Kamar, Sabtu malam Minggu
Aku : Mut, Semut, mampir dong. Temani aku ngobrol
yuk.
Semut: Malas. Aku lagi sibuk.
Aku: Ih, judes banget sih. Ini kan malam minggu, Semut, rileks dikit dong ah.
Sini, sini. Teman-temanmu nggak bakalan sadar kok
kalau kamu ngilang bentar, kamu paling belakang ini.
Eh, kalian ini kan buanyak dan kayaknya kembar
semua, bisa bedain satu sama lain nggak sih?
Semut: Ya bisa lah. Sama halnya dengan kalian
bangsa manusia, kami juga punya karakter fisik maupun non fisik sebagai
pembeda. Karena kamu tak berdiri sama tinggi dengan kami jadinya kamu melihat
kami begitu seragam. Kalau benar di balik awan sana ada kehidupan, orang-orang
di atas sanapun bakalan beranggapan kalau manusia sama halnya dengan barisan
semut berderet. Ehem, lebih tepatnya tumpang tindih.
Aku: Hehe, kamu ini menarik juga ya.
Tahu nggak sih, Mut, lebih asyik lagi kalau kita
ngobrolnya sambil duduk. Ayo sini, duduk sebelah aku. Kamu minumnya mau apa?
Kopi manis atau teh melati manis?
Semut: Huh, maksa nih kamu?
Aku: Bukan, ini semacam undangan dengan catatan
kaki; ‘Harus datang, tak perlu bawa
bingkisan’. Hehe.
Ayolah, kamu sedang tidak ada janji kencan kan?
Ayo dong, aku lagi sendiri nih, butuh teman
ngobrol. Mau ya? Mau doong…
Eh, aku ada puding dingin rasa coklat di kulkas
lho.
Semut: Haha, kamu ini ya. Baiklah kalau begitu.
Aku: Bagus! Gitu kan cakep.
Jadi minumnya apa?
Semut: kopi manis saja.
Aku: Sip. Pilihan yang bagus, Mut. Kopi membuat
obrolan jadi lebih gayeng.
Hm, sepertinya aku tidak salah memilih teman
ngobrol, hehe.
Semut: Ah, jangan terlalu berbaik sangka dan
berharap lebih pada sesuatu yang baru dikenal. Nanti kalau ‘meleset’ kamu bisa
kecewa lho.
Aku: Hoho, semut yang rendah hati. Makin penasaran
lho, haha.
Ya sudah, aku buatin kopinya dulu bentar. Awas,
kamu jangan ngilang lho ya!
Semut: Iya, iya. Dasar paranoid.
KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI MANIS KOPI
Aku: Nah, ini kopinya, Mut. Semoga saja cocok sama
seleramu, yang penting manis kan?
Dan ini pudingnya juga, silahkan diicip-icip.
Semut: Nice,
tuan rumah yang baik.
Aku: JADI, sebelum ngobrol panjang kali lebar
lebih afdol lagi kalo kita kenalan dulu, biar lebih akrab kita berbincangnya.
Etapi, kamu punya nama kan, Mut? Siapa?
Semut: Memang dari tadi itu apa namanya? Meski
basa-basi begitu, itu ngobrol juga neng.
Ehm, nama ya? Ya pastinya punya lah. Tapi aku
tidak mau kasih tahu kamu ah, ntar malah jadi masalah. Takutnya nanti tiap aku
lewat sama teman-temanku, kamu bakalan teriak-teriak manggil namaku. Sudah
malu, kerja jadi tidak konsen juga. Ganggu banget kan?
Aku: Ah! Alasan. Bilang saja kalau kalian bangsa
semut itu memang anonim. Aku jadi curiga, jangan-jangan kalian adalah penganut
ajaran Sakhespeare: ‘Apalah arti sebuah
nama? Apa yang kita sebut mawar dengan kata apapun, keharumannya akan sama
saja…’ Benar kan, betul kan? Ayo ngaku, jangan malu.
Semut: Bah! Sulit dipercaya, orang sepertimu bisa
mengenal Shakespeare. Jangan bilang kalau Romeo dan Juliet adalah favoritmu.
Hahaha…
Aku: Ngece.
Jangan-jangan pula ada bung Kahlil Gibran lagi duduk manis di rak bukumu.
Weee..
Semut: Ngapain, tidak perlu. Lebih penting punya
buku tentang resep-resep makanan. Itu lebih nyata dan bisa dirasa. Dikala
mencoba resep itu, kamu pasti akan mengalami kegagalan-kegagalan beberapa kali,
hingga lidahmu kelu. Kecewa sih, tapi kamu masih punya kesempatan untuk mencoba
dan mencoba lagi. Dan disaat kamu telah berhasil, biasanya kamu tidak akan
sabar untuk berbagi makanan itu dengan orang lain. Sudah enak dan layak, jadi
kamu tidak sungkan dan ngeri untuk berbagi rasa itu. Mungkin ini terdengar main
aman, tapi siapa sih yang tak mau meminimalisir luka? Toh, kamu tak ingin
berbagi kecewa yang bertumpuk dengan orang lain kan?
Aku: Ha-ha, Mut Semut, kamu ini terdengar seperti
‘buku-pengembangan-diri’. Tapi boleh juga sih. Dan aku berani bertaruh, pasti
itu buku resep tentang cara membuat es krim, puding, sirup, coklat, kue-kue,
dan hal-hal manis yang bertekstur lembut kenyal lainnya. Sangat bergula, tuan
kolesterol! Hehe.
Jadi gimana nih? Masak aku manggil kamu Mut-Mut
terus, kamu ini semut atau marmut sih?
Gini aja, aku panggil kamu pake inisial saja ya? S
untuk Semut, S untuk Seksi, dan S untuk Sekali. Jadi kamu itu sahabat yang
seksi sekali, Mut Semut.
Semut: Haha, dasar penggoda.
Baiklah, aku panggil kamunya begitu juga. L untuk
Lina, L untuk Lelembut, dan L untuk Luar angkasa. Jadi, Lina adalah lelembut
dari luar angkasa. Pas banget! Hoho…
Aku: Hihihi, keren juga itu si L.
Lalu S, ngapain kamu weekend gini kamu masih kerja cari gula-gula? Nggak ada hari libur
apa di habitatmu?
Semut: Ya adalah, L. Di tempatku hari libur tidak
harus pas akhir pekan. Tidak se-kaku itulah.
Begini sistem kerja di tempat kami; ada satu semut
pilihan – kita sebut saja dia agen gulagula – yang tugasnya khusus mendeteksi
dan mencari tahu dimana sumber benda-benda manis sebagai target sumber makanan
kami selanjutnya. Selagi si agen gulagula ini sibuk mencari target, kami kelas
pekerja menikmati liburan. Setelah itu barulah kami bekerja mengangkut
barang-barang manis itu dari sumber target sampai ke markas kami.
Jadi hari libur kami tidak pasti, itu tergantung
cepat tidaknya agen gulagula mendeteksi target.
Aku: Oh begitu. Aku jadi penasaran, kalau liburan
kamu ngapain saja, S?
tunggu-tunggu! Saling memanggil nama dengan
inisial ini lama-lama kok terasa janggal ya, ngerasa juga nggak sih kamu? Kita
ini serasa tersangka dan korban di siaran berita kriminal; ‘tersangka berinisial 'Bla' diduga telah
melakukan penganiayaan terhadap korban berinisial 'Bla', dugaan sementara
pemicunya adalah masalah saling berebut buku bekas di toko loak’. See, kriminal banget nggak sih kita?
Semut: Di tempat kami tidak ada wahana-wahana
hiburan seperti di tempatmu, yang bertebaran bak cendawan di musim hujan.
Bangsa semut tidaklah se-stres itu. Liburan kami lebih kepada 'me-time', kalau aku seperti;
mecoba-coba resep baru, melukis, berkebun, mendengarkan musik jenis baru,
berendam di air hangat, mandi sinar matahari di senja hari, dll.
Terus kamu sendiri kenapa malam Minggu bengong
sendirian? Biasanya sebangsamu kalau malam Minggu suka main ke luar kan?
Haha. Benar juga kamu, L, sangat Kriminal. Hm, bagaimana
kalau aku memanggilmu Al saja? Al untuk Alien.
Aku: Siapa bilang sendirian? Kasihan, merasa tak
terlihat ya, Mut?
Al? laki banget.
Semut: Hehe, benar juga sih.
Dan ya ampun, masalah nama saja ribet banget! Ya
sudah, ini opsi terakhir; Mer untuk Merah. Planet merah.
Aku: Bagus! Aku suka. Omong-omong kamu kok tahu
sih tentang Alien dan Planet merah itu, diam-diam kamu merhatiin aku ya, Mut, Semut? Jadi malu…
Semut: Idih, siapa yang bakalan tidak tahu kalau
kamu tiap malam suka ngigau tentang Planet merah dan pasukan Aliennya.
Aku: Hahaha, masak sih? Nggak kerasa lho.
Semut: Dan lagi, tiap aku lewat - saat kamu ngobrol
sama temanmu si tembok itu, obrolan kalian tak jauh-jauh dari Alien dan Planet
merah.
Aku: Hehe, tahu nggak sih kamu. Suatu saat nanti
kalau aku punya kekasih favorit aku akan menamainya Al, seperti katamu tadi Al
untuk Alien dan dia akan memanggilku Mer, Mer untuk Planet merah, terus akan
ada cuplikan dialog seperti ini;
Mer: Abang
Al…
Al: Apa Mer sayang?
kangen bercinta di luar angkasa lagi ya?
Semut: Duh, darah tinggiku kumat! Kata-katamu
barusan sangat berkalori tinggi. Bahaya, sungguh bahaya.
Aku: Huh dasar, makanya yang hati-hati sama yang
manis-manis. Mentang-mentang semut. Huahaha…
Semut: Dasar… ya itu sudah bagian kami, bangsa
semut. Sudah tugas kami untuk menangani yang manis dan bergula-gula. Meski para
manusia itu suka sebal sama kami, tapi kami ini ada manfaatnya juga lho. Coba lihat,
kita bisa mengurangi jatah asupan kalori kalian.
Aku: Tapi, kan kalian kecil banget. Nggak ngaruh
beberapa butir gula atau beberapa potong kue yang kalian bawa dibanding satu
toples besar penuh yang dikuasai manusia.
Semut: Nah, kalau begitu kenapa manusia begitu
sewot ketika harus berbagi dengan kami. Lagian, lebih banyak kami mengambil
makanan yang sudah tak dihirau.
Kalian sudah diberi kuasa dan kemampuan untuk
mengolah alam, kenapa tak mau memberi sedikit?
Andai kami diberi ‘kemurahan’ itu, kami tak akan repot-repot
‘mencuri’ kok. Toh daya konsumsi kami juga tidak rakus-rakus amat. Lihat badan
kami, tidak ada yang bergelambir bukan? Kami makan secukupnya saja, sisanya
kami simpan di lumbung sebagai persediaan dan antisipasi pada hari-hari yang
tak terduga.
Aku: Iya sih, kami ini memang serakah. Aku juga
yakin, alam ini bukan milik satu spesies saja. Karena alam adalah rahmat bagi
semesta raya.
Tapi aku lumayan berbaik hati pada kalian, kan? Buktinya
aku tak pernah mengusir-usir kalian, meski kalian tiap saat sibuk berkeliaran
di dinding kamarku ini. Kalian juga bebas mencicipi bekas makanan/minumanku
tanpa harus terusik.
Eh, tuan Semut. Aku punya hipotesa yang lebih masuk
akal lho tentang kenapa bangsa semut itu langsing-langsing semua. Itu karena kalian
tak pernah malas untuk jalan kaki. Kalian rela jalan kaki jauh bolak-balik demi
sebutir gula. Betapa, betapa itu sangat menguras tenaga, tapi kalian riang
gembira karena melakukannya bersama-sama.
Semut: Huh, baik hati apanya. Tidak ada yang
manis-manis di kamarmu, bahkan sisa sekalipun. Kalau ada snack itupun yang
gurih cenderung asin, saat ada yang bergula seperti coklat atau kue itupun
langsung habis sekali makan. Meskipun bungkusnya kamu buang ke kolong ranjang, ya
tetap percuma, remah pun tak ada. Kopi terasa pahit, teh terasa hambar, susu
terasa kental doang. Bagaimana kami mau ikut mencicipi, Mer? Seleramu jauh beda
dengan kami.
Kasihan, masih muda tapi sudah kena kolesterol. Atau
jangan-jangan kamu lagi diet ya? Mau-maunya menyakiti-diri-sendiri.
Wow, hipotesamu boleh juga!
Aku: Bukannya aku nggak suka yang manis-manis,
Semut. Suka sih, asal jangan terlalu banyak. Akan terasa ‘nek’ di lidah,
tenggorokan dan perut sini. Padahal dulu itu aku maniak banget sama yang
namanya manis-manis, tapi entah monster apa yang telah merubahku jadi begini. Mungkin
Monster Vegan berwarna klorofil dengan antena kecambah dan berekor kacang
panjang itulah yang telah mencoba-coba secara sporadis menerorkan rayuan
hidup-sehat-dengan-makanan-serba-hijau, tapi daging ayam dan telur goreng
adalah senjata penangkal yang ampuh. Tapi dia berhasil di satu hal, membuatku
mengernyit pada makanan yang kadar sakarinnya sudah keterlaluan.
Kolesterol? ia masih duduk manis di perempatan
jalan.
Diet? belum sempat kepikiran.
Semut: Oh, ya?
Aku: Hahaha, sinis banget sih, Mut. Kalau dibilang
aku nggak suka manis itu terlalu berlebihan. Ini aku suka; bau hujan itu manis, bau
kopi yang disangrai itu manis, bau durian itu manis, bau melati itu manis, bau
bunga kopi kena embun itu manis.
Seharusnya kamu jangan terlalu banyak mengkonsumsi
sakarin, Mut. Tubuh langsing bukan jaminan bebas kolesterol. Harusnya kamu
mulai beralih pada manisnya buah-buahan, Semut.
Semut: Hufh, ini mulai terdengar seperti aku
sedang konsultasi dengan ahli gizi.
Memangnya kamu mau membuang kulit durian ke kolong
ranjang, Mer?
Aku: Hehe, kalau kamu mau bersusah payah lebih dari biasanya,
cobalah ajak teman-temanmu ke belakang rumah. Di sana banyak kulit durian
berserakan, dan di biji-bijinya masih ada sedikit daging yang tertinggal. Sudah
tiga hari berturut-turut ini Bapak memberi oleh-oleh durian.
Semut: Oh. Pantas saja wajahmu berseri-seri
akhir-akhir ini.
Aku: Eh, kalau kamu mendengar ada lomba makan
durian gratis, kasih tahu aku ya. Aku selalu merasa bisa menang dalam lomba
macam beginian.
Semut: Iya, percaya. Tak ada yang bisa meragukan kegilaanmu
pada buah berduri dengan aroma tajam itu. Apalagi kalau gratisan, air liurmu pasti
langsung menetes dan bola matamu akan bertambah ukuran diameternya.
Aku: Hahaha. You
know me so well ternyata, Mut. Telingamu pantas disemati bunga krisan!
Semut: Eh, ngomong-ngomong tentang bunga, aku
sempat kaget lho saat mendapati bunga sedap malam yang di atas lemari itu ada
di kamar ini. Aku pikir salah masuk kamar waktu itu. Kamu sendiri yang
menaruhnya di situ?
Aku: Ibuku punya kebiasaan baru belakangan ini, ia
suka membeli bunga segar untuk ditaruh di dapur, biar tidak terlalu bau rempah
katanya. Dan aku suka mengambil dua tiga tangkai untuk aku taruh di kamar. Aku suka
bau bunga tertentu, sedap malam ini misalnya.
Kenapa? Merasa nggak aku banget ya, Mut?
Semut: Hehe, ya begitulah. Bukan tipikal bunga
banget.
Aku: Tapi ya, Mut, aku kadang suka heran lho.
Kenapa sedap malam ini baunya kurang terasa ya? Apa ia tertutupi oleh bau hujan
yang deras? Padahal udara bisa bergerak keluar masuk dengan leluasa di ruangan
ini. Dan juga kuncupnya sudah pada mekar semua.
Kamu tahu kira-kira kenapa ya, Mut?
Semut: Hmm, mungkin itu karena kamu jarang
mengajaknya ngobrol, Mer. Jadinya dia cemberut karena merasa kamu abaikan. Cemburu
pada benda-benda dan hal-hal lain di kamarmu yang biasa kamu ajak berbincang.
Kenapa, Mer? Takut dibilang melankolis?
Aku: Bukan begitu, aku hanya tak terbiasa saja
berbincang dengan bunga. Keintiman yang romantis itu membuatku ngeri.
Semut: Halah, dasar. Kamu belum mencobanya, Mer.
Aku: Mungkin juga begitu.
Semut: Eh, kamu tahu tidak? Kemarin kamu jadi
bahan tertawaan teman-temanku lho.
Aku: Mengapa, oh kenapa bisa?
Semut: Yang pas kemarin itu lho, saat kamu lagi
asyik-asyiknya ngobrol sama ibumu di dalam kamar tiba-tiba bapakmu masuk dan
nyeletuk; ‘Kalau tidak disuruh-suruh
dulu, sampai kapanpun sarang laba-laba di pojokan itu tidak bakalan dibersihin.
Kamar-kamar sendiri mbok ya dijaga tho, nduk.’ Lalu ibumu pun tak mau kalah
dan menimpali; ‘Iya, yang tua-tua ini saja
masih suka yang rapi-rapi dan bersih. Masak kamu cewek, dan masih muda gini
sukanya malah berantakan.’
Hahaha, tahu tidak sih bentuk mukamu saat itu? Kayak
baju cucian yang belum kering benar sudah dilipat-lipat menjadi bola-bola
kecil. Kusut, sekusut kusutnya. Hahahaa…
Aku: Hebat deh kamu, masih ingat kata per kata! Ya
anggap sajalah itu sedekah tawa dariku untuk kalian. Dan semoga aku masuk surga,
amin.
Ehem. Biasanya mereka tak terlalu ambil pusing
lho, mungkin karena hari itu hari Selasa makanya jadinya seloyo. Kapan-kapan kalau hari Selasa aku akan mengunci kamarku
rapat-rapat, ah!
Mukaku cemberut itu bukan semata gara-gara teguran Bapak Ibu, Mut. Tapi aku kepikiran sama tembok yang terancam tidak punya teman
bermain dan berbincang yang akrab lagi, paling tidak untuk beberapa hari
kedepan. Dia pasti akan sangat kesepian, apalagi akhir-akhir ini aku jarang
bermain-main lagi dengannya.
Semut: Kenapa?
Aku: Kurasa ia agak sensitif belakangan ini,
merasa diabaikan. Ia cemburu dengan planet merah. Dan aku paling malas ngobrol
dengan orang yang terlalu sensitif. Rasanya tensi darah selalu naik ke atas.
Semut: Tapi ia kan sahabat baikmu.
Aku: Karena itulah, karena bukan sahabat namanya
kalau hubunganya baik terus, Mut. Bagaimana kamu bisa menamakannya sahabat jika
hal itu belum pernah teruji benar. Hal yang stabil itu kadang membosankan lho.
Semut: Iya sih, Mer. Seperti kamu harus berani
kotor dulu untuk mengetahui sejauh mana daya imun kulitmu.
Aku: Hehe, dasar semut korban iklan.
Semut: Siapa yang tidak?
Aku: Eh, Mut, Semut. Kamu kenal para nyamuk itu nggak
sih? Kalo ketemu sama mereka, tolong dong bilangin kalau mau main ke kamarku
cobalah untuk mengenyangkan perut terlebih dulu di luar. Aku sangat benci
gigitan nyamuk, Mut.
Semut: Kan ada obat nyamuk, Mer.
Aku: Tapi kasihan temen-temenku, Mut. Apalagi penghuni
baru si sedap malam itu, kasihan kalau disuruh adaptasi lagi.
Semut: Aku itu tak sebegitu kenal apalagi akrab
dengan para nyamuk itu, Mer. Mereka sukanya muncul di musim penghujan,
sedangkan kami tidak terlalu suka hujan. Kami benci dinding yang lembab,
membuat tubuh kami menggigil.
Aku: Merugi kamu, Mut. Jangan terlalu membenci
hujan, karena itu sebuah kesiasiaan. Hehe.
Semut: Ah, itu karena kamu tidak merasakannya
sendiri.
Eh. Sudah jam berapa ini, Mer? Jangan sampai aku pulang
terlalu larut malam.
Aku: Belum tengah malam ini. Santai, Semut. Nanti
lampu kamarnya aku nyalain sampai subuh deh, biar kamu tahu jalan pulang.
Semut: Bukan, bukan begitu!
Udah deh aku nyerah. Aku temenin sampai kamu
bosan. Puas?
Aku: Iyes! Sekarang temani aku nonton tivi. Ada
film bagus di situ. Ada bang Cillian Murphy, kamu pasti suka deh.
Sudah berulang-ulang kali sih nontonnya, tapi tak
kunjung bosan.
Semut: Oh, ya? Yakin? Aku cukup pemilih lho kalau
masalah film.
Hm, Cillian Murphy?
Aku: Iya, yakin deh kamu nggak bakalan kecewa.
Kalau kamu pengen melihat akting yang bagus, sorot
mata yang berbahaya, senyum dingin yang menawan, rahang yang aduhai seksinya,
cobalah tengokkan kepalamu ke arah tuan Murphy ini.
Semut: Wuuh, ini seperti obrolan sesama teman
wanita yang lagi asyik ngomongin aktor favoritnya.
Aku: Hahaha… Tenang, Mut. Mengagumi sesama gendermu nggak akan
secara otomatis merubah orientasi seksualmu. Kalaupun iya, apa peduliku?
Semut: Dasar. Ayolah kita nonton filmnya.
Aku: Ayuk, sudah mulai ini.
RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED EYE RED
Aku: Gimana, tuan Semut? Bagus filmnya?
Semut: Hm, lumayan.
Aku: Apa? Lumayan?
Sungguh tinggi hati!
Semut: Hei tunggu, jangan sewot dulu. Kalimatku itu
belum selesai. Maksudku lumayan membuat mata terbuka lebar alias bagus.
Aku: Good
boy…
Semut: Ehm, ini beneran sudah malam, Mer. Aku harus
pulang. Mereka pasti sudah mulai sadar kalau aku menghilang dari barisan. Kasihan orang
rumah pada kawatir.
Aku: Oke, baiklah. Aku sudah cukup puas kok kamu
temenin, Mut.
Makasih ya, karena kamu malam ini aku nggak jadi
bengong sendirian.
Semut: Kapan-kapan kalau mau ditemenin ngobrol,
kamu bilang saja. Nanti aku kasih tahu kapan liburku.
Aku: Ih, so
sweet deh kamu. Ini seperti ajakan janji kencan. Kamu mulai tertarik sama
aku ya, Mut, Semut? Wah, jadi grogi nih. Hoho.
Semut: Sesukamu, Mer.
Aku pergi dulu.
Aku: Eh tunggu, mana pelukan selamat malamnya? Sama
teman sendiri tiap ketemu saja cipika cipiki, masak memberi satu pelukan saja
pelit. Masak begini memperlakukan teman kencannya.
Semut: Dasar si Merah banyak maunya. Sini sini aku
peluk.
Aku: Hmm… Ini baru bener.
Eh, sisa pudingnya kamu bawa pulang saja. Biar kamu
ngilangnya nggak sia-sia.
Semut: Hehe. Baiklah. Terimakasih.
Aku: Siap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar