Minggu, 17 April 2011

P untuk PECUNDANG


Ada seorang anak perempuan bernama L. Ia begitu suka hujan sehabis subuh dan jus tomat yang tak terlalu manis. L sangatlah biasa, ia bukan tipikal perempuan yang biasa kau lihat di layar kaca dan majalah-majalah fashion. Ia bukan pemeran protagonis di sinetron kejar tayang. Ia bukan pula serupa gambar di papan-papan iklan pinggir jalan yang menyegarkan mata. L selalu punya keyakinan bahwa ia akan mampu bertahan hidup bertahun-tahun di sebuah ruangan tanpa harus keluar kemana-mana, nama ruangan itu adalah toko buku dengan inisial “G”.

L juga punya hal yang tidak disukai. Ia tidak suka di puji lebih dari tiga kali dengan topik yang sama, kalau tidak ia akan menganggapmu penjilat. Ia lebih tahan kata-kata satir daripada pujian bertubi-tubi. Pujian bagi L ibarat kanker otak yang telat dideteksi, tunggu saja sampai sekarat!

Di dalam kamarnya L mempunyai kardus karton yang berisi imaji-imaji. Kenapa ia tak berbagi itu dengan temannya? Apakah ia terlalu pelit? Jangan salah, L pernah melakukan itu, tapi teman-temannya malah mencap-nya sebagai si aneh. Sebenarnya L tidak peduli itu, baginya aneh bukanlah penyakit mematikan, tapi disisi lain L juga ingin punya teman yang bisa diajak bermain lompat tali. Sejak saat itulah perempuan itu menyembunyikan imajinasinya di dalam kardus karton, di kamarnya. Hanya untuk dirinya sendiri…  

Seperti layaknya manusia pada umumnya L juga punya sebuah rahasia, ia menyembunyikan itu dibalik poninya. Asal kau tahu, L adalah perempuan dengan huruf  P besar di dahinya. Ia seperti perayu ulung bagi L. Mulutnya semanis es krim vanilla. Setiap malam si P besar ini menyanyikan lullaby yang selalu sama untuk L. Inilah liriknya; 

Tetaplah di sini
Dekat dekatlah denganku
Engkau akan aman di sini

Nyamankan tidurmu 
Dunia luar sangat kejam
Apa yang tak kau ketahui itu yang akan membunuhmu

Tidur tidurlah yang lelap
Mimpilah tentangku si bijaksana
Besok pagi adalah hari ini
Aku akan tetap di sini
Menemanimu... 

Perempuan ini sebenarnya sangat ingin beranjak dari sini. Tapi P besar selalu berhasil menjeratkan jaring-jaring besi padanya. Ia adalah semajam doktrin bagi L; “KENYAMANAN ADALAH HARGA MATI!!!” L merasa P adalah musuhnya yang paling karib. Dunia tidak lagi berputar pada porosnya, setiap harinya ia telah bergeser beberapa inci, meninggalkan L yang masih berdiri di tempat yang sama. Ia adalah patok kayu penanda batas tanah.

P seperti kutukan bagi L. Ia tak ubahnya nenek tua berjubah hitam yang membawa apel beracun kemana-mana. Tapi sayangnya si L tidak suka apel, meski sama-sama merah tapi ia lebih suka tomat. Namun tetap saja P adalah perayu ulung.

P adalah parasit dan L tidak bisa berbuat apa-apa. P adalah tumor ganas dan L terlalu ngeri untuk melakukan sesuatu. P adalah pembunuh berdarah dingin dan L adalah saksi mata yang terlalu takut untuk membuka mulut. P adalah dan L adalah. Selalu akan ada kata sambung di antara keduanya…

Ssst… Aku tak boleh bicara terlalu banyak, karena ia punya semacam dogma; “Jangan biarkan orang tahu terlalu banyak tentangmu, simpan sedikit di peti harta karunmu. Bajak laut itu keren – berburu harta karun tak akan pernah membosankan”


Hahaha. Seharusnya ku gigit lidahku ini!

DULU SAAT INGATAN SAYA MASIH SETAJAM GOLOK!


Dulu beberapa tahun kebelakang, kalau bisa dianalogikan, kepala saya ini adalah brankas yang terbuat dari baja anti peluru. Yang dengan mudahnya bisa dibuka tutup. Karena kode-nya hanya terdiri dari sedikit digit yang sangat sederhana tanpa takut orang lain akan mencurinya. Saya ingat, saat masih dibangku sekolah dulu saya tidak perlu bekerja keras untuk belajar setiap hari hanya untuk mendapatkan nilai bagus. Selain karena orang tua saya tidak terlalu menuntut hal itu – yaa, mereka memang keren – bagi saya belajar itu ibarat nasi bungkus, hanya dibeli saat lapar dan saat ibu saya sedang malas memasak.  


Benar, saya hanya belajar kalau ada ulangan/ujian. Itupun tak butuh waktu berjam-jam, kadang kepala saya mendadak pusing kalau berlama-lam belajar. Itulah ajaibnya kepala saya dulu, selain hitung-hitungan, saya hanya butuh sekali baca untuk mengingat dan mengerti berlembar-lembar teks di buku pelajaran. Dan saya senang, itu artinya keesokan harinya saya hanya  perlu nongkrong di kantin untuk menunggu giliran ujian disaat teman-teman saya hilir mudik menenteng catatan dan duduk-duduk di sepan kelas sambil membuka lembar demi lembar buku pelajaran – kadang saya sangat membenci pemandangan itu.

Pernah ada seorang teman ngomong sama saya, “Kamu itu aneh ya, gak pernah kelihatan belajar tapi nilaimu bisa tetap bagus.” Hahaha, mereka bilang saya aneh. Hmm, memang – bukannya ingin sombong, meskipun saya ini tipikal santai yang menjurus malas tapi – walau tak pernah ranking satu – saya selalu masuk sepuluh besar. Begitulah, puji syukur dan alhamdulillah untuk daya ingat saya.

Karena saya tak ingin takabur, saya selalu membagikan karunia ini kepada teman-teman saya yang membutuhkan – dalam kategori malas tapi sayangnya tak seberuntung saya [Hahaha. Congkak sekali!] – saya dengan sangat sukarela memberikan contekan kepada mereka, dan bahka tanpa sungkan-sungkan saya memberikan lembar jawaban untuk di copy bergilir [kata bergilir mengingatkan saya pada tulisan di kolom berita kriminal]. Meskipun Nietzche pernah berkata, “Rasa kasihan adalah suatu pemborosan perasaan, suatu parasit yang membahayakan kewarasan moral.” – namun saya tetap melakukan ritual itu, bagi saya itu bukan bentuk rasa kasihan tapi lebih kepada solidaritas antar teman [semoga ini bukan kata yang genit] dan saya tak peduli definisi waras itu seperti apa.

Saya tak ambil pusing dengan deret nilai-nilai. Dan saya tak begitu terobsesi dengan tingkat kepintaran yang dikemas sangat apik dalam kotak warna-warni bernama rangking kelas [nama yang arogan sekali]. Menurut saya sekolah bukan hanya masalah buku pelajaran dan angka-angka membingkai nilai. Mungkin, saya mempunyai gen ketertarikan minimum dengan yang namanya buku pelajaran.Buku fiksi menurut saya lebih seksi. Jadi, bisa naik kelas dan lulus sekolah itu sudah cukup bagi saya. Begitu juga kata ibu bapak saya. He he he…


Itulah dan begitulah. Saya menyebut itu sebagai NOSTALGILA OTAK KIRI!