambut di kepala sendiri saja kita ini belum mampu. Kenapa harus merepotkan diri meng-kalkulasi berapa banyak pahala dan dosa orang lain. Tuhan belum butuh asisten [!]

Minggu, 07 Agustus 2011

MARI MENGEJA KATA SIFAT BERNAMA K.E.R.E.N


Keren adalah sangat subyektif. Tergantung dengan menggunakan mata siapa kau melihatnya. Bila kau meminjam mata bulatnya Spongebob, maka keren akan berupa bentuk superhero tua yang selalu membawa kejayaan masa lalu diatas kepalanya.Mereka bernama Mermaidman dan Barnacleboy. Jika kau meminjam mata keponakanku, maka keren adalah seperangkat mainan terbaru dari makanan cepat saji warna merah hati. Anggap saja sebagai kompensasi dari nasib pencernaanmu nanti. Lalu bila kau meminjam mata sebagian teman perempuanku, keren akan berubah wujud menjadi segerombolan laki-laki berkulit putih bersih terawat yang pandai bernyanyi dan menari. Mereka nyaris sempurna, ah aku takut dengan kosakata sempurna. Jadi sekeras apapun mereka merayuku untuk ikut serta, maaf-maaf saja sampai kapanpun aku tak akan tergoda. Hehehe. Satu lagi, menurut teman lelaki yang baru kukenal kemarin, keren adalah seperangkat teknologi canggih paling mutakhir. Jangan sampai ketinggalan kotak-kotak berkabel versi terbaru atau kau tak akan dianggap keren lagi.

Baiklah, sekarang mari kita melihat ‘keren’ dari kedua mata hitam putihku ini. Maka kata keren telah mengalami fase-fase perubahan seiring bertambahnya nominal usia. Dulu, saat aku masih kanak-kanak, keren adalah baja hitam dengan belalang tempurnya dan Doraemon dengan kantong ajaibnya. Saat menginjak remaja, keren adalah berani bolos sekolah. Di saat remaja, keren adalah Linkin Park dan Mtv. Ketika menginjak dewasa, keren adalah pemberontak dengan penampilan khas ‘rebel’nya. Dan akhirnya sekarang, di fase ini keren bermetamorfosa menjadi sesuatu yang ketika dilihat dari luar tampak seperti "Nothing", tapi sebenarnya didalamnya terdapat "something". Tak peduli meskipun engkau trendi dan penampilanmu masa kini, kalau pemikiranmu seragam dengan muda mudi korban televisi - Maaf, aku akan menganggapmu biasa. Dan sebaliknya, meskipun penampilanmu ‘jadul’ menurut muda mudi korban teknologi masa kini, kalau isi tempurung kepalamu melampaui apa yang bisa dipikirkan orang biasa, aku akan memanggilmu si Keren. Biasanya orang ‘normal’ akan menjulukimu si Aneh. Hanya karena mereka berpikiran sama dan mencari pemakluman. Tapi asal tahu saja, aku selalu menganggap orang aneh itu keren. Mereka berani berbeda dengan kebanyakan, pemikiran mereka sangat menyegarkan. Seperti hujan ditengah kemarau. Untung ada mereka, kalau tidak aku bisa mati kebosanan. Hehehe…

Namun, lebih daripada itu. Aku akan tetap menghargai versi keren menurut kalian masing-masing. Ya karena ini sangat subyektif , maka aku harus sadar diri. Karena jangan sampai kita menjadi seragam - Aku akan sulit menemukanmu bila kau tersesat di tengah kota suatu saat nanti. Hehehe… :)

Sabtu, 09 Juli 2011

LET'S PLAY THE GAME!


Mari kita sepakat dengan permainan 'jangan-tanya-jangan-bilang'

"Jangan tanya apapun, maka aku tidak akan berbohong padamu. Jangan ceritakan rahasia, maka aku akan berbuat yang sama"

Kamis, 19 Mei 2011

BATU - kah?


x : "Ekspresimu aneh, engkau menangis sekaligus tersenyum."
y : "Aku tak tahu caranya memilah rasa secara bersamaan"
x : "Aku akan membantumu bila kau tak keberatan."
y : "Tapi aku ini batu, tak punya perasaan."
x : "Engkau bercanda, batu tak akan bingung memilah rasa.”
y : "Tapi..."
x : "Teruslah menggunakan kata - Tapi dan aku tak akan peduli."
y : "Ternyata engkau lebih batu daripada aku."
x : "Hahaha - bahkan batu pun bisa bercanda."
y : "Hehehe..." 

Jumat, 06 Mei 2011

BERANDA TANPA ATAP


"Ini cerita pendek pertama saya. Sekedar mencoba menakar sejauh mana kadar basa basi imajinasi saya"



Dari atas pundak Bapak aku bisa melihat awan-awan itu melambaikan tangan ke arahku. Dengan sedikit bergumam kubalas sapaan mereka, aku takut Bapak akan mendengarkan pembicaraan kami. Kalau sudah begini aku sering tak menganggap acuh apapun yang di bicarakan Bapak. Aku menimpali semua omongannya dengan ala kadarnya saja, hanya kata “iya” dan “hmm” saja yang keluar dari mulutku. Karena menurutku awan di atas sana lebih menarik dari apapun.

Di mataku mereka adalah kembang gula dengan bentuk yang berwarna warni. Kembang gula yang di sana seperti kepala ikan dengan mata yang melotot dan pipi penuh, terus yang itu seperti boneka beruang yang sering kulihat di televisi dan yang di ujung sana menyerupai gelembung-gelembung sabun yang hampir pecah. Hmm, mungkin akan sangat menyenangkan sekali kalau aku bisa ada di atas sana, aku bisa makan kembamg –kembang gula itu sesuka hatiku hingga perutku menyerupai badut.

Dan bila kesana aku tak akan membawa Bapak ikut serta, karena pastinya ia akan cerewet sekali. Katanya kalau aku terlalu banyak makan yang manis-manis, di malam hari akan ada monster yang diam-diam menggali lubang di gigiku dan itu akan sakit sekali. Tapi aku tahu Bapakku hanya berhalusinasi, tak ada monster yang tahan dengan air liur dan bau mulut.

***

“Nak, kalau besar nanti kamu mau jadi apa?” Tanya Bapak suatu siang di beranda rumah.

“ aku ingin jadi layang-layang,” kulirik wajah Bapak dari balik poniku, hanya untuk memastikan bagaimana reaksinya.

“Kenapa harus layang-layang?” suara Bapak terdengar biasa saja di telingaku, dan ku akui ini membuatku semakin nyaman.

“Karena aku ingin tahu seperti apa rupa awan itu sebenarnya, apakah rasanya manis seperti permen. Dan aku ingin sekali bisa tinggal di atas sana, pasti akan sangat menyenangkan sekali berteman kembang-kembang gula sepanjang waktu,” mataku berbinar-binar dan senyumku mengembang lebar saat kuutarakan alasanku kepada Bapak. Sedetik-pun mataku tak pernah lepas memandang kapas-kapas putih di atas sana. Sepertinya mereka sedang mengarak matahari agar ia lekas sembunyi.

“Jangan pergi ke sana. Engkau akan lekas kesepian. Apa yang akan kau lihat dari atas sana tak akan sama seperti apa yang kau lihat dari bawah sini. Nanti engkau hanya berteman langit biru dan mentari. Kau tak bisa mengharapkan loyalitas dan kesetiaan dari mereka. Mereka terbatas dan lekas bergegas. Sama sepertimu, keinginanmu akan sejalan dengan pola pikirmu. Akan berubah dengan seiring berlalunya waktu,” Bapak mulai ngelantur. Aku tak mengerti apa yang dibicarakannya dan aku tak peduli. Mungkin ia hanya merasa cemburu dan takut ditinggal sendirian.

“Tapi aku akan tetap ke sana,” kulihat Bapak hanya diam saja, ekspresinya datar sekali. Aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya saat ini. Tapi aku tak menghiraukannya, Bapak memang biasa begitu – tak ingin menentang aku yang keras kepala, sepertinya ia sangat merindukan kedamaian. Sudahlah, kuluaskan pandanganku ke atas sana. Yaa, aku akan tetap ke sana dengan atau tanpa izin Bapak. Aku pikir sampai kapanpun awan-awan itu akan tetap ada di sana, dan kupikir dalam jangka waktu yang panjang aku tak akan kehilangan rasa ketertarikan kepada mereka. Sepertinya di balik awan sana terdapat taman bunga yang memproduksi zat adiktif. Ahh… aku tak sabar menunggu besar.

***

Aku sangat membenci perempuan itu. Ia mengambil satu-satunya orang yang ada di hidupku selama ini. Ia adalah perempuan menawan dengan tubuh yang bisa membuat jakun setiap laki-laki naik turun. Semestinya ia mudah saja mendapatkan lelaki manapun yang ia inginkan.

Tapi kenapa harus Bapak? Ia hanya lelaki biasa yang mempunyai ekspresi terdatar sepanjang sepengetahuanku. Ia juga bukan lelaki yang isi kantongnya bisa diandalkan. Harta kami hanya rumah sederhana dengan beranda tanpa atap ini. Karena ia perempuan mungkin ia akan menyukai rumah yang di halamannya terdapat taman bunga. Namun sayangnya halaman rumah kami hanyalah taman tandus yang tanahnya hampir retak.

Aku benar-benar tak habis pikir kenapa ia menjatuhkan pilihannya pada Bapak. Kalaupun ada yang bisa kubanggakan dari Bapak adalah karena ia bukan tipe pembosan. Di beranda rumah ia tak pernah lelah menemaniku menatap langit mencari awan yang bersembunyi. Membiarkanku bermain-main dengan khayalan dan ia tak pernah menolak saat kuajak bermain-main di dalamnya. Itu hampir terjadi setiap hari dan ia tak pernah mengeluh. Selama bertahun-tahun ia betah mendekam di dalam rumah ini. Mungkin sudah hampir seusia lumut-lumut di dinding rumah ini usiaku, tapi aku tak pernah sekalipun melihat Bapak meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama. Sepertinya ia telah mengubur nyalinya di rumah ini. Dan aku sangat tidak keberatan sama sekali. Aku pikir paling tidak aku masih punya teman bicara dalam bentuk manusia.

Tapi aku benar-benar tak memerlukan perempuan itu. Berdua saja sudah cukup bising menurutku, apalagi harus ditambah satu mulut lagi. Kami sudah terlalu terbiasa hidup tanpa perempuan. Dan satu lagi, aku sangat tidak suka warna bibirnya, itu mengingatkanku pada darah tikus yang kemarin babak belur dihajar Bapak. Sungguh! melihat bibirnya saja sudah membuat perutku mual.

***

Tak butuh waktu lama bagi perempuan itu untuk menjadi bagian dari rumah ini. Ia sudah seperti hantu saja, gentayangan dimana-mana. Aku sering memergokinya hampir di setiap sudut ruangan rumah. Rasanya tak ada sekotak ubin pun yang luput dari pantauan mata liciknya itu. Kalau ia seekor anjing pasti sudah dikencingi apa apa yang ada di rumah ini.

Memang, tak salah lagi ia benar-benar ingin menguasai tempat ini, sangat serius malah. Setiap pagi aku melihatnya mengendus dan mengelus-elus perabotan rumah yang warnanya membuatku amnesia membayangkan seperti apa bentuk aslinya. Dan di malam hari diam-diam aku sering mendenga suara lirihnya membacakan dongeng pengantar tidur kepada tembok-tembok dingin berlumut itu. Aku yakin ia sedang melakukan provokasi kepada mereka agar mau diajak berkonspirasi merebut rumah ini dari tangan kami.

Namun satu yang tak bisa kuterima adalah di siang hari, di beranda rumah tanpa atap itu, aku sering melihatnya duduk dengan bibir komat-kamit dan mata lurus tanpa berkedip menantang awan-awan di atas sana. Benar-benar lancang! Hanya aku yang berhak disana dan bapak adalah satu-satunya pengecualian. Saat itu juga ingin rasanya aku mencongkel mata dan menyumpal mulut busuknya itu. Tapi untung baginya, aku masih menyisakan sedikit logika di ujung kilatan mata pisau yang sekarang ada di genggaman tanganku.

Sebenarnya aku sudah sering mengadukan kelakuan perempuan itu kepada Bapak. Tapi Bapak malah menganggapku sedang berhalusinasi. Ha ha ha, bahkan sekarang Bapak mulai mempermasalahkannya. Dulu bagi bapak rasanya tak ada batas jelas antara realita dan khayalan. Aku membangun kerajaan ilusi di kepalaku dan bapak mengamininya. Kini, tampaknya perempuan itu telah berhasil meniupkan mantra-mantra ke ubun-ubun Bapak. Itu terlihat dari dahinya yang semakin mengkilap. Huh, perempan sial! Benciku sudah berlipat-lipat kepadanya.

***

Lihatlah, dirimu tampak begitu menyedihkan. Lelaki ringkih dengan kursi roda karatan. Wajah murungmu itu bisa kau gunakan untuk menarik simpati para dermawan. Rambutmu satu dua mulai beruban dan kerutan di sudut matamu mulai berakar kemana-mana, hampir mencapai pelipismu. Tapi waktu seakan tak merubah apapun. Waktu bagimu hanya sekedar pergantian siang dan malam. Hanya sebatas awan dan beranda tanpa atap. Melingkar-lingkar di tempat yang sama, hidup dalam kebosanan yang membuatmu nyaman. Ha ha ha – engkau ini benar-benar menyedihkan!

Huh, lekas kualihkan pandanganku pada cermin besar yang merangkap lemari pakaian itu. Tiba-tiba aku merasa takut dan asing dengan sosokku sendiri. Bergegas kugelindingkan kursi rodaku ke beranda rumah, di sana sudah duduk perempuan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kami duduk bersama berbagi kesenangan disini. Saling melemparkan bisik lirih ke arah kembang-kembang gula di atas sana. Saling bergegas mengeja berbagai bentuk rupa awan sebelum mereka berubah pikiran. Dan saling berburu jejak kenangan diantara suara bising pesawat yang berseliweran di atas kepala kami.

Benar kata orang, waktu bisa memungkinkanmu untuk berdamai dengan apapun dan siapapun. Meski begitu, melihat kenyataan bahwa perempuan ini ada di dekatku sekarang kadang membuatku bergidik tak percaya.

Entah sejak kapan aku berdamai dengan perempuan itu, mulai menganggapnya ada. Hmm, mungkin sejak ia dengan telaten membantu meringankan segala kebutuhanku. Ia membantuku mendorong kursi roda menyusuri seluruh sudut rumah. Ia yang dengan telaten memandikan dan memakaian baju di tubuh ringkihku ini. Di hari-hari berikutnya tidak hanya kepada tembok-tembok, perempuan itu juga membacakan dongeng pengantar tidur kepadaku, kadang pula ia tidak beranjak dari kamarku hingga menjelang subuh. Sejak saat itu aku merasa bibirnya tidak lagi serupa warna darah tikus, di mataku ia sudah bermatamorfosa menjadi bunga mawar yang kelopaknya merah marun.

Dan tentu saja aku tak akan mengadukan hal itu kepada Bapak, karena kali ini ia tak akan menganggapku hanya sekedar berhalusinasi.

***

Dari beranda tanpa atap ini, di bagian langit sana aku melihat awan yang menyerupai kepala Bapak. Dan aku sangat asing dengan ekspresi wajah itu, tampak perahu kertas sedang sandar di bibirnya.

Bapak telah mencuri impianku, dia mencurangiku, harusnya aku yang bersenang-senang di atas sana. Layang-layangku kini putus sudah, yang tertinggal hanya potongan benang yang aku simpan di bawah bantal.

Tapi aku telah merelakannya, merelakan ia berteman dengan kembang-kembang gula di sana. Anggap saja hitung-hitung sebagai balas budi karena telah membawa perempuan berbibir merah marun itu ke rumah ini.







*Suatu tempat, 230311

Selasa, 03 Mei 2011

KEREN-KEREN DI DINDING DIAM-DIAM MERAYAP




Di minggu pagi saat saya berangkat kerja, dari jendela angkot yang saya tumpangi, saya mendapati pemandangan yang mungkin beberapa minggu lalu bola mata saya ini akan sulit mendeteksinya. Di sepanjang jalan saya melihat banyak orang yang mengayuh sepeda angin, mereka menamakannya ‘gowes’- baiklah, itu terdengar keren di telinga saya. Saya melihat mereka serupa seekor ular yang bagian tubuhnya terputus-putus dan mempunyai lebih dari satu warna. Mereka adalah puzzle yang hampir rampung tapi tak kunjung tuntas.

Sepeda sekarang ini sedang menjadi primadona. Serupa epidemi, ia menyerang tak pandang bulu – tentu saja ini tak ada hubungannya dengan ulat bulu yang akhir-akhir ini begitu ‘booming’- Dari usia yang nominalnya kecil sampai yang terbesar. Dari rumah yang petaknya bisa kau hitung dengan jari sampai rumah yang membuat kepalamu berkunang-kunang bila menghitung luas per-meter perseginya.

Bersepeda sudah menjadi ‘life style’, sesuatu yang dianggap keren. Jadi berlomba-lombalah mengikutinya. Sebenarnya saya orang yang akan ikut senang dan gembira gegap gembita bila itu adalah permanen. Jadi, paling tidak ‘keren’ itu bukan sekedar kotak berkabel warna-warni dan apa-apa yang nilai tukar materialnya semakin tinggi maka itu akan ‘terlihat’ semakin sangat sangat KEREN. Pun, bersepeda bisa dianggap keren  oleh ‘semua’. Saya rasa itu prestasi yang bukan main-main, disamping itu apakah murni untuk sebuah gaya hidup sehat atau sekedar hanya agar terlihat keren.  TAPI akan sangat disayangkan sekali bila itu hanya sebatas menjadi cendawan di musim hujan.

Melihat fenomena diatas, pernah terbersit dalam pikiran saya sebuah mimpi yang sekarang ini mungkin hanya sekedar menjadi ilusi di kepala saya; Di suatu hari nanti, di negeri ini, semua kegiatan yang melibatkan otak kanan akan menjadi life style di semua lapisan kehidupan masyarakat. Membaca buku, menggambar, menulis, membuat patung, mempelajari tari dan musik tradisional, melihat pameran lukisan di galeri-galeri seni, mengunjungi museum bersejarah, mengapresiasi seni dan lain-lain adalah sesuatu yang bisa dianggap keren oleh siapa saja. 
Hahaha… apakah saya terlalu berlebihan? Entahlah, semoga ini bukan sekedar halusinasi saya saja…


Sepertinya saya terlalu banyak menggunakan kata ‘keren’ di tulisan ini, membosankan huh? Hehehe…

RUMAH


x : "Tolong desainkan saya rumah yang seluruhnya pakai kamar mandi dalam."
y : "Nilai-nilai keluarga seperti apa yang sedang kamu bangun?"
x : "Lho kenapa?"
y : "Sadar nggak, kalau pakai kamar mandi dalam semua,rumahmu nanti akan seperti hotel."          
x : "Bukannya itu lebih enak?"
y : "Iya, enak. Tapi nggak ada nilai-nilai yang dikembangkan. Nggak ada cerita antri, nilai-nilai berbagi..."

Minggu, 17 April 2011

P untuk PECUNDANG


Ada seorang anak perempuan bernama L. Ia begitu suka hujan sehabis subuh dan jus tomat yang tak terlalu manis. L sangatlah biasa, ia bukan tipikal perempuan yang biasa kau lihat di layar kaca dan majalah-majalah fashion. Ia bukan pemeran protagonis di sinetron kejar tayang. Ia bukan pula serupa gambar di papan-papan iklan pinggir jalan yang menyegarkan mata. L selalu punya keyakinan bahwa ia akan mampu bertahan hidup bertahun-tahun di sebuah ruangan tanpa harus keluar kemana-mana, nama ruangan itu adalah toko buku dengan inisial “G”.

L juga punya hal yang tidak disukai. Ia tidak suka di puji lebih dari tiga kali dengan topik yang sama, kalau tidak ia akan menganggapmu penjilat. Ia lebih tahan kata-kata satir daripada pujian bertubi-tubi. Pujian bagi L ibarat kanker otak yang telat dideteksi, tunggu saja sampai sekarat!

Di dalam kamarnya L mempunyai kardus karton yang berisi imaji-imaji. Kenapa ia tak berbagi itu dengan temannya? Apakah ia terlalu pelit? Jangan salah, L pernah melakukan itu, tapi teman-temannya malah mencap-nya sebagai si aneh. Sebenarnya L tidak peduli itu, baginya aneh bukanlah penyakit mematikan, tapi disisi lain L juga ingin punya teman yang bisa diajak bermain lompat tali. Sejak saat itulah perempuan itu menyembunyikan imajinasinya di dalam kardus karton, di kamarnya. Hanya untuk dirinya sendiri…  

Seperti layaknya manusia pada umumnya L juga punya sebuah rahasia, ia menyembunyikan itu dibalik poninya. Asal kau tahu, L adalah perempuan dengan huruf  P besar di dahinya. Ia seperti perayu ulung bagi L. Mulutnya semanis es krim vanilla. Setiap malam si P besar ini menyanyikan lullaby yang selalu sama untuk L. Inilah liriknya; 

Tetaplah di sini
Dekat dekatlah denganku
Engkau akan aman di sini

Nyamankan tidurmu 
Dunia luar sangat kejam
Apa yang tak kau ketahui itu yang akan membunuhmu

Tidur tidurlah yang lelap
Mimpilah tentangku si bijaksana
Besok pagi adalah hari ini
Aku akan tetap di sini
Menemanimu... 

Perempuan ini sebenarnya sangat ingin beranjak dari sini. Tapi P besar selalu berhasil menjeratkan jaring-jaring besi padanya. Ia adalah semajam doktrin bagi L; “KENYAMANAN ADALAH HARGA MATI!!!” L merasa P adalah musuhnya yang paling karib. Dunia tidak lagi berputar pada porosnya, setiap harinya ia telah bergeser beberapa inci, meninggalkan L yang masih berdiri di tempat yang sama. Ia adalah patok kayu penanda batas tanah.

P seperti kutukan bagi L. Ia tak ubahnya nenek tua berjubah hitam yang membawa apel beracun kemana-mana. Tapi sayangnya si L tidak suka apel, meski sama-sama merah tapi ia lebih suka tomat. Namun tetap saja P adalah perayu ulung.

P adalah parasit dan L tidak bisa berbuat apa-apa. P adalah tumor ganas dan L terlalu ngeri untuk melakukan sesuatu. P adalah pembunuh berdarah dingin dan L adalah saksi mata yang terlalu takut untuk membuka mulut. P adalah dan L adalah. Selalu akan ada kata sambung di antara keduanya…

Ssst… Aku tak boleh bicara terlalu banyak, karena ia punya semacam dogma; “Jangan biarkan orang tahu terlalu banyak tentangmu, simpan sedikit di peti harta karunmu. Bajak laut itu keren – berburu harta karun tak akan pernah membosankan”


Hahaha. Seharusnya ku gigit lidahku ini!

DULU SAAT INGATAN SAYA MASIH SETAJAM GOLOK!


Dulu beberapa tahun kebelakang, kalau bisa dianalogikan, kepala saya ini adalah brankas yang terbuat dari baja anti peluru. Yang dengan mudahnya bisa dibuka tutup. Karena kode-nya hanya terdiri dari sedikit digit yang sangat sederhana tanpa takut orang lain akan mencurinya. Saya ingat, saat masih dibangku sekolah dulu saya tidak perlu bekerja keras untuk belajar setiap hari hanya untuk mendapatkan nilai bagus. Selain karena orang tua saya tidak terlalu menuntut hal itu – yaa, mereka memang keren – bagi saya belajar itu ibarat nasi bungkus, hanya dibeli saat lapar dan saat ibu saya sedang malas memasak.  


Benar, saya hanya belajar kalau ada ulangan/ujian. Itupun tak butuh waktu berjam-jam, kadang kepala saya mendadak pusing kalau berlama-lam belajar. Itulah ajaibnya kepala saya dulu, selain hitung-hitungan, saya hanya butuh sekali baca untuk mengingat dan mengerti berlembar-lembar teks di buku pelajaran. Dan saya senang, itu artinya keesokan harinya saya hanya  perlu nongkrong di kantin untuk menunggu giliran ujian disaat teman-teman saya hilir mudik menenteng catatan dan duduk-duduk di sepan kelas sambil membuka lembar demi lembar buku pelajaran – kadang saya sangat membenci pemandangan itu.

Pernah ada seorang teman ngomong sama saya, “Kamu itu aneh ya, gak pernah kelihatan belajar tapi nilaimu bisa tetap bagus.” Hahaha, mereka bilang saya aneh. Hmm, memang – bukannya ingin sombong, meskipun saya ini tipikal santai yang menjurus malas tapi – walau tak pernah ranking satu – saya selalu masuk sepuluh besar. Begitulah, puji syukur dan alhamdulillah untuk daya ingat saya.

Karena saya tak ingin takabur, saya selalu membagikan karunia ini kepada teman-teman saya yang membutuhkan – dalam kategori malas tapi sayangnya tak seberuntung saya [Hahaha. Congkak sekali!] – saya dengan sangat sukarela memberikan contekan kepada mereka, dan bahka tanpa sungkan-sungkan saya memberikan lembar jawaban untuk di copy bergilir [kata bergilir mengingatkan saya pada tulisan di kolom berita kriminal]. Meskipun Nietzche pernah berkata, “Rasa kasihan adalah suatu pemborosan perasaan, suatu parasit yang membahayakan kewarasan moral.” – namun saya tetap melakukan ritual itu, bagi saya itu bukan bentuk rasa kasihan tapi lebih kepada solidaritas antar teman [semoga ini bukan kata yang genit] dan saya tak peduli definisi waras itu seperti apa.

Saya tak ambil pusing dengan deret nilai-nilai. Dan saya tak begitu terobsesi dengan tingkat kepintaran yang dikemas sangat apik dalam kotak warna-warni bernama rangking kelas [nama yang arogan sekali]. Menurut saya sekolah bukan hanya masalah buku pelajaran dan angka-angka membingkai nilai. Mungkin, saya mempunyai gen ketertarikan minimum dengan yang namanya buku pelajaran.Buku fiksi menurut saya lebih seksi. Jadi, bisa naik kelas dan lulus sekolah itu sudah cukup bagi saya. Begitu juga kata ibu bapak saya. He he he…


Itulah dan begitulah. Saya menyebut itu sebagai NOSTALGILA OTAK KIRI!
 

Kamis, 24 Maret 2011

MENGKALKULASI KENANGAN

  • Ada kenangan di galon kemasan warna hijau
  • Ada kenangan di poster hitam putih “Ramones”
  • Ada kenangan di bangkai kecoak yang tinggal sebelah sayapnya
  • Ada kenangan di bungkus permen yang bertahun tahun lupa dibuang
  • Ada kenangan di gantungan baju yang sering kelebihan muatan
  • Ada kenangan di radio yang tempat kasetnya sudah rusak
  • Ada kenangan di tumpukan koran bekas
  • Ada kenangan di lemari kayu yang sebelah pintunya tidak bisa ditutup rapat
  • Ada kenangan di piring plastik bergambar kembang di pinggirannya
  • Ada kenangan di kaset Green Day “American Idiot”
  • Ada kenangan di colokan listrik
  • Ada kenangan di tas rajut lusuh dan sepatu kets butut
  • Ada kenangan di kaca jendela yang sengaja lupa dibersihkan
  • Ada kenangan di cat tembok yang mengelupas
  • Ada kenangan di satu dua tiga gerombolan jaring laba-laba
  • Ada kenangan di boneka kelinci yang entah darimana memperolehnya
  • Ada kenangan di bau bantal yang entah kapan terakhir kali di jemur
  • Ada kenangan di buku-buku hasil diskonan sekian persen
  • Ada kenangan di semut-semut kecil warna orange
  • Ada kenangan di nyamuk-nyamuk bergigi lancip penghisap darah
  • Ada kenangan di sobekan kertas dimana ada coretan yang mustahil terbaca
  • Ada kenangan di lampu yang jarang dinyalakan di malam hari
  • Ada kenangan di selotip yang bekasnya menempel kuat di dinding
  • Ada kenangan di toples yang entah berapa kali berganti isi
  • Ada kenangan di pintu cokelat yang sesekali memerlukan sedikit usaha bila ingin menguncinya
  • Ada kenangan di remah-remah roti rasa coklat
  • Ada kenangan di retakan tembok serupa gambar detak jantung
  • Ada kenangan di tas kresek putih bertuliskan nama sebuah minimarket
  • Ada kenangan di pecahan kaca milik teman kamar sebelah
  • Ada kenangan di topeng kayu hasil urunan dengan seorang teman
  • Ada kenangan di rambut rontok yang helainya tertinggal di lantai
  • Ada kenangan di…
  • Ada kenangan di…
  • Ada kenangan di…
Saya sedang mencoba mengkalkulasi kenangan-kenangan di ruangan ini. Sekedar ingin mengukur seberapa besar nyali saya untuk meninggalkan tempat ini. Ah, sebatas bangun ruang tak seberapa luas ini dan itu pun hitung-hitungan saya masih jauh dari rampung. Tapi, rasa-rasanya saya sudah tak sanggup lagi menyelesaikannya. Tiba-tiba saja pandangan saya jadi kabur dan ada banyak kunang-kunang beterbangan di atas kepala saya…

L.A.B.I.L



Ketahuilah bahwa saya sedang sangat kecewa sekali, hingga membuat saya terpaksa merasa sedih. Rasanya ada kosong dan sesak yang dilesakkan secara bersamaan di sini. Membuat saya sulit bernafas…

Saya tidak butuh pengakuan, tapi paling tidak beri saya sedikit penghargaan. Sinisme tak akan membunuh saya, namun sesusah itukah memberi sedikit senyuman. Bila tidak terbiasa, tak bisakah sedikit berpura-pura…
Ketahuilah, saya memang bukan siapa-siapa, tapi bukan berarti saya bukan apa-apa. Saya tidak bisa sepanjang waktu bersikap tidak peduli dan masa bodoh. Di dalam perpustakaan saya juga terdapat kamus yang di dalamnya ada huruf L besar bernama ‘Lelah’. Memang saya hanya manusia, tapi toh saya masih manusia [!]
Ketahuilah, saya tidak pernah menghitung dan mengungkit loyalitas dan royalitas saya. Bangkai itu semua[!] Haram bagi saya [!], meskipun hal itu kadang membuat saya kelihatan sangat-sangat bodoh…
Dan ketahuilah, saat ini saya merasa seperti ABG yang sedang curhat dengan teman perempuannya. Namun selayaknya tipikal remaja zaman sekarang; “Emangnya gue pikirin!”
Ha-ha-ha-ha-ha

Minggu, 20 Maret 2011

TANPA TUJUAN


Apa yang dapat saya lakukan dengan hidup yang sudah tidak ditunjang oleh suatu cita-cita. Secara spontan dan tanpa sadar saya mengikuti pendapat Pascal tentang "kesenangan". Tetapi kesenangan-kesenangan yang saya dapatkan tidak memberikan kebahagiaan sejati. Berulang kali saya bertanya pada diri sendiri: "Daripada meneruskan hidup yang sama sekali tak berarti, apakah tidak lebih baik bila saya mengakhiri hidup saya?" Tetapi pada saat itu, kehampaan yang saya kira akan mengikuti kematian tidak begitu menarik bagi saya. Kematian di medan perang atau di depan regu tembak nampaknya lebih berharga, sedangkan hidup dengan tanpa tujuan, seperti juga mati dengan tanpa tujuan, nampaknya tidak berarti. Maka saya tetap menolak keinginan untuk memilih kematian. Mungkin juga dalam alam ketidaksadaran saya ada setitik harapan bahwa saya akan menemukan suatu kehidupan baru.*


* Dikutip dari buku Ateisme Dewasa Ini   ditulis oleh Ignace Lepp

TOLONG


Tuhan, tolong kirimi saya segelas jus tomat. Siang ini panas sekali... 

PAGI YANG DINI


Dini hari, di luar sedang bulan penuh. Sepertinya banyak orang yang menantikannya. Tak seperti biasanya, entah kenapa kali ini aku tidak terlalu antusias untuk ikut menikmatinya. Bisa jadi karena aku kurang nyaman kalau apa yang aku sukai ternyata disukai banyak orang juga. Entahlah, aku lebih bisa menikmati sesuatu kalau hanya ada interaksi antara aku dan sesuatu itu. Aku perlu keintiman untuk menikmati sesuatu. Seperti saat aku menikmati sebuah lukisan, aku tak ingin mendengarkan suara-suara di belakang kepalaku. Aku tak peduli apakah lukisan itu bagus atau tidak. Karena aku percaya tak ada keindahan yang mutlak, setiap orang punya standartnya sendiri-sendiri. Untuk menikmatinya aku hanya perlu diam untuk bisa membiarkan mata, kepala dan perasaanku berintim ria dengan kanvas-kanvas bergambar itu. Membebaskan gambar dan goresan cat itu bercerita sendiri kepadaku

Di luar bulan masih penuh. Dan aku diam berpeluh di dalam ruangan ini. Suara-suara dibalik jendela itu sangat menggangguku. Sedangkan suara-suara di kepalaku juga tak mau kalah. Sungguh berisik! Sesekali aku berbicara pada tembok untuk mengalihkan kebisingan itu. Tapi dasar tembok sialan! ia tak mengacuhkanku, ia memunggungiku, sedang menikmati sinar bulan katanya. Sejak kapan ia begitu peduli pada cahaya, selama ini aku lebih sering mematikan lampu sepanjang hari di kamar ini. Baiklah, kualihkan kegelisahanku pada bantal bantal ini saja, siapa tahu mereka lebih berempati. Tapi sial! sama saja, mereka sibuk membicarakan kecoak yang kemarin menjadi bangkai di atas tubuh mereka. Kukeraskan volume suara radio, mencoba sedikit meredam suara-suara itu. Sedang tidak beruntung! suara itu bahkan lebih keras berpuluh kali dibanding suara dari kotak berkabel itu. Kalau begini harusnya kugembalakan saja suara-suara ini ke dalam tidur, namun sayangnya aku belum mengantuk. Secangkir kopi dari sachet coklat seribuan itu ternyata berhasil membuatku terjaga sampai subuh. Konsekuensinya aku harus bertahan dengan kegelisahan dan kemuraman yang ditimbulkan suara-suara itu. Ini membuatku seluruh pori-pori tubuhku mengeluarkan kelenjar lembab. Hmm... bau apakah ini, seperti bau tanah kering sehabis hujan panjang. kuendus-enduskan hidungku kesana-kemari. Aah brengsek! bahkan aku tak mengenali bau keringatku sendiri. Di sini, Dini hari ini aku benar-benar terasing dari diriku sendiri.

Sudah pagi, apakah bulan di sana masih menarik perhatian orang-orang? aku tak peduli. Biarlah mereka dengan kesenangan mereka sendiri. Aku hanya ingin tidur barang beberapa jam. Beruntung, bersamaan dengan suara adzan subuh di luar sana mataku mulai menyipit menahan kantuk. Sudah cukup untuk suara-suara penuh peluh. Saatnya menidurkan kepala di atas bantal. Selamat tidur untukmu bulan yang dini hari tadi jadi primadona. Hanya sebentar dan engkau akan segera dilupakan. Dan aku akan kembali memujamu. Selamat pagi, tidur yang nyenyak...

Kamis, 17 Maret 2011

KAPAN MATI?



Ketika kucing kesayangan ibu saya mati, saya tidak menangis. Saya pikir karena itu sudah waktunya. Ketika nenek buyut saya meninggal, saya tidak terlalu sedih. Saya pikir karena dia sudah tua. Dan ketika lelaki yang saya sukai pergi untuk selamanya, saya begitu sedih dan tiba-tiba saya sangat membeci malam hari. Saat itu saya pikir Tuhan sangat tidak adil. Namun kemudian saya mengerti bahwa semua itu tentang berapa kenangan yang saya punya dan saya buat. Jumlahnya akan berkolerasi positif dengan berapa banyak produksi air mata yang akan saya hasilkan.  Kadang hal itu membuat saya berpikir bagaimana kalau seandainya saya yang mati, apakah mereka juga akan bersedih atau biasa-biasa saja. Hmm, saya rasa juga akan sama saja. Akan selalu ada hukum timbal balik. Saat kau memberi lebih engkau akan menerima banyak, begitu pula sebaliknya.

Sebenarnya [sampai saat ini] saya tak pernah benar-benar peduli kapan tepatnya saya akan mati. Entah besok, entah lusa, entah bulan depan atau entah tahun depan saya sungguh-sungguh tak ambil pusing. Bagi saya mati adalah konsekuensi dari hidup. Seperti saya harus cuci piring sehabis makan. Dan saya sama sekali tak menghiraukan apa yang akan terjadi setelah saya mati. “Lalu bagaimana dengan surga dan neraka?” jangan salah, saya masih percaya Tuhan. Ketika saya berbuat baik dan saat saya tidak melakukan hal-hal buruk itu bukan semata-mata karena saya mengharapkan pahala [surga] dan menghindari dosa [neraka]. Tapi itu juga karena kesadaran saya sebagai manusia yang mempunyai kemampuan untuk berfikir dan merasa. Saya rasa setiap orang mempunyai sisi ‘manusia’ dalam dirinya, dan saya pikir agama bukanlah satu-satunya yang mengajarkan itu. Jadi biarkan surga dan neraka itu menjadi hak prerogative Tuhan. Saya tak tertarik untuk melakukan intervensi-intervensi membabi buta. Lagi pula sangat tidak mudah untuk memanipulasi Tuhan. Dia bukan keponakan saya yang gampang dirayu dengan sebatang lollipop. Sayang sekali memang. Hehehe…

Tapi, sejujurnya saya lebih takut di tinggal mati dan lebih cemas  memikirkan perasaan orang yang akan saya tinggal mati. Dan saya sesungguhnya kadang tak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan mereka – bapak dan ibu saya salah satunya– daftar teratas dalam prosentase tabel kenangan saya. Seperti apa rasanya kehilangan sesuatu yang sudah terbiasa ada di saat kita sudah menjadi sebagian dari hidupnya. Apakah lebih menyakitkan daripada kehilangan sebuah buku kesayangan yang telah dibaca berpuluh-puluh kali. Memang engkau mungkin akan mendapatkannya lagi di toko buku, tapi di sana ada kenangan yang tidak bisa di beli di toko buku manapun. Di buku itu ada bekas coretan-coretanmu, ada bekas lipatan-lipatan penanda bacaanmu, ada bau khas dari buku itu yang selalu membuatmu nyaman, ada jejak tangis dan tawa yang kau tinggalkan disana dan entah ada berapa ribu sidik jarimu di buku itu. Saat kau melihat buku lain engkau akan selalu teringat pada buku yang hilang itu. Benarkah rasanya lebih menyakitkan dari itu? Ahh… Melukiskannya di kepala sepersekian detik saja sudah membuat saya sulit bernafas.

Dan bagaimana kalau saya yang lebih dulu pergi meninggalkan mereka? Sungguh saya takut membayangkan perasaan mereka. Mungkin itu seperti menggali kenangan di tanah tandus dengan menggunakan skop karatan. Akan membuat sakit sekujur tubuhmu dan membuat suhu badanmu tiba-tiba meninggi lalu engkau akan bermandikan keringat dingin. Sampai kapan kau akan bertahan dan terbiasa lalu sembuh dari rasa sakit tubuhmu itu? Itu  semua tergantung seberapa besar daya imunmu. Atau bahkan kau akan membawa rasa sakit itu seumur hidup. Pernah suatu kali saat saya sedang sakit, saya iseng bertanya pada ibu, “bagaimana kalau aku mati?” Lalu jawab ibu, ”kalau engkau mati ibu juga bisa mati,”. Entah itu serius atau tidak, yang jelas jawaban itu selalu menjadi senjata ampuh saya saat melawan suara-suara bertanduk di kepala.




Jadi… kapan saya dan mereka akan mati? Siapa yang meninggalkan siapa? Siapa yang ditinggalkan siapa? Hahaha. Untungnya Tuhan masih berbaik hati merahasiakannya. Sehingga saya masih bisa menikmati jus tomat ini tanpa harus takut tersedak. Satu tegukan terakhir dan [mungkin] besok besoknya lagi saya masih bisa menikmatinya lagi… :]  

Selasa, 01 Maret 2011

TEMAN LEMARI KAYU


Aku mempunyai seorang teman. Temanku itu berambut panjang dengan warna merah menyala. Kami seumuran. Postur tubuhnya juga hampir mirip denganku, namun dia lebih tinggi 1-2 cm dariku. Tapi aku tidak yakin dengan warna bola matanya, selalu berubah-rubah setiap harinya. Hal yang disukainya adalah saat rambutnya yang panjang itu tertiup angin, seperti ia telah  menjangkau surga dengan rambut yang melambai-lambai itu. Hal yang paling dibencinya adalah ketika ada semut yang menggigit matanya, seperti ia melihat neraka di mata yang diameter kelopaknya sudah bertambah beberapa inci itu.

Temanku itu meletakkan logika di tangan kanan. Dia tak pernah menbiarkan seorangpun menjabat tangannya, ia takut seseorang akan mencurinya. Aku sering menggigit lidah bila berbicara dengannya. Membuat mulutku ditumbuhi bulatan kecil berwarna putih, dan terasa sakit sekali bila digunakan mengunyah makanan. Kadang di depannya aku sering mencuri-curi pandang ke dalam tangan kanannya, berharap dia lengah agar bisa mencukil otaknya meski sedikit. Namun aku takut dia akan menempelengku dengan tangannya itu. Itu akan membuat kepalaku sedikit berdenging. Tapi aku masih berteman baik dengannya…

Setiap ada di dekatnya aku dengan berat hati menyembunyikan khayalan-khayalanku [dia menyebutnya omong kosong] di kantong celana, yang sebenarnya membuatku sangat tersiksa karena celanaku sempit sekali. Kadang juga aku menyembunyikannya di dalam kaos kaki yang sudah lupa seperti apa bau deterjen itu. Aku seperti orang yang terserang kram sekujur tubuh bila ada di dekatnya. Kadang juga serupa robot yang kehabisan baterai, berkedap-kedip seperti lampu disko. Tapi dia masih teman baikku...  

Dia adalah teman dengan ekspresi terdatar yang pernah aku kenal. Dia adalah menara es, aku harus mendongakkan kepala dari kejauhan untuk melihatnya agar tidak ikut membeku bersamanya. Saat sedang duduk sebangku dengannya, waktu adalah seekor siput. Pantat  rasanya gatal sekali, ingin sekali menggaruknya tapi aku ngeri dengan sorot mata dingin itu. Aku takut dia akan menyihirku menjadi boneka salju dengan perut gendut dan ranting yang menancap di hidung. Tapi kami masih berteman baik...

Ssst… jangan bilang siapa-siapa, ini  rahasia; suatu malam tanpa sengaja aku memergokinya mengigau dengan tangan kiri terkepal erat, sedang tangan kanannya dia masukkan kemulutnya, dan itu membuat wajahnya kelihatan sangat aneh. Dan tiba-tiba saat itu juga aku begitu ingin memutilasi tangan kanannya, akan aku ganti dengan tangan boneka monyetku. Itu akan membuatnya berpikir dua kali bila ingin menjejalkan tangan kanannya ke dalam mulut lagi. Lagian siapa yang ingin mengulum tangan monyet!

Hahaha… Ada cula di kepalaku, apakah barusan aku menyeringai seperti tokoh antagonis di sinetron?!




* untuk teman yang tinggal di lemari kayuku; jangan tanya kenapa aku masih bisa berteman baik denganmu – Engkaulah satu-satunya yang setia mengusap kepalaku saat aku masuk ke ‘rumahmu’ dengan mata sembab [dengan tangan kananmu]

Jumat, 25 Februari 2011

SEDANG TIDAK AMNESIA


"Air mata paling pedih yang dicurahkan di atas pusara adalah air mata untuk kata-kata yang tidak sempat kita ungkapkan dan perbuatan-perbuatan yang tidak sempat kita wujudkan" [Harriet Beecher Stowe]

* Doraemon, boleh kupinjam mesin waktumu?! Sekarang ini dini hari yang tidak amnesia...

Kamis, 24 Februari 2011

DI SANA




Suatu saat aku akan pergi jauh. Sangat jauh. Jauh dari jangkauan. Jauh di luar sana. Aku akan pergi ke tempat itu. Tempat dimana tak seorangpun yang mengenaliku. Di tempat yang ada hanya aku dan anonim anonim...

Di sana aku menghabiskan sisa waktu. Tanpa apa dan siapa. Meresapi keberadaan yang segera berlalu. Dimana detak jam bukan sekedar kalkulasi dan hitungan-hitungan angka menghitung hari. Sendiri berteman ego. Merayakan sepi yang riang. Tak ada isak tangis hanya derai tawa dalam diam...

Di sana menikmati hidup dengan sederhana. Duduk di bawah pohon rindang menikmati semilir angin rerumputan. Meringkuk diantara bunga-bunga liar. Membaui harum hujan. Dan meski terbata-bata mengeja senja yang berganti malam, masih ada bintang yang merangkai rasi...

Hahaha. Indah sekali. Kapan bisa ke sana? Kapan-kapan... 

Selasa, 22 Februari 2011

SAYA MASIH


Saya masih bisa mengerti ketika keponakan-keponakan saya bertengkar hebat, berkelahi dan saling adu jotos. Saya mengerti; satu jam kemudian mereka akan baikan kembali...

Saya masih bisa mengerti ketika ada sekelompok remaja berseragam putih abu-abu berkeliaran di tengah jalan, saling kejar dan lempar batu dengan sumpah serapah tak terkendali. Saya mengerti; mereka sedang di medan labil, emosi memimpin...

Tapi saya benar-benar tak bisa mengerti ketika ada sekelompok manusia dewasa saling beradu parang sambil melafalkan nama Tuhan. Tiba-tiba Tuhan bermanifestasi dalam pentungan, hujan batu dan tebasan golok. Saya benar-benar tak habis pikir ketika agama membuat seseorang begitu bernafsu untuk menggorok leher musuhnya yang notabene adalah saudara seagama. Begitu nama Tuhan diteriakkan, segalanya terasa halal dan sah-sah saja dilakukan. Begitu nama Tuhan diteriakkan, apa-apa yang ada diluar pemikirannya adalah dosa besar. Begitu nama Tuhan diteriakkan, seolah-olah surga sudah dalam jangkauan...

Padahal, setahu saya selama ini [sedari kecil], dalam konsep diri saya terbentuk pemikiran; agama sama dengan kebaikan, seharusnya perilaku pemeluknya [yang mengaku mengerti agama] berkolerasi positif dengan hal-hal baik, kedewasaan berpikir dan kebijaksanaan dalam bertindak...

Hmm... mungkin saya saja yang terlalu naif. Agama sekarang ini sudah menjadi komoditas, label yang bisa ditempelkan dimana saja sesuka hati, menjadi kepentingan yang bisa dimanipulasi begitu rupa. Agama bisa berubah bentuk sesuka hatinya. Sekali waktu ia bisa menjadi tokoh politik yang sedang pidato di parlemen, yang membuat ngantuk pendengarnya; di waktu lain ia menjadi artis sinetron yang membuat halusinasi penontonnya; di lain waktu ia adalah tukang sulap; dan di lain kesempatan dia lain sebagainya lagi....

Saya memang tidak terlalu tahu tentang agama. Tapi paling tidak sampai sekarang saya masih percaya Tuhan. Saya percaya Tuhan itu keren, Dia melebihi Superman bahkan Iron man sekalipun. Dia bisa membela dirinya sendiri, jadi tidaklah perlu pembelaan yang membabi buta. Mungkin Dia akan lebih senang kalau kita membela sesama kita, itu akan memperingan-Nya. Hubungan vertikal dan horisontal di level yang sama...

Dengan adanya peristiwa akhir-akhir ini, mungkin hal itu akan membuat saya skeptis dengan yang namanya "agama". Tapi saya masih percaya Tuhan... Tuhan tidak selalu terwakilkan dari apa dan siapa yang mempercayainya, dari agama apa yang di anutnya. Sama halnya tidak semua yang bertatto dan beranting banyak itu kriminal, dan tidak semua polisi dan penegak hukum itu baik. Yang terjadi adalah justru penafsiran kita yang kemana-mana, Seperti apa yang pernah dikatakan John Lennon "I believe in God, but not as one thing, not as an old man in the sky. I believe that what people call God is something in all of us. I believe that what Jesus and Mohammed and Buddha and all the rest said was right. It's just that the translations have gone wrong"

Yaa.. Saya masih percaya TUHAN. :]