Engkau membuang perih dalam hembusan asap rokok
yang mengalun diam
Matamu nanar menantang luka yang berlarian di
ujung beranda
Hening
Senyap menggagahi segala rupa rasa yang kemarin
jalang tanpa kekang
Ini benar-benar lelucon yang ambigu
Entah tertawa entah harus meringis menahan tangis
Pikirmu; siapa aku yang kini terpekur memeluk
lutut,
siapa aku yangmenjelma asing tak terjangkau logika
yang dulu kupuja
Engkau menghela nafas
Menatap liukan asap putih dari puntung rokok yang
baranya hampir padam
Bukankah itu terlihat seperti penari erotis yang
kau jumpai di night-club tiap akhir pekan?
Engkau sengaja menjadi amnesia
Apakah agar luka itu tak semakin menganga?
Ah, tapi kau lupa
Melankolia bukan hal remeh serupa remah roti yang
tertinggal di ujung bibir
Bukan pula sebentuk barang yang bisa kau beli di toko
kelontong lantas kau buang di kolong ranjang
KAU benar-benar menyedihkan!
Takut terlihat rapuh karena mengeluh dan mengaduh?
Lebih memilih sekarat daripada terlihat keparat?
Kau tahu, memberi standar tinggi di jidat sendiri
itu sangat menyakitkan
Engkau akan melengkungkan punggung d pojokan
berpenghuni jejaring laba-laba
Rapuh
Kesepian
Dan kedinginan
Jangan
Kumohon…
Coba alihkan pandangmu dari beranda
Ada kerling manis di karpet kusam yang ujungnya
masai
Kau ingat, itu ulah jemari kita yang kikuk pada
rinai hujan yang membentur jendela
Ada kernyit merayu di sofa usang yang warnanya
temaram
Kau ingat, di sana kita biasa membenamkan kepala
pada buku-buku hasil berburu di lapak berbau debu
Ada nafas memburu di tembok yang mengelupas bagian
sisi kanannya
Kau ingat, di sana tubuh kita meradiasi pada jejak
cium dan peluk yang tak pernah tuntas
Apakah kau juga mengamnesia semua itu?
Sudahlah, tak perlu merasa bersalah untuk
mengiyakan
Kaktus itu kuberikan sebagai maksud temanmu
mengalienasi
Tapi kini ia kau biarkan membelakangi matahari
Baiklah, aku bisa menangkapnya
Hai, apakah jendela berkaca itu mulai menerormu?
Sebahaya itukah menikmati senja dengan sebentuk
kepala yang menyandar di bahumu?
Kau tahu, segala Tanya ini tak kalah mengancamnya
di kepalaku
Memaksaku harus cepat membuat konklusi dan solusi
Sebelum jerat transparan itu menjepit saraf
leherku
Engkau membangun tembok berujung lancip di seluruh
penjuru mata angin daerah kekuasaanmu
Membuatku berdarah-darah dulu bila ingin menyentuhmu
Memaksaku merendahkan diri demi sebuah permisi
memasuki zona aman-mu
Pernah satu kali kau bilang dirimu diciptakan dari
selangkangan malam yang sepi
Kau adalah bulir sperma yang mengendap pada
kubangan saluran pembuangan
Kau ditakdirkan untuk sendiri
Tak seorangpun akan secara permanen duduk berdampingan
dan saling berpegangan tangan denganmu
Semua keintiman itu bagimu hanyalah lelucon kosmik
yang menggelikan
Aku tahu, kau sudah peringatkan itu saat kumulai
menapakkan sebelah kakiku di pelataran rumahmu
Tapi apa peduliku
Bukankah kita sama-sama teradiksi pada rasa sakit
yang sengaja kita buat sendiri?
Kembali, kau nyalakan sebatang rokok
Menikmati luka yang lain lagi
Dari seberang ruang ini aku hanya bisa takzim
menikmati kegelisahanmu
Membaui keringat yang keluar dari pori-porimu,
yang menguar ke seisi ruang
Aroma ini serupa dopamin bagiku
Ingin tangan ini menjangkau keningmu untuk
menghapus peluh
Ingin memberi dekap agar bisa ikut merasakan
detang jantungmu yang kadang melemah kadang meninggi
Tapi…
Kita harus tetap berjarak
Demi sebuah kemungkinan kedekatan yang konstan dan
nyaman
Asap tembakau itu semakin memutilasi duniamu
Serupa proyektor yang memutar film hitam putih
Ia adalah halusinogen yang memberi candu
Mengawang selalu lebih menggairahkan daripada
menjejak tanah
IYA
Engkau menyetubuhi luka
Dan aku mengamininya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar