Darah muncrat, usus terburai, tubuh
terpotong-potong, erangan kesakitan – ah, hentikan itu, saya tak sanggup
mendengarnya! Ya, saya memang orang yang gak kuat mental kalau harus melihat
yang begini-beginian. Karena saya merasa punya tubuh yang sinonim dengan
mereka. Kesakitan mereka yang tak langsung tuntas itu membuat seluruh tubuh
saya sakit, rasanya seperti dicincang menggunakan golok karatan. Yang lantas
mengendap menjadi infeksi di bawah kulit saya. Untunglah, saya-bukan-pengingat-yang-baik.
Tapi tetap saja bakalan ada yang terngiang walau tak lama-lama. Dan itu
mendirikan bulu roma.
Saya adalah penyuka film. Saya suka film apa saja.
Yang penting ada gambar dan suara bakalan saya tonton – hehehe, semoga ini tidak
terdengar berlebihan. Tapiii… saya selalu merasa kurang nyaman kalau melihat
film yang isinya mengeksploitasi tubuh, dalam hal ini yang saya maksud adalah;
menguji-ketahanan-fisik-dengan-cara-menjagal. Sigh, saya bakalan tahan di
menit-menit awal. Tapi menit berikutnya saya bakalan ngacir. Ya itu, daya tahan
saya belum kuat.
Ehm, salah satunya film ‘SAW’ brengsek itu. Kalau filmnya
ditayangkan di tivi saya masih bisa tahan lah ya, lha kan sudah disensor
sana-sini – aman-aman kata hati saya. Nah, kalau sudah harus nonton dari
simpanan file yang masih original ya maaf-maaf saja. Meskipun nontonnya
rame-rame gak bakalan saya lirik.
Saya bisa lebih sangat tahan kalau disuruh nonton
film-film yang menyeramkan secara mental, meneror pikiran para penontonnya
tanpa ampun. Pembunuhan berantai ala psikopat berdarah dingin, yang
mempermainkan pikiran dan perasaan para korbannya – bukan tubuhnya. Adegan tembak
dan tusuk saya masih bisa menolerir untuk kaitannya dengan itu. Pokoknya kuatin
dulu diceritanya dan alurnya lalu karakter pemainnya. Film horor dan
setan-setanan ala jepang sono saya masih kuat menontonnya sendiri. Asal jangan
film horor macam ‘suster keramas’ dan kawan-kawan, bukannya ngeri tapi malah
geli.
‘Jreng-jreng’
suara back sound film yang menegangkan dan ekspresi kalut pemainnya lebih
nyaman bagi detak jantung saya dibandingkan dengan ‘chop chop chop’ potongan daging manusia yang darahnya masih menetes
segar membasahi ubin yang dingin.
Ehem, apakah saya terdengar seperti penikmat film
amatiran pun gadungan yang memaksa diri menjadi layaknya kritikus film kelas A
ala-ala Hollywood sana? Oh, maafkan kelancangan saya tuan.
Dan omong-omong tentang ‘eksposur badani’ saya
kadang gak habis pikir dengan orang-orang yang bergerombol menikmati kecelakaan
lalu lintas dimana mereka pada rame-rame mengabadikan otak muncrat, usus
terburai , erangan sekarat dalam kotak mini segi-empat ajaib bernama ponsel. Lantas
saling berbagi file ‘huru-hara’ sesaat dipinggir jalan itu dengan sesama teman.
Bagaimana bisa mereka nyaman dengan itu? Ah tahulah, otak saya masih belum
nyampai!
Terus bagaimana
antusiasnya mata-mata manusia yang memelototi rekaman-rekaman kecelakaan yang
dengan mudahnya bisa di unduh di mesin pencari macam google maupun youtube.
Pernah teman laki-laki saya menunjukkan sebuah
link tentang kecelakaan di jalan raya yang parah. Awalnya ia berbohong bahwa
video itu tentang penampilan band favorit saya – karena dia sudah tahu fobia
saya – Dan tanpa ada prasangka apapun, menengoklah kepala saya ke arah layar
monitar, “eh mana-mana?” sahut saya. “Ini nih…” klik! Daaaann jerengjeng…
tampilah itu yang namanya merah-merah dan darah yang menganak sungai di jalanan
dan ditambahi dengan tubuh korbannya yang terbelah jadi dua. Wah,
misuh-misuhlah saya, segala jenis ‘kata kotor’ yang saya ketahui saya muntahin.
Brengsek! Dan teman saya hanya ketawa-ketiwi sambil mangata-ngatai saya sebagai
pengecut. Halah, brengsek lagi!
Dan ada lagi, saya gak kalah herannya juga dengan
sebagian orang yang dengan santai dan lancarnya menceritakan kronologi
kecelakaan parah yang baru saja dilihatnya di jalan. Tentu saja dilengkapi
dengan iilustrasi kata-kata yang sangat mendetail tentang keadaan tubuh sang
korban. Tak perlulah saya jelaskan panjang lebar, anda pasti ngerti kan? *halah,
bilang saja males!
Gak ada bedanya lah dengan mendongeng, menghayati
bener…
Oh oh oh, apakah mereka masokis? Yang menikmati
segala kesakitan yang berdarah-darah secara lahiriah? Entahlah. Atau ini
mungkin menyangkut masalah selera. Uh, selera yang buruk sekali kawan. Eh tapi
siapalah saya yang lancang menilai buruk selera orang lain secara semena-mena. Harusnya
saya biasa saja – jangan terlalu gumunan nduk…
Tapi saya tetep gak bisa dan biasaaa…
Ps: kenapa
manusia bisa lebih tahan melihat tumbuhan dan hewan dijagal tanpa ampun? Bukankan
mereka sama-sama bisa bernafas juga? Atau semata karena mereka mempunyai keterbatasan
dalam mengekspresikan rasa sakit?
Tanduk di
kepala kita semakin panjang saja. Membuat bebal apa-apa saja.
Ah, janganlah
heran segala. Begitulah kita, manusia…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar