Selasa, 14 Desember 2010

Saya Dirayu Setan Untuk [Menjadi] Sedih



"Seandainya engkau dulu mempunyai keberanian untuk mencintaiku sebagaimana layaknya seorang pria mencintai wanita..."


Ha ha ha... entah setan apa yang sedang bertengger di pundak saya saat ini. Tiba-tiba ia merayu saya untuk melihat di balik punggung.
"Lihat... bianglala itu terus berputar. Sangat cepat. Tak maukah kau memberi jeda?"
"Untuk apa?"
"Apakah kau tak rindu mengulang kenangan? Dibalik jeda, kau bisa memutar balik arah bianglala itu."
"Untuk mengenang apa dan siapa?"
"Tidak-kah kau ingat, di sana pernah duduk seorang anak laki-laki sebayamu. Kalian duduk berseberangan arah. Ingin saling mendekat, tapi sama-sama takut jatuh, karena bianglala sudah terlanjur berputar..."
"Bah! Hentikan khotbah omong kosongmu itu! Aku sedang tak ingin bermain peran dalam drama melankolis."
"Engkau takut bukan?"
"Takut apa?"
"Takut karena tak banyak yang bisa kau kenang."
"Engkau salah... aku masih punya ruang ingatan tentang sosoknya di pojok otakku. Meski tak banyak, paling tidak aku masih punya..."
"Ha ha ha... Iya. Tapi itu kenangan yang berjarak. Ingatan yang tak ramah, dingin dan kikuk. Menyedihkan!"
"Sudahlah! Hentikan celotehan busukmu. Aku tak tertarik memberi jeda. Biarkan bianglalanya terus berputar."
"Kau pikir tadi itu apa hah?! Ha ha ha..."
"Sial! bangsat licik!"

Ha ha ha... Bagus sekali! Terperangkap sekali lagi dalam sirkuit drama mental; melankoli mendalam, sensasi sepi, rasa tak memiliki tempat berpijak. Tak mampu mengebaskannya, hanya menggiring saya dalam medan tangis. 

Ha ha ha... Bukankah ini lucu. Melodramatis bodoh! 

"Silahkan anda menertawakan saya. PEDULI SETAN!!!"

MARI... SAMPAI...


Mari tertawa sekerasnya, sampai perutmu sakit
Mari tersenyum selebarnya, sampai mulutmu kaku
Mari bernyanyi selantangnya, sampai tenggorokanmu kering
Mari menari sebebasnya, sampai kaki dan tanganmu mati rasa

Mari menangis sepuasnya, sampai hatimu kebas
Mari lanjutkan lagi...
Tertawa...
Tersenyum...
Bernyanyi...
Menari...

Dan menangis...
[mari kita ulangi siklus-nya]
                                                                         

UNTITLED


“Engkau ini happy terus ya…”
“Enak ya jadi kamu, hidup kayak gak ada beban”
“Heran, kamu ini pernah punya masalah gak sih. Kog perasaan jarang bahkan gak pernah aku lihat kamu itu sedih atau menangis. Kerjaanmu setiap hari kalau gak tersenyum dan tertawa, sudah seperti orang gila saja. Ha ha ha…”


Begitulah sebagian apa kata mereka [sahabat] mengenai apa yang mereka sebut dengan “kelihatannya” aku ini, yang sepertinya bahagia selalu dan melulu. Tidak sepenuhnya salah memang, tapi tak sepenuhnya benar juga. Apalah artinya hidup tanpa masalah dan air mata. Aku pun pernah. Aku pernah tahu seperti apa rasanya menangis sampai dada seakan mau meledak, saat hati meninju tepat dan telak di belakang tengkuk, membuatku sulit bernafas. Dan otak entah melarikan diri kemana… dasar pengecut licik!

Sayangnya aku bukan tipe “berbagi tangis”. Tapi untung aku masih punya koalisi handal; Dia,  malam, tembok dan bantal. Dengan sedikit mantra: “Malam ini juga aku putuskan. Benamkan tangis dalam bantal, dan lupakan seluruh persoalan itu!”.Dan simsalabim adakadabra,  besoknya aku sudah terinveksi virus amnesia. Atau entah, sulit untuk sedih kalau ada efek terang – siang hari.

Silahkan berbagi kesedihan denganku, kapan saja. Dengan senang hati aku akan menjadi “tempat sampah”, aku punya reputasi sebagai pendengar yang baik [he he he]. Dan aku-pun bisa berubah wujud menjadi badut [ho ho ho].

Tapi maaf, sejauh ini aku hanya bisa berbagi kebahagiaan dan kesenangan. Bukannya ingin sok tegar atau tangguh [lagi pula aku tidak tertarik menjadi superhero atau-pun robot], aku hanya masih sanggup menelannya sendiri. Toh, aku punya otak  yang “aneh”. Sepertinya otakku ini sudah di-setel secara otomatis untuk mengaburkan memori-memori yang mengandung air mata [terimakasih untuk Dia]. Hmm… kadang terfikir untuk memeriksakan kepala ini, berhubung aku punya riwayat pelipis kiriku pernah membentur telak batu cadas [tapi aku lupa rasa sakitnya]. Masih ada bekas jahitannya dipelipis sini, yang kata ibuku bisa jadi penanda kalau suatu saat nanti aku hilang. Ha ha ha, konyol… gawat! otak-ku mulai berhalusinasi…

Aku memang tak bahagia setiap hari, tapi pedih-pun pasti punya rasa bosan. Sedih bukan pula harga mati, senyuman dan tawa pasti bisa merayunya. Mungkin ini soal sudut pandang otak dan tata letak hati. Jadi harus pandai-pandai menata ulang dan mendekorasi-nya. Waaah… sepertinya aku harus belajar tentang design interior. He he he…

Selasa, 07 Desember 2010

KEPALA DAN TEMBOK


Kepala : “Mereka bilang aku sinting.”
Tembok : “Bukannya sinting, tapi unik.”
Kepala : “Tembok yang aneh.”
Tembok : “Engkau lebih aneh lagi.”
Kepala : “Ha ha ha…”

Senin, 06 Desember 2010

DIMANAKAH TOLERANSI?


Dimanakah toleransi?
Apakah ia telah bermutasi menjadi dengkul-dengkul sekeras beton.
Ataukah diam-diam bersembunyi di balik sepatu-sepatu mahal berhak tinggi.

Mungkin pula ia sedang hinggap di lipstik-lipstik merah menggoda.
Pemulas bibir topeng-topeng bersorban agama,
yang merasa matahari muncul dari balik punggungnya.

Toleransi adalah sumpah serapah
Toleransi adalah bogem mentah
Toleransi adalah pentungan
Toleransi adalah batu kerikil
Toleransi adalah kerlingan sinis
Toleransi adalah... adalah... adalah...

Lalu, dimanakah toleransi?
Ooh tidak... kita menyembunyikannya di brankas besi.
Dan, kita lupa berapa kombinasi angkanya...

----------------------------


MULUT-MULUT BERBUSA DI LAYAR KACA


“Lompati detail-detailnya, langsung ke pokok permasalahan dan cari solusinya”

Begitu banyak masalah hukum dan politik di negeri ini. Banyak kasus dengan nominal selangit. Menjadi sorotan publik dan santapan utama media-media mainstream. Lalu televisi ramai-ramai mengadakan perbincangan-perbincangan politik. Membahas secara detail dan kadang mendramatisir. Pengamat dan tokoh politik lalu lalang di televisi. Dan kadang para dewan [yang sampai sekarang saya masih heran disembunyikan dimana urat malunya] yang “terhormat” itu ikut nimbrung, yang entah benar-benar peduli atau hanya ingin ikut numpang tenar saja. Kasus-nya pun semakin tidak karu-karuan. Carut marut seperti benang kusut. Diobok-obok sebatas area “mulut”. Sebatas obrolan di warung kopi. Nikmati selagi panas. Sudahi obrolan saat kopi sudah tak hangat lagi.
Yaa… maklum saja, mungkin tradisi masyarakat kita yang suka basa-basi. Kalau gak banyak omong gak asyik. Kalau gak ngomongin orang gak sip. Mungkin kita ini butuh tiga mulut dan satu kuping. Ha ha ha…
Kemudian… saat obrolan politik itu sudah tak menarik lagi, ayo berbondong-bondong ke kasus baru yang lebih besar dan populer. Toh masyarakat ini gampang lupa. Dan dimulailah pertunjukan. Mulut-mulut berbusa menginvasi televisi. Membanjiri otak-otak pemirsanya. Yang lalu memuntahkannya lewat sumpah serapah, pentungan, lemparan batu dan bogem mentah…

PERCAKAPAN DI POJOK OTAK


Percakapan saya dengan seorang teman :
Teman [T] : “Sedang baca buku apa kamu? Coba lihat!”
Saya [S] : “Ini…”
[T] : “Bukannya ini buku tentang agama Kristen ya?”
[S] : “Bukan. Itu buku yang kebetulan saja ceritanya berlatar belakang Vatikan
dengan segala intrik di dalamnya, yang kebetulannya lagi mereka
beragama Kristen. Bukankah nama lain dari kebetulan adalah Tuhan. Jadi
dengan kata lain aku sedang membaca Tuhan, bukan lembaga, lambang
ataupun institusi yang berjubah agama.”
[T] : “Ha ha ha, ayolah… jangan naif! Tema besar yang diangkat dalam buku ini adalah
tentang Kekristusan dan tetek bengeknya.bukan? Dan tentu saja di dalamnya
banyak berisi doktrin- doktrin dan dogma-dogma yang “sengaja” ditulis untuk
ditanamkan kepada pembacanya. Kamu tahu dengan pasti itu kan?”
[S] : “Benar, lalu apa masalahnya?”
[T] : “Ha ha ha, lucu sekali!”
[S] : “Ahh… jangan terlalu sinis begitu. Apa yang salah dengan membaca buku yang
“lain” dari kita. Apa masalahnya dengan buku komunis, atheis, buku-buku agama
[lain], isme- Isme dan bla la bla… Kita ini sudah cukup “dewasa” dan cukup
“tahu”, sudah bukan saatnya mempermasalahkan hal-hal sepele seperti itu.”
[T] : “Hmm… apa kau tak takut dosa?”
[S] : “Ha ha ha. Ayolah… jangan berpikiran sepicik itu. Kita [otak dan rasa] tak akan
berkembang, kalau kita hanya menuruti yang selalu satu selera saja. Hidup ini
tak melulu tentang bunga melati, di luar sana ada banyak betbagai macam bunga;
mawar berduri, bunga bangkai, bunga teratai, bunga matahari dan bunga-bunga
lainnya. Cobalah membaui semuanya, yaa… salah satunya melalui buku tentunya.”
[T] : “Tapi, tetap saja buku-buku kafir itu sumber dosa!”
[S] : “Dosa yang mana? Kafir yang siapa? Itu hanya buah penghakiman dari otak-otak
yang kurang “makan”. Ayolah teman… Tuhan tak se-kaku itu. Ia pastinya kutu
buku, bukannya setiap agama mempunyai bukunya sendiri. Dan mungkin saja Dia
sekarang ini sedang berada di perpustakaanNya yang besar dan nyaman, duduk
menghadap matahari ditemani secangkir teh sedang membaca buku tentang Kremlin.
He he he…”
[T] : “Engkau tak pernah berubah. Selalu menjadikan Tuhan sebagai bahan
kekonyolanmu.”
[S] : “Ahh… kalian selalu salah mempersepsi maksutku, omonganku tak seharfiah itu.”
[T] : “Halah… omong kosong!”
[S] : “Memang… kalau kita teruskan obrolan ini, jatuhnya hanya akan menjadi omong
kosong penuh basa basi belaka. . Inilah susahnya berbicara dengan orang yang
keras kepala, kata-kata hanya akan membentur dikerasnya otakmu yang berbatu.
Tak ada gunanya!”
[T] : “Hah.. Apa kau bilang! Aku keras kepala?!”
[S] : “Iya. Dan untungnya aku pernah membaca buku bagaimana caranya menjinakkan orang
keras kepala macam dirimu. Jadi, tenanglah saja…”
[T] : “Apa?!”
[S] : “Merendam kepalamu itu ke dalam baskom besar berisi es batu. Biar otak di
kepalamu itu mencair!!! Ha ha ha…”
[T] : “Ha ha ha… sialan kau!”
[S] : “Sudah sudah… ayo kita redamkan kepala dengan secangkir teh. tuhan-mu ini
sedang bermurah hati ingin mentraktirmu, eits… bercanda! He he he…”
[T] : “Ha ha ha… dasar aneh!”
[S] : “Memang! He he he… cukup-cukup, secangkir teh sudah tak sabar menunggu omong
kosong kita.”
[T] : ”Ayolah…”
Dan percakapan itu-pun berakhir di secangkir teh… :)