N: Hei kamu, sekarang aku atheis lho.
A: Oh, ya? sejak kapan?
N: Belum lama ini, kok. Beberapa hari sebelum
tahun baru, mungkin. Ya sekitaran itulah.
A: Ehm, terus kenapa kepikiran pengen jadi atheis?
N: Aku rasa atheis itu keren.
A: Ha-ha, keren? Paling tidak kamu harus merasa
yakin benar untuk tak bertuhan sebelum merasa ’keren’ benar.
N: Tapi… aku tak sepenuhnya percaya kalau tuhan
itu tidak ada. Aku hanya sedang sedikit meragukan keberadaanNya.
A: Ehem. Yang namanya atheis itu berarti tak
beragama, tidak mengakui keberadaan tuhan, titik. No excuse, gak ada embel-embel lain di belakangnya.
Bukankah ragu itu berarti belum percaya
sepenuhnya? Ibaratnya kamu masih ada di tengah-tengah, yang setiap saat kamu
bisa meloncat ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri. Kamu harus yakin benar
seratus persen sebelum mangklaim sesuatu yang – mungkin - akan kamu pegang
seumur hidupmu. Masalah keyakinan menurutku bukan lagi masalah main-main, dia
bukan lagi masalah memilih jenis musik apa yang kamu sukai dan cara berpakaian
apa yang kamu minati. Masalah keyakinan bukanlah masalah selera, yang bisa
berubah kapan saja. Kamu tak ingin terlihat seperti Spongebob yang bingung
harus memilih baju apa saat ada janji kencan,bukan? Ia sibuk mencoba baju apa
saja yang menurutnya terbaik di lemari bajunya. Toh, ujung-ujungnya dia memakai
baju kotak berdasi yang menjadi kebiasaannya itu juga.
N: Oh, seperti itukah?
A: Iya. Tapi, itu sepanjang pengetahuanku.
Idealnya, kamu harus rajin mencari kajian atau rujukan tentang atheis itu dari
segala sudut pandang. Jadi kamu akan mempunyai referensi kuat yang tak hanya
searah untuk menelaah apakah menjadi atheis itu adalah seperti apa yang selama
ini kamu harapkan. Masalah keyakinan ujung-ujungnya adalah masalah harapan menurutku.
Seperti, saat berjalan-jalan di sebuah toko buku, tanpa sengaja matamu melihat
sebuah buku yang bagus. Kenapa menurutmu itu bagus? Karena sampulnya,
pengarangnya, atau testimoni tentang hal-hal baik dari buku itu yang terpampang
di cover depannya, mungkin? Tapi, di atas semua itu, kamu pastinya berharap
kalau buku itu memang benar-benar bagus isinya. Iya, sangat berharap.
Oh,sebelum lupa, jadi apa yang jadi pemicu sesungguhnya?
N: Aku hanya merasa begitu banyak orang yang
mengaku beragama, tapi kelakuan mereka sama brengseknya dengan para narapidana
dan preman pasar. Dan eh, bukannya para koruptor itu bahkan sudah naik haji
berkali-kali ya?
A: Memang. Tapi kamu juga tak bisa memukul rata
kalau yang salah adalah agama itu sendiri. Aku lebih setuju kalau para
personalnya yang bermasalah. Mereka terlalu grasa-grusu dalam menafsirkan
ajaran suatu agama. Dibuat dan dimodifikasi sedemikian rupa untuk kepentingan
kelompoknya sendiri.
Sama halnya kamu tidak bisa menggeneralisasikan
bahwa semua yang bertatto itu pasti preman dan yang suka pakai peci itu pasti suci.
Bukankah itu hal gegabah yang mewabah?
N: Jadi, apakah salah menjadi atheis?
A: Tidak, sama sekali tidak. Beragama ataupun tak
beragama adalah hak dasar masing-masing orang. Dan aku bakalan respek sedalam-dalamnya
kalau kamu punya alasan dan pegangan yang kuat di belakang itu.
N: Hahaha, kamu tahu? Seharusnya kamu jadi
pendakwah saja.
A: Nah. Aku belum sebaik itu, lah. Ibadah juga
masih suka bolong-bolong. Masih juga hobi ngebohong. Apalagi pengetahuan masalah
agama, masih cetek banget banget. Kebangetan malah. Sepertinya aku belum ada
bagus-bagusnya di mata orang-orang yang lebih ngerti agama.
Tapi aku percaya tuhan itu keren. Tak harus dengan
serangkaian ibadah rutin dan formil untuk bisa sekedar ngobrol dan berintim ria
denganNya.
Jadi, temanku yang baik hati, cobalah telaah lebih
teliti lagi. Dan kalaupun pada akhirnya kamu memilih untuk menjadi atheis, kamu
adalah seorang atheis yang keren.
N: Hehe, baiklah.
A: Hehe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar