Senin, 10 Desember 2012

TRAGEDI: SERINGAIAN SINIS DI PIPI TIRUS, TANGAN MENGHUNUS PISAU DAPUR DI BELAKANG PUNGGUNG

 
Sebenarnya hidup saya sangat kurang warna. Kalau bisa diklasifikasikan, range-nya antara empat sampai lima balok warna dalam kotak krayon keponakan saya. Tapi kadang saya heran pada diri sendiri, kenapa tak kunjung bosan? Apakah karena saya terlalu apatis atau autis? Entahlah. Ya beginilah saya. Banyak tembok dan jebakan yang menelikung keberadaan saya, membuat mati langkah dan arah. Dan sayangnya – sekaligus sialnya – saya adem ayem sahaja. Entah apa yang terjadi pada saya, apakah ada yang memutus salah satu komponen urat saraf saya? Entah…
Ya mungkin karena itulah ekspresi saya selalu datar-datar saja, perlu sesuatu yang luar bisa untuk membuat saya bisa berteriak histeris dan melompat kegirangan – yang dulu sangat mudah saya lakukan. Hah! Lupakan lawakan macam; terjatuh-karena-pura-pura-tak-sengaja-menubruk-sesuatu!

Anda mungkin masih ingat tentang pembunuhan di sebuah bioskop di Colorado USA, kalau tidak salah. Yang terinspirasi dari film Batman yang kebetulan sedang diputar di bioskop tersebut – lebih tepatnya terinspirasi dari peran musuh si manusia kelelawar, yakni Joker. Si penembak berantai itu, yang entah siapalah namanya [maklumi sajalah keterbatasan memori otak saya] – kita sebut saja namanya MAS [Manusia Anonim Sekali]. Baiklah saya coba me-reka ulang apa-apa yang sebenarnya ‘pernah’ sering di bahas di televisi beberapa saat lalu – spoiler alert!: si MAS ini adalah pemuda yang sangat terpelajar secara akademisi, kalau tidak salah lagi saat itu ia sedang menempuh S2 nya. Jadi pertanyaannya, apakah pemuda yang seterpelajar itu bisa melakukan pembunuhan sedingin itu? Hei, apa kabar kasus pemberondongan senjata di kampus-kampus dan sekolah-sekolah itu? Hal seperti itu bukan penjamin untuk seseorang mustahil memiliki sifat dan sikap psikopat di balik tampang baik-baiknya atau dalam gaya hidupnya yang makmur-makmur saja. Kita tak akan pernah tahu, saudara. Bahkan apa yang ada di balik punggung kita sendiri

Saya rasa semua manusia mempunyai sikap psikopat dalam dirinya. Mengendap dalam pikirannya, menunggu keinginan ‘niat’ untuk memerintahkan tangan bergerak ‘melakukan sesuatu’. Sifat psikopat ini dalam setiap manusia takarannya berbeda-beda; ada yang masih berupa embrio,
Ada yang sudah berupa janin – atau bahkan sperma? Hahaha, tergantung kendali kita atasnya untuk menjegalnya berkembang biak atau yang pada akhirnya hanya tinggal menunggu untuk meledak! Itu juga sangat tergantung lingkungan dan orang-orangnya, yang kadang bisa-bisa sangat brengsek atau luar biasa baik malah.
Anda tak percaya omongan saya? Bagaimana dengan naluri pembunuh saat kita dengan semangat dan sadisnya membinasakan sekumpulan semut atau nyamuk yang barusan menyakiti kulit  kita? Hei, sekecil apapun itu mereka mahkluk hidup juga! Dan saya-pun sering melakukannya.

Lalu, lantas kemudian beginilah analisa ngawur saya; karena si MAS ini merasa sudah tidak ada yang bisa memahami jalan pikirannya – dan mungkin juga akibat tekanan pendidikan dan tekanan standar dari orang-orang sekitarnya juga terdekatnya – maka mulailah ia melarikan diri pada apa yang akhirnya menjadi kesenangannya, yaitu menonton film. Pada sekian judul film yang ditontonnya ia menjatuhkan hati pada film Batman [yang entah akan menjadi berapa sekuel itu]. Ia merasa senasib dengan tokoh antagonisnya, JOKER. Joker yang cerdas sekaligus kesepian, latar belakang hidup yang hampir sama serta isi kepala yang hampir sama pula membuatnya begitu girang, akhirnya ada juga orang yang bisa mengerti dirinya! Lalu jadilah si Joker ini tokoh panutan – role model bagi si MAS.
Kemudian ia sampai pada satu kesimpulan – setelah melewati malam-malam penuh perenungan ditemani berkaset-kaset film Batman dan semangkok besar popcorn – ia harus berbaik hati berbagi ‘rasa sakitnya’ pada orang lain, mereka harus ikut merasakannya. Hidup sudah tak berlaku adil padanya, jika tuhan tidak mampu melakukannya biarkan ia sendiri yang menegakkan ‘keadilan’ itu.
Ia adalah super hero dalam versinya sendiri, dalam dunia yang ia huni sendiri. Sebagai pahlawan super ia membutuhkan banyak pengikut, yang pada akhirnya ia dapatkan itu melalui kabar berita sporadis tentang aksi heroiknyadi televisi; semua orang ingin mengenalnya, semua orang ingin tahu segala hal tentang dirinya. Dan tentu saja, KORBAN! Memang, harus ada yang dikorbankan untuk sebuah tragedy besar.
Dan akhirnya begitulah, terjadilah apa yang mereka sebut sebagai pembantaian sadis nan tragis dari seorang psikopat terpelajar!

Kadang saya bisa memahami jalan pikiran si MAS yang bersimpati dengan tokoh Joker alih-alih terpesona pada Batman yang sulit terkalahkan dengan rupa-rupa peralatan canggihnya itu. Saat menonton film thriller, ketika sang tokoh antagonisnya – pembunuhnya – membuat gerakan senyuman sinis di pipi tirusnya nya tanpa saya sadari saya ikut-ikutan tersenyum sinis. Ikut girang ketika ia lolos dari jebakan pemburu tokoh protagonisnya. Ikut memuji ide brilian psikopatiknya – tapi saya sama sekali tak menikmati muncratan darah itu, saya menikmati ekspresinya. Entahlah, saya mungkin terlahir sebagai abal-abal.

Dan asal kau tahu, saya pernah seperti ini; suatu hari saya ingin mengupas buah, tapi ternyata pisaunya tidak ada di dapur. Setelah mencari kesana kemari akhirnya ketemulah pisau itu di ruang depan. Saat akan kembali ke dapur lagi, melewatilah saya pada sebuah cermin besar yang merangkap lemari – cermin yang bisa menangkap seluruh bayangan tubuhmu. Lalu melintaslah sebuah iseng-iseng konyol, saya ingin berlagak seperti ‘psikopat-haus-darah-berpenyakit-jiwa-parah’ dengan pisau tajam di tangan kanan. Kemudian saya membuat seringaian sinis menakutkan. Mencoba-coba senjata baru saya itu, membuat jurus membunuh dalam diam – ribut-ribut hanyalah pekerjaan para amatir. Membuat ekspresi dingin tanpa belas kasihan yang seolah melihat korban saya mengampun dalam sekarat. Perfect!!!
“Oh, astaga! Kenapa saya tiba-tiba menikmati andrenalin psikopatik yang pura-pura ini, baik-baik sajakah saya?” Seperti tersadar dari tidur panjang yang mengawang, saya sudahi permainan itu. Karena saya mulai takut melihat raut wajah sendiri yang tiba-tiba ekspresinya tidak saya kenali, seperti mahkluk asing yang tidak kau kehendaki kedatangannya.

Saya yang egois dan keras kepala ini sepanjang dan sejauh kehidupan yang telah saya lalui tidaklah percaya kalau orang-orang yang bakar diri itu murni karena protes-protes semata. Bagaimana mungkin orang mau mati secara cuma-cuma [iya, saya tahu. Saya memang berjiwa oportunis karatan!] – kita bukan tuhan yang rela memberi gratis pada sesuatu hal yang besar. Saya yakin, pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi dalih bunuh diri demi protes kemanusiaan ataupun politik itu; entah itu karena tidak puas pada hidup dan dirinya sendiri, entah karena tekanan yang datang bertubi-tubi yang tak kuasa lagi ditanggulanginya. Entah…
Dan mereka pintar! Mencipta tragedi pada diri sendiri terlihat jauh lebih bermartabat!



Tidak ada komentar: