Minggu, 09 Desember 2012

ENGKAU MENYETUBUHI LUKA DAN AKU MENGAMININYA

 
Engkau membuang perih dalam hembusan asap rokok yang mengalun diam
Matamu nanar menantang luka yang berlarian di ujung beranda
Hening
Senyap menggagahi segala rupa rasa yang kemarin jalang tanpa kekang
Ini benar-benar lelucon yang ambigu
Entah tertawa entah harus meringis menahan tangis
Pikirmu; siapa aku yang kini terpekur memeluk lutut,
siapa aku yangmenjelma asing tak terjangkau logika yang dulu kupuja
Engkau menghela nafas
Menatap liukan asap putih dari puntung rokok yang baranya hampir padam
Bukankah itu terlihat seperti penari erotis yang kau jumpai di night-club tiap akhir pekan?

Engkau sengaja menjadi amnesia
Apakah agar luka itu tak semakin menganga?
Ah, tapi kau lupa
Melankolia bukan hal remeh serupa remah roti yang tertinggal di ujung bibir
Bukan pula sebentuk barang yang bisa kau beli di toko kelontong lantas kau buang di kolong ranjang
KAU benar-benar menyedihkan!
Takut terlihat rapuh karena mengeluh dan mengaduh?
Lebih memilih sekarat daripada terlihat keparat?
Kau tahu, memberi standar tinggi di jidat sendiri itu sangat menyakitkan
Engkau akan melengkungkan punggung d pojokan berpenghuni jejaring laba-laba
Rapuh
Kesepian
Dan kedinginan
Jangan
Kumohon…

Coba alihkan pandangmu dari beranda
Ada kerling manis di karpet kusam yang ujungnya masai
Kau ingat, itu ulah jemari kita yang kikuk pada rinai hujan yang membentur jendela
Ada kernyit merayu di sofa usang yang warnanya temaram
Kau ingat, di sana kita biasa membenamkan kepala pada buku-buku hasil berburu di lapak berbau debu
Ada nafas memburu di tembok yang mengelupas bagian sisi kanannya
Kau ingat, di sana tubuh kita meradiasi pada jejak cium dan peluk yang tak pernah tuntas
Apakah kau juga mengamnesia semua itu?
Sudahlah, tak perlu merasa bersalah untuk mengiyakan
Kaktus itu kuberikan sebagai maksud temanmu mengalienasi
Tapi kini ia kau biarkan membelakangi matahari
Baiklah, aku bisa menangkapnya

Hai, apakah jendela berkaca itu mulai menerormu?
Sebahaya itukah menikmati senja dengan sebentuk kepala yang menyandar di bahumu?
Kau tahu, segala Tanya ini tak kalah mengancamnya di kepalaku
Memaksaku harus cepat membuat konklusi dan solusi
Sebelum jerat transparan itu menjepit saraf leherku

Engkau membangun tembok berujung lancip di seluruh penjuru mata angin daerah kekuasaanmu
Membuatku berdarah-darah dulu bila ingin menyentuhmu
Memaksaku merendahkan diri demi sebuah permisi memasuki zona aman-mu
Pernah satu kali kau bilang dirimu diciptakan dari selangkangan malam yang sepi
Kau adalah bulir sperma yang mengendap pada kubangan saluran pembuangan
Kau ditakdirkan untuk sendiri
Tak seorangpun akan secara permanen duduk berdampingan dan saling berpegangan  tangan denganmu
Semua keintiman itu bagimu hanyalah lelucon kosmik yang menggelikan
Aku tahu, kau sudah peringatkan itu saat kumulai menapakkan sebelah kakiku di pelataran rumahmu
Tapi apa peduliku
Bukankah kita sama-sama teradiksi pada rasa sakit yang sengaja kita buat sendiri?

Kembali, kau nyalakan sebatang rokok
Menikmati luka yang lain lagi
Dari seberang ruang ini aku hanya bisa takzim menikmati kegelisahanmu
Membaui keringat yang keluar dari pori-porimu,
yang menguar ke seisi ruang
Aroma ini serupa dopamin bagiku
Ingin tangan ini menjangkau keningmu untuk menghapus peluh
Ingin memberi dekap agar bisa ikut merasakan detang jantungmu yang kadang melemah kadang meninggi
Tapi…
Kita harus tetap berjarak
Demi sebuah kemungkinan kedekatan yang konstan dan nyaman

Asap tembakau itu semakin memutilasi duniamu
Serupa proyektor yang memutar film hitam putih
Ia adalah halusinogen yang memberi candu
Mengawang selalu lebih menggairahkan daripada menjejak tanah
IYA
Engkau menyetubuhi luka
Dan aku mengamininya…


Tidak ada komentar: