Jumat, 07 Desember 2012

MARI RAYAKAN TRAGEDI!


Darah muncrat, usus terburai, tubuh terpotong-potong, erangan kesakitan – ah, hentikan itu, saya tak sanggup mendengarnya! Ya, saya memang orang yang gak kuat mental kalau harus melihat yang begini-beginian. Karena saya merasa punya tubuh yang sinonim dengan mereka. Kesakitan mereka yang tak langsung tuntas itu membuat seluruh tubuh saya sakit, rasanya seperti dicincang menggunakan golok karatan. Yang lantas mengendap menjadi infeksi di bawah kulit saya. Untunglah, saya-bukan-pengingat-yang-baik. Tapi tetap saja bakalan ada yang terngiang walau tak lama-lama. Dan itu mendirikan bulu roma.

Saya adalah penyuka film. Saya suka film apa saja. Yang penting ada gambar dan suara bakalan saya tonton – hehehe, semoga ini tidak terdengar berlebihan. Tapiii… saya selalu merasa kurang nyaman kalau melihat film yang isinya mengeksploitasi tubuh, dalam hal ini yang saya maksud adalah; menguji-ketahanan-fisik-dengan-cara-menjagal. Sigh, saya bakalan tahan di menit-menit awal. Tapi menit berikutnya saya bakalan ngacir. Ya itu, daya tahan saya belum kuat.
Ehm, salah satunya film ‘SAW’ brengsek itu. Kalau filmnya ditayangkan di tivi saya masih bisa tahan lah ya, lha kan sudah disensor sana-sini – aman-aman kata hati saya. Nah, kalau sudah harus nonton dari simpanan file yang masih original ya maaf-maaf saja. Meskipun nontonnya rame-rame gak bakalan saya lirik.

Saya bisa lebih sangat tahan kalau disuruh nonton film-film yang menyeramkan secara mental, meneror pikiran para penontonnya tanpa ampun. Pembunuhan berantai ala psikopat berdarah dingin, yang mempermainkan pikiran dan perasaan para korbannya – bukan tubuhnya. Adegan tembak dan tusuk saya masih bisa menolerir untuk kaitannya dengan itu. Pokoknya kuatin dulu diceritanya dan alurnya lalu karakter pemainnya. Film horor dan setan-setanan ala jepang sono saya masih kuat menontonnya sendiri. Asal jangan film horor macam ‘suster keramas’ dan kawan-kawan, bukannya ngeri tapi malah geli.
‘Jreng-jreng’ suara back sound film yang menegangkan dan ekspresi kalut pemainnya lebih nyaman bagi detak jantung saya dibandingkan dengan ‘chop chop chop’ potongan daging manusia yang darahnya masih menetes segar membasahi ubin yang dingin.  
Ehem, apakah saya terdengar seperti penikmat film amatiran pun gadungan yang memaksa diri menjadi layaknya kritikus film kelas A ala-ala Hollywood sana? Oh, maafkan kelancangan saya tuan.

Dan omong-omong tentang ‘eksposur badani’ saya kadang gak habis pikir dengan orang-orang yang bergerombol menikmati kecelakaan lalu lintas dimana mereka pada rame-rame mengabadikan otak muncrat, usus terburai , erangan sekarat dalam kotak mini segi-empat ajaib bernama ponsel. Lantas saling berbagi file ‘huru-hara’ sesaat dipinggir jalan itu dengan sesama teman. Bagaimana bisa mereka nyaman dengan itu? Ah tahulah, otak saya masih belum nyampai!
Terus bagaimana antusiasnya mata-mata manusia yang memelototi rekaman-rekaman kecelakaan yang dengan mudahnya bisa di unduh di mesin pencari macam google maupun youtube.
Pernah teman laki-laki saya menunjukkan sebuah link tentang kecelakaan di jalan raya yang parah. Awalnya ia berbohong bahwa video itu tentang penampilan band favorit saya – karena dia sudah tahu fobia saya – Dan tanpa ada prasangka apapun, menengoklah kepala saya ke arah layar monitar, “eh mana-mana?” sahut saya. “Ini nih…” klik! Daaaann jerengjeng… tampilah itu yang namanya merah-merah dan darah yang menganak sungai di jalanan dan ditambahi dengan tubuh korbannya yang terbelah jadi dua. Wah, misuh-misuhlah saya, segala jenis ‘kata kotor’ yang saya ketahui saya muntahin. Brengsek! Dan teman saya hanya ketawa-ketiwi sambil mangata-ngatai saya sebagai pengecut. Halah, brengsek lagi!

Dan ada lagi, saya gak kalah herannya juga dengan sebagian orang yang dengan santai dan lancarnya menceritakan kronologi kecelakaan parah yang baru saja dilihatnya di jalan. Tentu saja dilengkapi dengan iilustrasi kata-kata yang sangat mendetail tentang keadaan tubuh sang korban. Tak perlulah saya jelaskan panjang lebar, anda pasti ngerti kan? *halah, bilang saja males!
Gak ada bedanya lah dengan mendongeng, menghayati bener…

Oh oh oh, apakah mereka masokis? Yang menikmati segala kesakitan yang berdarah-darah secara lahiriah? Entahlah. Atau ini mungkin menyangkut masalah selera. Uh, selera yang buruk sekali kawan. Eh tapi siapalah saya yang lancang menilai buruk selera orang lain secara semena-mena. Harusnya saya biasa saja – jangan terlalu gumunan nduk…
Tapi saya tetep gak bisa dan biasaaa…








Ps: kenapa manusia bisa lebih tahan melihat tumbuhan dan hewan dijagal tanpa ampun? Bukankan mereka sama-sama bisa bernafas juga? Atau semata karena mereka mempunyai keterbatasan dalam mengekspresikan rasa sakit?
Tanduk di kepala kita semakin panjang saja. Membuat bebal apa-apa saja.
Ah, janganlah heran segala. Begitulah kita, manusia…

Tidak ada komentar: