Rabu, 30 Januari 2013

APAAN SIH, APAAN DONG. DANG DING DONG

 
N: Hei kamu, sekarang aku atheis lho.
A: Oh, ya? sejak kapan?
N: Belum lama ini, kok. Beberapa hari sebelum tahun baru, mungkin. Ya sekitaran itulah.
A: Ehm, terus kenapa kepikiran pengen jadi atheis?
N: Aku rasa atheis itu keren.
A: Ha-ha, keren? Paling tidak kamu harus merasa yakin benar untuk tak bertuhan sebelum merasa ’keren’ benar.
N: Tapi… aku tak sepenuhnya percaya kalau tuhan itu tidak ada. Aku hanya sedang sedikit meragukan keberadaanNya.
A: Ehem. Yang namanya atheis itu berarti tak beragama, tidak mengakui keberadaan tuhan, titik. No excuse, gak ada embel-embel lain di belakangnya.
Bukankah ragu itu berarti belum percaya sepenuhnya? Ibaratnya kamu masih ada di tengah-tengah, yang setiap saat kamu bisa meloncat ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri. Kamu harus yakin benar seratus persen sebelum mangklaim sesuatu yang – mungkin - akan kamu pegang seumur hidupmu. Masalah keyakinan menurutku bukan lagi masalah main-main, dia bukan lagi masalah memilih jenis musik apa yang kamu sukai dan cara berpakaian apa yang kamu minati. Masalah keyakinan bukanlah masalah selera, yang bisa berubah kapan saja. Kamu tak ingin terlihat seperti Spongebob yang bingung harus memilih baju apa saat ada janji kencan,bukan? Ia sibuk mencoba baju apa saja yang menurutnya terbaik di lemari bajunya. Toh, ujung-ujungnya dia memakai baju kotak berdasi yang menjadi kebiasaannya itu juga.
N: Oh, seperti itukah?
A: Iya. Tapi, itu sepanjang pengetahuanku. Idealnya, kamu harus rajin mencari kajian atau rujukan tentang atheis itu dari segala sudut pandang. Jadi kamu akan mempunyai referensi kuat yang tak hanya searah untuk menelaah apakah menjadi atheis itu adalah seperti apa yang selama ini kamu harapkan. Masalah keyakinan ujung-ujungnya adalah masalah harapan menurutku. Seperti, saat berjalan-jalan di sebuah toko buku, tanpa sengaja matamu melihat sebuah buku yang bagus. Kenapa menurutmu itu bagus? Karena sampulnya, pengarangnya, atau testimoni tentang hal-hal baik dari buku itu yang terpampang di cover depannya, mungkin? Tapi, di atas semua itu, kamu pastinya berharap kalau buku itu memang benar-benar bagus isinya. Iya, sangat berharap.
Oh,sebelum lupa, jadi apa yang jadi pemicu sesungguhnya? 
N: Aku hanya merasa begitu banyak orang yang mengaku beragama, tapi kelakuan mereka sama brengseknya dengan para narapidana dan preman pasar. Dan eh, bukannya para koruptor itu bahkan sudah naik haji berkali-kali ya?
A: Memang. Tapi kamu juga tak bisa memukul rata kalau yang salah adalah agama itu sendiri. Aku lebih setuju kalau para personalnya yang bermasalah. Mereka terlalu grasa-grusu dalam menafsirkan ajaran suatu agama. Dibuat dan dimodifikasi sedemikian rupa untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Sama halnya kamu tidak bisa menggeneralisasikan bahwa semua yang bertatto itu pasti preman dan yang suka pakai peci itu pasti suci. Bukankah itu hal gegabah yang mewabah?
N: Jadi, apakah salah menjadi atheis?
A: Tidak, sama sekali tidak. Beragama ataupun tak beragama adalah hak dasar masing-masing orang. Dan aku bakalan respek sedalam-dalamnya kalau kamu punya alasan dan pegangan yang kuat di belakang itu.
N: Hahaha, kamu tahu? Seharusnya kamu jadi pendakwah saja.
A: Nah. Aku belum sebaik itu, lah. Ibadah juga masih suka bolong-bolong. Masih juga hobi ngebohong. Apalagi pengetahuan masalah agama, masih cetek banget banget. Kebangetan malah. Sepertinya aku belum ada bagus-bagusnya di mata orang-orang yang lebih ngerti agama.
Tapi aku percaya tuhan itu keren. Tak harus dengan serangkaian ibadah rutin dan formil untuk bisa sekedar ngobrol dan berintim ria denganNya.
Jadi, temanku yang baik hati, cobalah telaah lebih teliti lagi. Dan kalaupun pada akhirnya kamu memilih untuk menjadi atheis, kamu adalah seorang atheis yang keren.
N: Hehe, baiklah.
A: Hehe.


Tidak ada komentar: