Kamis, 17 Januari 2013

DEAR, MR. DAM[n][th]ING

 
Sebelum ini saya sama sekali tidak tahu siapa anda, tapi bersyukurlah pada televisi yang telah membuat anda terkenal. Mengalahkan kontroversi si Roy Suryo [yang saya-pun tak habis pikir, ibarat anak kecil yang sudah lama kecanduan sama PS terus tiba-tiba sama bapaknya disuruh main di luar, membuang keringat mengejar bola, sekali-kali biar bau matahari. Bisa anda bayangkan bagaimana perasaan anak itu? Setengah hati!], mungkin. Saya katakan mungkin karena saya jarang nonton tivi belakangan ini. Dan di-situlah letak kekhilafan saya, itu gara-gara saya penasaran dengan mbak Syahrini dengan ‘Sun Fransisco-nya’ yang lagi happening di dunia maya. Maka duduk manislah saya di depan tivi, ‘pasti di infotainment lagi gencar dibahas nih’, pikir saya. Apalagi saat itu saya lagi butuh hiburan, maka penting bagi saya untuk melihat hal-hal konyol yang memancing tawa. Tapi saya keliru besar, ternyata yang sedang ramai digosipin adalah anda! Alih-alih membuat perut kejang menahan tawa, kutipan-mesum-murahan anda itu malah membuat perut saya mulas menahan 'berak'.
 
‘Pemerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati’, itu kata anda si hakim ‘hebat’. Memang saya tidak ngerti hukum sefasih anda yang tentu saja sangat hafal di luar kepala. Saya buta ayat per ayat. Tapi begini loh pak hakim, dalam kepala saya yang semrawut ini pemerkosaan adalah kejahatan kemanusiaan. Yang namanya kejahatan pasti ada pihak korban yang terampas secara paksa haknya. Dan apakah menjadi korban itu nikmat/enak? Ya, kalau sama-sama enak itu namanya bukan pemerkosaan tapi bercinta [bermain seksualitas]. Bahkan kalau anda main ke lokalisasi, anda harus bayar setelah ‘main’ [mungkin ini persepsi anda yang enak sama enak itu]. Tapi anda tahu apa yang harus diterima korban pemerkosaan? Iya, trauma seumur hidup yang tak mungkin anda bayar pakai apapun. Trauma adalah monster-besar-jelek yang selalu menempel di punggungnya kemanapun ia pergi, harus berdarah-darah dulu untuk benar-benar bisa mengusirnya pergi.
Jadi saya sungguh tak habis pikir, sampai jungkir balikpun saya gak bakalan ‘ngeh’ dengan omongan anda itu. Saya ngeri lho, jangan-jangan nanti kalau terpilih menjadi jaksa agung anda akan mengeluarkan petisi ‘pemerkosaan bukanlah kejahatan’ – eh, tiba-tiba saya kepikiran untuk berkemas.

Saya kog curiga, jangan-jangan itu bagian dari fantasi liar anda [atau fetish?]. Bolehlah anda berfantasi tapi mbok ya gak usah ‘berbaik-hati’ bagi-bagi fantasi, tak cukupkah ruang persegi bernama kamar itu? Fantasi adalah privasi, ketika anda berbagi ia telah berubah bentuk menjadi komoditi. Anda mau menjualnya untuk menarik simpati? Ah, terlalu gegabah  untuk anda yang berpendidikan tinggi. Alih-alih menarik simpati, anda malah merobek muka sendiri. Eh, kalau boleh kasih saran ya pak hakim: banyak-banyaklah berlatih peran di depan cermin. Carilah gestur, mimik dan bahan pembicaraan yang simpatik. Jangan terlalu vulgar mempertontonkan sisi minus diri sendiri. Kalau anda mau sukses di dunia politik, simpan itu sifat bertanduk di belakang kamera.

Oh, anda tahu gak pak hakim? Saya sering membayangkan pas anda sekolah dulu, di kelas anda ngapain aja ya? Mungkin nih ya, andanya punya kebiasaan duduk di pojok paling belakang kelas dan disaat guru menerangkan pelajaran panjenengan malah sibuk membaca stensilan yang dengan pintarnya anda selipkan di antara halaman buku pelajaran. Saya juga punya sih hobi seperti itu, tapi buku paling ‘mesum’ yang saya baca kala itu adalah komiknya Sinchan. Mungkin karena hobi itulah anda juga berfikiran apapun yang berhubungan dengan seks: brutal atau tidak, sadis atau tidak, terpaksa atau sukarela, dipaksa membabi buta atau tidak – adalah sama-sama ‘nikmat’ di mata anda.
Iya maaf, saya tidak bisa menyisakan sedikit ruang pemahaman untuk anda, semuanya adalah prasangka negatif. Bagaimana bisa saya berfikiran positif kepada seseorang yang tidak sensitif dengan perasaan dan penderitaan orang lain – para korban pemerkosaan itu. Bisa anda bayangkan perasaan mereka? Seorang hakim yang harusnya membela hak-hak dan menegakkan hukum bagi keadilan mereka, eh ini malah melakukan ‘pemerkosaan’ berulang kepada mereka. Anda semakin memperburuk posisi mereka di mata masyarakat. Meskipun mereka itu korban tapi merekalah yang menanggung malu/aib, kadang merekalah yang dicap miring, hingga tak heran kalau ada korban perkosaan yang malu untuk melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. DAN tersangkanya? Tinggal masuk penjara, cukup sudah.
Para korban ini sudah terlalu banyak memikul beban, janganlah anda tambah-tambahi dengan sekian beban lagi. Bisa-bisa mereka tersungkur ke tanah dan tak bisa bangkit lagi.
Lalu apakah anda buta dengan berita pemerkosaan beruntun akhir-akhir ini? [saya tak bisa tuli dengan  berita ini. Bapak saya hobinya nonton berita, jadi tiap kali tanpa sengaja telinga saya ini mendengar berita-berita miris itu] – sebagian besar mereka adalah anak-anak, dimana empati anda? Bagaimana mereka menanggung rasa sakit dan trauma. Jadi dimana letak enaknya? Demi tuhan, mereka masih anak-anak!
 
Baiklah, mungkin anda akan berkilah itu hanyalah guyonan. Tapi sumpah demi apapun, sense of humour anda sungguh payah! Tiba-tiba saja saya merasa lawakan slapstick berjuta kali lebih lucu dibanding ‘lawakan’ garing anda. Kalau tak merasa mampu melucu, lebih baik diam sajalah, daripada mempermalukan diri sendiri. Tapi eh saya akui lho ya, anda ‘pintar’ kog memilih jenis guyonan di tempat yang tepat. Buktinya itu para anggota dewan ‘terhormat’ pada ikut ketawa ngikik. Anda sangat ngerti lho standar selera mereka. Kalau saya sih gak heran lah ya, saya sudah hafal dengan habit mereka.
Eh saya mau kasih tahu sebuah rahasia, saya ini punya fobia dengan yang namanya para anggota dewan yang ‘terhormat’ itu. Setiap kali mendengar nama lembaga mereka disebut, respon tubuh saya akan seperti ini: berkeringat dingin, tremor, jantung memacu cepat, mata melotot, lidah kaku. Tubuh saya kejang tak terkontrol. Makanya sebisa mungkin saya tak ingin mendengar dan melihat mereka, daripada saya menyakiti diri sendiri. Itulah kenapa saat saya melihat berita anda di televisi, alih-alih penasaran saya lebih memilih mematikan tivi. Saya yakin kog, pasti anda akan sibuk membela diri di forum dialog berita tivi. Begitu pula dengan kolega-kolega anda di dewan itu, pastilah sibuk berbusa-busa cari muka di depan kamera. Ah, melihat tingkah mereka itu rasanya seperti habis makan buah super asam langsung minum kopi pahit ukuran gelas jumbo sekali teguk – ugh, perih sekali di ulu hati!
Oh ya satu lagi, lain kali kalau mau melucu di depan publik belajar dulu deh sama mbak Syahrini. Saya salut lho sama perempuan satu itu, ia mampu membuat tontonan komedi konyol yang lucu tanpa harus menyinggung perasaan orang lain. Gimana pak hakim? Boleh juga kan usul saya ini? Bolehlah kapan-kapan dicoba.

Ya sudah, segitu sajalah pak hakim – penghakiman dari saya untuk anda. Anda pasti capek dengan segala celaan dan nistaan orang banyak. Tapi toh itu konsekuensi tindakan anda. Setiap ledakan pasti ada sumbu pemicunya. Anda harus bisa menerima dengan legowo.
Psst pssst… makanya kapan-kapan lebih hati-hati dong kalau mau melakukan ‘pemerkosaan’ makna, daripada anda diperkosa mulut-mulut berbisa, haha.







Nb: tapi duh, nasib anda baik banget sih. Nyadar gak pak? Harusnya anda berterimakasih sama hujan yang akhir-akhir ini deras turunnya. Berita-berita banjir itu telah mengalihkan perhatian semua orang. Nah, beruntung banget kan anda? Eh, rumahnya pak hakim kebanjiran gak sih? Bukannya mau sok peduli, pengen tahu saja air-air itu pada keki juga gak sih sama bapak? 


Tidak ada komentar: