Senin, 21 Januari 2013

AKU. SEMUT. KAMAR. SABTU. MALAM. MINGGU


Kamar, Sabtu malam Minggu
Aku : Mut, Semut, mampir dong. Temani aku ngobrol yuk.
Semut: Malas. Aku lagi sibuk.
Aku: Ih, judes banget sih. Ini kan malam minggu, Semut, rileks dikit dong ah.
Sini, sini. Teman-temanmu nggak bakalan sadar kok kalau kamu ngilang bentar, kamu paling belakang ini.
Eh, kalian ini kan buanyak dan kayaknya kembar semua, bisa bedain satu sama lain nggak sih?
Semut: Ya bisa lah. Sama halnya dengan kalian bangsa manusia, kami juga punya karakter fisik maupun non fisik sebagai pembeda. Karena kamu tak berdiri sama tinggi dengan kami jadinya kamu melihat kami begitu seragam. Kalau benar di balik awan sana ada kehidupan, orang-orang di atas sanapun bakalan beranggapan kalau manusia sama halnya dengan barisan semut berderet. Ehem, lebih tepatnya tumpang tindih.
Aku: Hehe, kamu ini menarik juga ya.
Tahu nggak sih, Mut, lebih asyik lagi kalau kita ngobrolnya sambil duduk. Ayo sini, duduk sebelah aku. Kamu minumnya mau apa? Kopi manis atau teh melati manis?
Semut: Huh, maksa nih kamu?
Aku: Bukan, ini semacam undangan dengan catatan kaki; ‘Harus datang, tak perlu bawa bingkisan’. Hehe.
Ayolah, kamu sedang tidak ada janji kencan kan?
Ayo dong, aku lagi sendiri nih, butuh teman ngobrol. Mau ya? Mau doong…
Eh, aku ada puding dingin rasa coklat di kulkas lho.
Semut: Haha, kamu ini ya. Baiklah kalau begitu.
Aku: Bagus! Gitu kan cakep.
Jadi minumnya apa?
Semut: kopi manis saja.
Aku: Sip. Pilihan yang bagus, Mut. Kopi membuat obrolan jadi lebih gayeng.
Hm, sepertinya aku tidak salah memilih teman ngobrol, hehe.
Semut: Ah, jangan terlalu berbaik sangka dan berharap lebih pada sesuatu yang baru dikenal. Nanti kalau ‘meleset’ kamu bisa kecewa lho.
Aku: Hoho, semut yang rendah hati. Makin penasaran lho, haha.
Ya sudah, aku buatin kopinya dulu bentar. Awas, kamu jangan ngilang lho ya!
Semut: Iya, iya. Dasar paranoid.
KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI 
Aku: Nah, ini kopinya, Mut. Semoga saja cocok sama seleramu, yang penting manis kan?
Dan ini pudingnya juga, silahkan diicip-icip.
Semut: Nice, tuan rumah yang baik.
Aku: JADI, sebelum ngobrol panjang kali lebar lebih afdol lagi kalo kita kenalan dulu, biar lebih akrab kita berbincangnya. Etapi, kamu punya nama kan, Mut? Siapa?
Semut: Memang dari tadi itu apa namanya? Meski basa-basi begitu, itu ngobrol juga neng.
Ehm, nama ya? Ya pastinya punya lah. Tapi aku tidak mau kasih tahu kamu ah, ntar malah jadi masalah. Takutnya nanti tiap aku lewat sama teman-temanku, kamu bakalan teriak-teriak manggil namaku. Sudah malu, kerja jadi tidak konsen juga. Ganggu banget kan?
Aku: Ah! Alasan. Bilang saja kalau kalian bangsa semut itu memang anonim. Aku jadi curiga, jangan-jangan kalian adalah penganut ajaran Sakhespeare: ‘Apalah arti sebuah nama? Apa yang kita sebut mawar dengan kata apapun, keharumannya akan sama saja…’ Benar kan, betul kan? Ayo ngaku, jangan malu.
Semut: Bah! Sulit dipercaya, orang sepertimu bisa mengenal Shakespeare. Jangan bilang kalau Romeo dan Juliet adalah favoritmu. Hahaha…
Aku: Ngece. Jangan-jangan pula ada bung Kahlil Gibran lagi duduk manis di rak bukumu. Weee..
Semut: Ngapain, tidak perlu. Lebih penting punya buku tentang resep-resep makanan. Itu lebih nyata dan bisa dirasa. Dikala mencoba resep itu, kamu pasti akan mengalami kegagalan-kegagalan beberapa kali, hingga lidahmu kelu. Kecewa sih, tapi kamu masih punya kesempatan untuk mencoba dan mencoba lagi. Dan disaat kamu telah berhasil, biasanya kamu tidak akan sabar untuk berbagi makanan itu dengan orang lain. Sudah enak dan layak, jadi kamu tidak sungkan dan ngeri untuk berbagi rasa itu. Mungkin ini terdengar main aman, tapi siapa sih yang tak mau meminimalisir luka? Toh, kamu tak ingin berbagi kecewa yang bertumpuk dengan orang lain kan?
Aku: Ha-ha, Mut Semut, kamu ini terdengar seperti ‘buku-pengembangan-diri’. Tapi boleh juga sih. Dan aku berani bertaruh, pasti itu buku resep tentang cara membuat es krim, puding, sirup, coklat, kue-kue, dan hal-hal manis yang bertekstur lembut kenyal lainnya. Sangat bergula, tuan kolesterol! Hehe.
Jadi gimana nih? Masak aku manggil kamu Mut-Mut terus, kamu ini semut atau marmut sih?
Gini aja, aku panggil kamu pake inisial saja ya? S untuk Semut, S untuk Seksi, dan S untuk Sekali. Jadi kamu itu sahabat yang seksi sekali, Mut Semut.
Semut: Haha, dasar penggoda.
Baiklah, aku panggil kamunya begitu juga. L untuk Lina, L untuk Lelembut, dan L untuk Luar angkasa. Jadi, Lina adalah lelembut dari luar angkasa. Pas banget! Hoho…
Aku: Hihihi, keren juga itu si L.
Lalu S, ngapain kamu weekend gini kamu masih kerja cari gula-gula? Nggak ada hari libur apa di habitatmu?
Semut: Ya adalah, L. Di tempatku hari libur tidak harus pas akhir pekan. Tidak se-kaku itulah.
Begini sistem kerja di tempat kami; ada satu semut pilihan – kita sebut saja dia agen gulagula – yang tugasnya khusus mendeteksi dan mencari tahu dimana sumber benda-benda manis sebagai target sumber makanan kami selanjutnya. Selagi si agen gulagula ini sibuk mencari target, kami kelas pekerja menikmati liburan. Setelah itu barulah kami bekerja mengangkut barang-barang manis itu dari sumber target sampai ke markas kami.
Jadi hari libur kami tidak pasti, itu tergantung cepat tidaknya agen gulagula mendeteksi target.
Aku: Oh begitu. Aku jadi penasaran, kalau liburan kamu ngapain saja, S?
tunggu-tunggu! Saling memanggil nama dengan inisial ini lama-lama kok terasa janggal ya, ngerasa juga nggak sih kamu? Kita ini serasa tersangka dan korban di siaran berita kriminal; ‘tersangka berinisial 'Bla' diduga telah melakukan penganiayaan terhadap korban berinisial 'Bla', dugaan sementara pemicunya adalah masalah saling berebut buku bekas di toko loak’. See, kriminal banget nggak sih kita?
Semut: Di tempat kami tidak ada wahana-wahana hiburan seperti di tempatmu, yang bertebaran bak cendawan di musim hujan. Bangsa semut tidaklah se-stres itu. Liburan kami lebih kepada 'me-time', kalau aku seperti; mecoba-coba resep baru, melukis, berkebun, mendengarkan musik jenis baru, berendam di air hangat, mandi sinar matahari di senja hari, dll.
Terus kamu sendiri kenapa malam Minggu bengong sendirian? Biasanya sebangsamu kalau malam Minggu suka main ke luar kan?
Haha. Benar juga kamu, L, sangat Kriminal. Hm, bagaimana kalau aku memanggilmu Al saja? Al untuk Alien.
Aku: Siapa bilang sendirian? Kasihan, merasa tak terlihat ya, Mut?
Al? laki banget.
Semut: Hehe, benar juga sih.
Dan ya ampun, masalah nama saja ribet banget! Ya sudah, ini opsi terakhir; Mer untuk Merah. Planet merah.
Aku: Bagus! Aku suka. Omong-omong kamu kok tahu sih tentang Alien dan Planet merah itu, diam-diam kamu merhatiin aku ya, Mut, Semut? Jadi malu…
Semut: Idih, siapa yang bakalan tidak tahu kalau kamu tiap malam suka ngigau tentang Planet merah dan pasukan Aliennya.
Aku: Hahaha, masak sih? Nggak kerasa lho.
Semut: Dan lagi, tiap aku lewat - saat kamu ngobrol sama temanmu si tembok itu, obrolan kalian tak jauh-jauh dari Alien dan Planet merah.
Aku: Hehe, tahu nggak sih kamu. Suatu saat nanti kalau aku punya kekasih favorit aku akan menamainya Al, seperti katamu tadi Al untuk Alien dan dia akan memanggilku Mer, Mer untuk Planet merah, terus akan ada cuplikan dialog seperti ini;
Mer: Abang Al…
Al: Apa Mer sayang? kangen bercinta di luar angkasa lagi ya?
Semut: Duh, darah tinggiku kumat! Kata-katamu barusan sangat berkalori tinggi. Bahaya, sungguh bahaya.
Aku: Huh dasar, makanya yang hati-hati sama yang manis-manis. Mentang-mentang semut. Huahaha…
Semut: Dasar… ya itu sudah bagian kami, bangsa semut. Sudah tugas kami untuk menangani yang manis dan bergula-gula. Meski para manusia itu suka sebal sama kami, tapi kami ini ada manfaatnya juga lho. Coba lihat, kita bisa mengurangi jatah asupan kalori kalian.
Aku: Tapi, kan kalian kecil banget. Nggak ngaruh beberapa butir gula atau beberapa potong kue yang kalian bawa dibanding satu toples besar penuh yang dikuasai manusia.
Semut: Nah, kalau begitu kenapa manusia begitu sewot ketika harus berbagi dengan kami. Lagian, lebih banyak kami mengambil makanan yang sudah tak dihirau.
Kalian sudah diberi kuasa dan kemampuan untuk mengolah alam, kenapa tak mau memberi sedikit?
Andai kami diberi ‘kemurahan’ itu, kami tak akan repot-repot ‘mencuri’ kok. Toh daya konsumsi kami juga tidak rakus-rakus amat. Lihat badan kami, tidak ada yang bergelambir bukan? Kami makan secukupnya saja, sisanya kami simpan di lumbung sebagai persediaan dan antisipasi pada hari-hari yang tak terduga.
Aku: Iya sih, kami ini memang serakah. Aku juga yakin, alam ini bukan milik satu spesies saja. Karena alam adalah rahmat bagi semesta raya.
Tapi aku lumayan berbaik hati pada kalian, kan? Buktinya aku tak pernah mengusir-usir kalian, meski kalian tiap saat sibuk berkeliaran di dinding kamarku ini. Kalian juga bebas mencicipi bekas makanan/minumanku tanpa harus terusik.
Eh, tuan Semut. Aku punya hipotesa yang lebih masuk akal lho tentang kenapa bangsa semut itu langsing-langsing semua. Itu karena kalian tak pernah malas untuk jalan kaki. Kalian rela jalan kaki jauh bolak-balik demi sebutir gula. Betapa, betapa itu sangat menguras tenaga, tapi kalian riang gembira karena melakukannya bersama-sama.
Semut: Huh, baik hati apanya. Tidak ada yang manis-manis di kamarmu, bahkan sisa sekalipun. Kalau ada snack itupun yang gurih cenderung asin, saat ada yang bergula seperti coklat atau kue itupun langsung habis sekali makan. Meskipun bungkusnya kamu buang ke kolong ranjang, ya tetap percuma, remah pun tak ada. Kopi terasa pahit, teh terasa hambar, susu terasa kental doang. Bagaimana kami mau ikut mencicipi, Mer? Seleramu jauh beda dengan kami.
Kasihan, masih muda tapi sudah kena kolesterol. Atau jangan-jangan kamu lagi diet ya? Mau-maunya menyakiti-diri-sendiri.
Wow, hipotesamu boleh juga!
Aku: Bukannya aku nggak suka yang manis-manis, Semut. Suka sih, asal jangan terlalu banyak. Akan terasa ‘nek’ di lidah, tenggorokan dan perut sini. Padahal dulu itu aku maniak banget sama yang namanya manis-manis, tapi entah monster apa yang telah merubahku jadi begini. Mungkin Monster Vegan berwarna klorofil dengan antena kecambah dan berekor kacang panjang itulah yang telah mencoba-coba secara sporadis menerorkan rayuan hidup-sehat-dengan-makanan-serba-hijau, tapi daging ayam dan telur goreng adalah senjata penangkal yang ampuh. Tapi dia berhasil di satu hal, membuatku mengernyit pada makanan yang kadar sakarinnya sudah keterlaluan.
Kolesterol? ia masih duduk manis di perempatan jalan.
Diet? belum sempat kepikiran.
Semut: Oh, ya?
Aku: Hahaha, sinis banget sih, Mut. Kalau dibilang aku nggak suka manis itu terlalu berlebihan. Ini aku suka; bau hujan itu manis, bau kopi yang disangrai itu manis, bau durian itu manis, bau melati itu manis, bau bunga kopi kena embun itu manis.
Seharusnya kamu jangan terlalu banyak mengkonsumsi sakarin, Mut. Tubuh langsing bukan jaminan bebas kolesterol. Harusnya kamu mulai beralih pada manisnya buah-buahan, Semut.
Semut: Hufh, ini mulai terdengar seperti aku sedang konsultasi dengan ahli gizi.
Memangnya kamu mau membuang kulit durian ke kolong ranjang, Mer?
Aku: Hehe, kalau kamu mau bersusah payah lebih dari biasanya, cobalah ajak teman-temanmu ke belakang rumah. Di sana banyak kulit durian berserakan, dan di biji-bijinya masih ada sedikit daging yang tertinggal. Sudah tiga hari berturut-turut ini Bapak memberi oleh-oleh durian.
Semut: Oh. Pantas saja wajahmu berseri-seri akhir-akhir ini.
Aku: Eh, kalau kamu mendengar ada lomba makan durian gratis, kasih tahu aku ya. Aku selalu merasa bisa menang dalam lomba macam beginian.
Semut: Iya, percaya. Tak ada yang bisa meragukan kegilaanmu pada buah berduri dengan aroma tajam itu. Apalagi kalau gratisan, air liurmu pasti langsung menetes dan bola matamu akan bertambah ukuran diameternya.
Aku: Hahaha. You know me so well ternyata, Mut. Telingamu pantas disemati bunga krisan!
Semut: Eh, ngomong-ngomong tentang bunga, aku sempat kaget lho saat mendapati bunga sedap malam yang di atas lemari itu ada di kamar ini. Aku pikir salah masuk kamar waktu itu. Kamu sendiri yang menaruhnya di situ?
Aku: Ibuku punya kebiasaan baru belakangan ini, ia suka membeli bunga segar untuk ditaruh di dapur, biar tidak terlalu bau rempah katanya. Dan aku suka mengambil dua tiga tangkai untuk aku taruh di kamar. Aku suka bau bunga tertentu, sedap malam ini misalnya.
Kenapa? Merasa nggak aku banget ya, Mut?
Semut: Hehe, ya begitulah. Bukan tipikal bunga banget.
Aku: Tapi ya, Mut, aku kadang suka heran lho. Kenapa sedap malam ini baunya kurang terasa ya? Apa ia tertutupi oleh bau hujan yang deras? Padahal udara bisa bergerak keluar masuk dengan leluasa di ruangan ini. Dan juga kuncupnya sudah pada mekar semua.
Kamu tahu kira-kira kenapa ya, Mut?
Semut: Hmm, mungkin itu karena kamu jarang mengajaknya ngobrol, Mer. Jadinya dia cemberut karena merasa kamu abaikan. Cemburu pada benda-benda dan hal-hal lain di kamarmu yang biasa kamu ajak berbincang.
Kenapa, Mer? Takut dibilang melankolis?
Aku: Bukan begitu, aku hanya tak terbiasa saja berbincang dengan bunga. Keintiman yang romantis itu membuatku ngeri.
Semut: Halah, dasar. Kamu belum mencobanya, Mer.
Aku: Mungkin juga begitu.
Semut: Eh, kamu tahu tidak? Kemarin kamu jadi bahan tertawaan teman-temanku lho.
Aku: Mengapa, oh kenapa bisa?
Semut: Yang pas kemarin itu lho, saat kamu lagi asyik-asyiknya ngobrol sama ibumu di dalam kamar tiba-tiba bapakmu masuk dan nyeletuk; ‘Kalau tidak disuruh-suruh dulu, sampai kapanpun sarang laba-laba di pojokan itu tidak bakalan dibersihin. Kamar-kamar sendiri mbok ya dijaga tho, nduk.’ Lalu ibumu pun tak mau kalah dan menimpali; ‘Iya, yang tua-tua ini saja masih suka yang rapi-rapi dan bersih. Masak kamu cewek, dan masih muda gini sukanya malah berantakan.’
Hahaha, tahu tidak sih bentuk mukamu saat itu? Kayak baju cucian yang belum kering benar sudah dilipat-lipat menjadi bola-bola kecil. Kusut, sekusut kusutnya. Hahahaa…
Aku: Hebat deh kamu, masih ingat kata per kata! Ya anggap sajalah itu sedekah tawa dariku untuk kalian. Dan semoga aku masuk surga, amin.
Ehem. Biasanya mereka tak terlalu ambil pusing lho, mungkin karena hari itu hari Selasa makanya jadinya seloyo. Kapan-kapan kalau hari Selasa aku akan mengunci kamarku rapat-rapat, ah!
Mukaku cemberut itu bukan semata gara-gara teguran Bapak Ibu, Mut. Tapi aku kepikiran sama tembok yang terancam tidak punya teman bermain dan berbincang yang akrab lagi, paling tidak untuk beberapa hari kedepan. Dia pasti akan sangat kesepian, apalagi akhir-akhir ini aku jarang bermain-main lagi dengannya.
Semut: Kenapa?
Aku: Kurasa ia agak sensitif belakangan ini, merasa diabaikan. Ia cemburu dengan planet merah. Dan aku paling malas ngobrol dengan orang yang terlalu sensitif. Rasanya tensi darah selalu naik ke atas.
Semut: Tapi ia kan sahabat baikmu.
Aku: Karena itulah, karena bukan sahabat namanya kalau hubunganya baik terus, Mut. Bagaimana kamu bisa menamakannya sahabat jika hal itu belum pernah teruji benar. Hal yang stabil itu kadang membosankan lho.
Semut: Iya sih, Mer. Seperti kamu harus berani kotor dulu untuk mengetahui sejauh mana daya imun kulitmu.
Aku: Hehe, dasar semut korban iklan.
Semut: Siapa yang tidak?
Aku: Eh, Mut, Semut. Kamu kenal para nyamuk itu nggak sih? Kalo ketemu sama mereka, tolong dong bilangin kalau mau main ke kamarku cobalah untuk mengenyangkan perut terlebih dulu di luar. Aku sangat benci gigitan nyamuk, Mut.
Semut: Kan ada obat nyamuk, Mer.
Aku: Tapi kasihan temen-temenku, Mut. Apalagi penghuni baru si sedap malam itu, kasihan kalau disuruh adaptasi lagi.
Semut: Aku itu tak sebegitu kenal apalagi akrab dengan para nyamuk itu, Mer. Mereka sukanya muncul di musim penghujan, sedangkan kami tidak terlalu suka hujan. Kami benci dinding yang lembab, membuat tubuh kami menggigil.
Aku: Merugi kamu, Mut. Jangan terlalu membenci hujan, karena itu sebuah kesiasiaan. Hehe.
Semut: Ah, itu karena kamu tidak merasakannya sendiri.
Eh. Sudah jam berapa ini, Mer? Jangan sampai aku pulang terlalu larut malam.
Aku: Belum tengah malam ini. Santai, Semut. Nanti lampu kamarnya aku nyalain sampai subuh deh, biar kamu tahu jalan pulang.
Semut: Bukan, bukan begitu!
Udah deh aku nyerah. Aku temenin sampai kamu bosan. Puas?
Aku: Iyes! Sekarang temani aku nonton tivi. Ada film bagus di situ. Ada bang Cillian Murphy, kamu pasti suka deh.
Sudah berulang-ulang kali sih nontonnya, tapi tak kunjung bosan.
Semut: Oh, ya? Yakin? Aku cukup pemilih lho kalau masalah film.
Hm, Cillian Murphy?
Aku: Iya, yakin deh kamu nggak bakalan kecewa.
Kalau kamu pengen melihat akting yang bagus, sorot mata yang berbahaya, senyum dingin yang menawan, rahang yang aduhai seksinya, cobalah tengokkan kepalamu ke arah tuan Murphy ini.
Semut: Wuuh, ini seperti obrolan sesama teman wanita yang lagi asyik ngomongin aktor favoritnya.
Aku: Hahaha… Tenang, Mut. Mengagumi sesama gendermu nggak akan secara otomatis merubah orientasi seksualmu. Kalaupun iya, apa peduliku?
Semut: Dasar. Ayolah kita nonton filmnya.
Aku: Ayuk, sudah mulai ini. 
RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED 
Aku: Gimana, tuan Semut? Bagus filmnya?
Semut: Hm, lumayan.
Aku: Apa? Lumayan?
Sungguh tinggi hati!
Semut: Hei tunggu, jangan sewot dulu. Kalimatku itu belum selesai. Maksudku lumayan membuat mata terbuka lebar alias bagus.
Aku: Good boy…
Semut: Ehm, ini beneran sudah malam, Mer. Aku harus pulang. Mereka pasti sudah mulai sadar kalau aku menghilang dari barisan. Kasihan orang rumah pada kawatir.
Aku: Oke, baiklah. Aku sudah cukup puas kok kamu temenin, Mut.
Makasih ya, karena kamu malam ini aku nggak jadi bengong sendirian.
Semut: Kapan-kapan kalau mau ditemenin ngobrol, kamu bilang saja. Nanti aku kasih tahu kapan liburku.
Aku: Ih, so sweet deh kamu. Ini seperti ajakan janji kencan. Kamu mulai tertarik sama aku ya, Mut, Semut? Wah, jadi grogi nih. Hoho.
Semut: Sesukamu, Mer.
Aku pergi dulu.
Aku: Eh tunggu, mana pelukan selamat malamnya? Sama teman sendiri tiap ketemu saja cipika cipiki, masak memberi satu pelukan saja pelit. Masak begini memperlakukan teman kencannya.
Semut: Dasar si Merah banyak maunya. Sini sini aku peluk.
Aku: Hmm… Ini baru bener.
Eh, sisa pudingnya kamu bawa pulang saja. Biar kamu ngilangnya nggak sia-sia.
Semut: Hehe. Baiklah. Terimakasih.
Aku: Siap.


Tidak ada komentar: