Saya rasa sepanjang hidupnya manusia adalah
mahkluk visual. Tak peduli sebijak apapun anda, kesan pada penampilan/citra
akan memegang kendali pada opini-opini anda. Itu terjadi pada sepersekian detik
pandangan mata yang membentur objek yang menuntut perhatian kita, lantas
kerjapan mata sekian digit itu memerintah otak untuk membuat penilaian –
Subjektif itu mutlak karena yang kita gunakan adalah kepala sendiri, bukan
hasil meminjam dari tetangga sebelah rumah. Lalu setelah itu apa? Ya kalau kita
beruntung untuk berujung pada obrolan-obrolan panjang dan pertemuan-pertemuan
yang intens, segala nilai yang subjektif itu akan melenting jauh hingga mata
tak sanggup menjangkaunya.
Tapi ya begitulah mata. Kalau hanya sekilas
berpapasan atau lewat sepintas lalu, ia secara otoriter akan memerintah otak
untuk memelihara sebuah ternak bernama ‘Subjektif Mutlak’. Lha mau apa coba,
jembatan untuk menghubungkan dua persepsi itu tidak ada – kemungkinan untuk memberikan
tanda cek atau silang secara langsung tidak bisa dihadirkan. Maka jadilah kita
menunggangi persepsi sendiri. Benar salah bukan urusan personal tapi lihat saja
‘entar’.
- Melihat perempuan jalan sendirian dengan dandanan
aduhai; pikiran kita langsung menjastifikasinya sebagai perempuan-gak-bener.
[Memang yang bener itu seperti apa? Kayak sudah merasa bener saja]
- Melihat orang bertatto; langsung terlintas di
benak kalau ia pasti anak nakal dan urakan.
- Melihat perempuan merokok; langsung
dibilangnya,”Ih perempuan kog merokok sih, kayak gak punya moral saja. [Idih,
ini lagi pake ngomong moral-moral segala. Moral itu adanya dikantong celana.
Mau masuk surga? Ya pergi sana!]
- Dan lain sebagainya dan lain seterusnya
Ya begitulah mata, pandangan terbatas yang membuat
kita menyembah-nyembah kepadanya. Mata memimpin otak mengekor. Dia terlalu
otoriter untuk menyisakan opsi-opsi lain. Dasar aristokrat biadab!
Dan-aku-masih-mencium-tanganmu-dengan-membungkukkan-badan. Hahaha, begitu fuckin’ shit ya?!
Saya pun tak bisa apa-apa, karena mata adalah
segalanya – begitu bunyi sebuah iklan di televisi, harfiah maupun tidak. Saya
hanya manusia biasa, bukan sufi yang melulu ‘apa yang ada di dalam pikiran dan
hatimu’. Jadi maklumilah saya dan kita. He-he-hiks
‘Sepintas lalu’ adalah kompatriot mata. Dia serupa
jaring yang leluasa menjerat mangsa. Karena ia adalah pejuang tanpa musuh, jadi
ia tiada tanding. Persepsi satu arah siapa yang bisa salah?
Kan sudah pernah saya bilang, penampilan itu
memang brengsek! Walaupun ia menawarkan lolipop dengan beribu rasa maupun aroma,
jangan pernah percaya!
Saya pernah seperti ini; “eh ternyata, eh
tibakno.” Secara penampilan sih keren, tapi kog ya gak berbanding lurus dengan
tampilan otak. Saya bukan pemuja otak yang militan lho ya, tapi mbok ya
diimbangi dikit-dikit gitu lho. Lah penampilan udah keren kayak gitu, ya
eman-eman tho ya.
Belakangan ini dengan seiring bertambahnya usia
alias deret angka yang ternyata gak kalah brengseknya – hahaha – saya kog lebih
prefer ke;
tampilan-biasa-saja-tapi-otak-luar-biasa. Mungkin mereka tidak terlihat keren
atau jauh dari tren, tapi mereka seperti trem yang punya relnya sendiri – tak
perlulah itu main serobot dengan orang lain demi menarik perhatian. Memang
mereka tak kalah menjebaknya seperti penampilan, tapi itu adalah jebakan yang
manis. Cieee… curhat dong saya. Ya harap mengertilah, kan saya hanya manusia
biasa yang tak luput dari khilaf, ehem!
Pun, karena saya manusia biasa maka saya
biasa-biasa saja menanggapi pandangan orang terhadap saya. Apa kuasa saya? Saya
bukan mutan yang punya kelebihan bisa membutakan mata orang. Saya tak akan
menyalahkan anda jika saat melihat atau berpapasan dengan saya di jalan, di
pikiran anda terlintas seperti ini; perempuan skeptis, pemurung, sinis,
pendiam, autis, biasa saja – Nah! daydreamer,
cuek, tegaan, gak ramah, antagonis yang sadis. Ya tuhan, apakah saya baru saja
menyebutkan tanda-tanda psikologis dari pembunuh berdarah dingin, psikopat
maniak atau penderita manik depresif? Ha-ha-ha
Ya begitulah saya. Saya terlalu malas untuk
berusaha sekuat tenaga untuk menyenangkan orang lain – jika memang ia tak
pantas mendapatkan itu; malas bermanis-manis di bibir; malas
membungkuk-bungkukkan badan. Malas untuk terlihat sebagai anak baik dan manis.
Yeah, I know I’m easy to hate! Jadi, jangan sungkan tuan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar