Sebelum ini saya sama sekali tidak tahu siapa
anda, tapi bersyukurlah pada televisi yang telah membuat anda terkenal.
Mengalahkan kontroversi si Roy Suryo [yang saya-pun tak habis pikir, ibarat
anak kecil yang sudah lama kecanduan sama PS terus tiba-tiba sama bapaknya
disuruh main di luar, membuang keringat mengejar bola, sekali-kali biar bau
matahari. Bisa anda bayangkan bagaimana perasaan anak itu? Setengah hati!],
mungkin. Saya katakan mungkin karena saya jarang nonton tivi belakangan ini.
Dan di-situlah letak kekhilafan saya, itu gara-gara saya penasaran dengan mbak
Syahrini dengan ‘Sun Fransisco-nya’ yang lagi happening di dunia maya. Maka duduk
manislah saya di depan tivi, ‘pasti di infotainment lagi gencar dibahas nih’,
pikir saya. Apalagi saat itu saya lagi butuh hiburan, maka penting bagi saya
untuk melihat hal-hal konyol yang memancing tawa. Tapi saya keliru besar,
ternyata yang sedang ramai digosipin adalah anda! Alih-alih membuat perut
kejang menahan tawa, kutipan-mesum-murahan anda itu malah membuat perut saya
mulas menahan 'berak'.
‘Pemerkosa
dan yang diperkosa sama-sama menikmati’, itu kata anda si hakim ‘hebat’.
Memang saya tidak ngerti hukum sefasih anda yang tentu saja sangat hafal di
luar kepala. Saya buta ayat per ayat. Tapi begini loh pak hakim, dalam kepala
saya yang semrawut ini pemerkosaan adalah kejahatan kemanusiaan. Yang namanya
kejahatan pasti ada pihak korban yang terampas secara paksa haknya. Dan apakah
menjadi korban itu nikmat/enak? Ya, kalau sama-sama enak itu namanya bukan pemerkosaan
tapi bercinta [bermain seksualitas]. Bahkan kalau anda main ke lokalisasi, anda harus
bayar setelah ‘main’ [mungkin ini persepsi anda yang enak sama enak itu]. Tapi
anda tahu apa yang harus diterima korban pemerkosaan? Iya, trauma seumur hidup
yang tak mungkin anda bayar pakai apapun. Trauma adalah monster-besar-jelek
yang selalu menempel di punggungnya kemanapun ia pergi, harus berdarah-darah
dulu untuk benar-benar bisa mengusirnya pergi.
Jadi saya
sungguh tak habis pikir, sampai jungkir balikpun saya gak bakalan ‘ngeh’ dengan omongan anda itu. Saya
ngeri lho, jangan-jangan nanti kalau terpilih menjadi jaksa agung anda akan
mengeluarkan petisi ‘pemerkosaan bukanlah kejahatan’ – eh, tiba-tiba saya
kepikiran untuk berkemas.
Saya kog curiga, jangan-jangan itu bagian dari
fantasi liar anda [atau fetish?]. Bolehlah anda berfantasi tapi mbok ya gak
usah ‘berbaik-hati’ bagi-bagi fantasi, tak cukupkah ruang persegi bernama kamar
itu? Fantasi adalah privasi, ketika anda berbagi ia telah berubah bentuk
menjadi komoditi. Anda mau menjualnya untuk menarik simpati? Ah, terlalu
gegabah untuk anda yang berpendidikan
tinggi. Alih-alih menarik simpati, anda malah merobek muka sendiri. Eh, kalau boleh
kasih saran ya pak hakim: banyak-banyaklah
berlatih peran di depan cermin. Carilah gestur, mimik dan bahan pembicaraan
yang simpatik. Jangan terlalu vulgar mempertontonkan sisi minus diri sendiri.
Kalau anda mau sukses di dunia politik, simpan itu sifat bertanduk di belakang
kamera.
Oh, anda tahu gak pak hakim? Saya sering
membayangkan pas anda sekolah dulu, di kelas anda ngapain aja ya? Mungkin nih
ya, andanya punya kebiasaan duduk di pojok paling belakang kelas dan disaat
guru menerangkan pelajaran panjenengan
malah sibuk membaca stensilan yang dengan pintarnya anda selipkan di antara
halaman buku pelajaran. Saya juga punya sih hobi seperti itu, tapi buku paling
‘mesum’ yang saya baca kala itu adalah komiknya Sinchan. Mungkin karena hobi
itulah anda juga berfikiran apapun yang berhubungan dengan seks: brutal atau
tidak, sadis atau tidak, terpaksa atau sukarela, dipaksa membabi buta atau
tidak – adalah sama-sama ‘nikmat’ di mata anda.
Iya maaf, saya tidak bisa menyisakan sedikit ruang
pemahaman untuk anda, semuanya adalah prasangka negatif. Bagaimana bisa saya
berfikiran positif kepada seseorang yang tidak sensitif dengan perasaan dan
penderitaan orang lain – para korban pemerkosaan itu. Bisa anda bayangkan
perasaan mereka? Seorang hakim yang harusnya membela hak-hak dan menegakkan
hukum bagi keadilan mereka, eh ini malah melakukan ‘pemerkosaan’ berulang
kepada mereka. Anda semakin memperburuk posisi mereka di mata masyarakat.
Meskipun mereka itu korban tapi merekalah yang menanggung malu/aib, kadang merekalah
yang dicap miring, hingga tak heran kalau ada korban perkosaan yang malu untuk
melaporkan kasusnya kepada pihak berwajib. DAN tersangkanya? Tinggal masuk
penjara, cukup sudah.
Para korban ini sudah terlalu banyak memikul
beban, janganlah anda tambah-tambahi dengan sekian beban lagi. Bisa-bisa mereka
tersungkur ke tanah dan tak bisa bangkit lagi.
Lalu apakah anda buta dengan berita pemerkosaan
beruntun akhir-akhir ini? [saya tak bisa tuli dengan berita ini. Bapak saya hobinya nonton berita,
jadi tiap kali tanpa sengaja telinga saya ini mendengar berita-berita miris
itu] – sebagian besar mereka adalah anak-anak, dimana empati anda? Bagaimana
mereka menanggung rasa sakit dan trauma. Jadi dimana letak enaknya? Demi tuhan,
mereka masih anak-anak!
Baiklah, mungkin anda akan berkilah itu hanyalah
guyonan. Tapi sumpah demi apapun, sense
of humour anda sungguh payah! Tiba-tiba saja saya merasa lawakan slapstick berjuta kali lebih lucu
dibanding ‘lawakan’ garing anda. Kalau tak merasa mampu melucu, lebih baik diam
sajalah, daripada mempermalukan diri sendiri. Tapi eh saya akui lho ya, anda
‘pintar’ kog memilih jenis guyonan di tempat yang tepat. Buktinya itu para
anggota dewan ‘terhormat’ pada ikut ketawa ngikik. Anda sangat ngerti lho
standar selera mereka. Kalau saya sih gak heran lah ya, saya sudah hafal dengan habit mereka.
Eh saya mau kasih tahu sebuah rahasia, saya ini
punya fobia dengan yang namanya para anggota dewan yang ‘terhormat’ itu. Setiap
kali mendengar nama lembaga mereka disebut, respon tubuh saya akan seperti ini:
berkeringat dingin, tremor, jantung memacu cepat, mata melotot, lidah kaku.
Tubuh saya kejang tak terkontrol. Makanya sebisa mungkin saya tak ingin
mendengar dan melihat mereka, daripada saya menyakiti diri sendiri. Itulah
kenapa saat saya melihat berita anda di televisi, alih-alih penasaran saya
lebih memilih mematikan tivi. Saya yakin kog, pasti anda akan sibuk membela
diri di forum dialog berita tivi. Begitu pula dengan kolega-kolega anda di
dewan itu, pastilah sibuk berbusa-busa cari muka di depan kamera. Ah, melihat
tingkah mereka itu rasanya seperti habis makan buah super asam langsung minum
kopi pahit ukuran gelas jumbo sekali teguk – ugh, perih sekali di ulu hati!
Oh ya satu lagi, lain kali kalau mau melucu di
depan publik belajar dulu deh sama mbak Syahrini. Saya salut lho sama perempuan
satu itu, ia mampu membuat tontonan komedi konyol yang lucu tanpa harus
menyinggung perasaan orang lain. Gimana pak hakim? Boleh juga kan usul saya
ini? Bolehlah kapan-kapan dicoba.
Ya sudah, segitu sajalah pak hakim – penghakiman
dari saya untuk anda. Anda pasti capek dengan segala celaan dan nistaan orang
banyak. Tapi toh itu konsekuensi tindakan anda. Setiap ledakan pasti ada sumbu
pemicunya. Anda harus bisa menerima dengan legowo.
Psst pssst… makanya
kapan-kapan lebih hati-hati dong kalau mau melakukan ‘pemerkosaan’ makna,
daripada anda diperkosa mulut-mulut berbisa, haha.
Nb: tapi
duh, nasib anda baik banget sih. Nyadar gak pak? Harusnya anda berterimakasih sama
hujan yang akhir-akhir ini deras turunnya. Berita-berita banjir itu telah
mengalihkan perhatian semua orang. Nah, beruntung banget kan anda? Eh, rumahnya
pak hakim kebanjiran gak sih? Bukannya mau sok peduli, pengen tahu saja air-air
itu pada keki juga gak sih sama bapak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar