Sebenarnya hidup saya sangat kurang warna. Kalau
bisa diklasifikasikan, range-nya
antara empat sampai lima balok warna dalam kotak krayon keponakan saya. Tapi
kadang saya heran pada diri sendiri, kenapa tak kunjung bosan? Apakah karena
saya terlalu apatis atau autis? Entahlah. Ya beginilah saya. Banyak tembok dan
jebakan yang menelikung keberadaan saya, membuat mati langkah dan arah. Dan
sayangnya – sekaligus sialnya – saya adem ayem sahaja. Entah apa yang terjadi
pada saya, apakah ada yang memutus salah satu komponen urat saraf saya? Entah…
Ya mungkin karena itulah ekspresi saya selalu
datar-datar saja, perlu sesuatu yang luar bisa untuk membuat saya bisa
berteriak histeris dan melompat kegirangan – yang dulu sangat mudah saya
lakukan. Hah! Lupakan lawakan macam; terjatuh-karena-pura-pura-tak-sengaja-menubruk-sesuatu!
Anda mungkin masih ingat tentang pembunuhan di
sebuah bioskop di Colorado USA, kalau tidak salah. Yang terinspirasi dari film
Batman yang kebetulan sedang diputar di bioskop tersebut – lebih tepatnya
terinspirasi dari peran musuh si manusia kelelawar, yakni Joker. Si penembak
berantai itu, yang entah siapalah namanya [maklumi sajalah keterbatasan memori
otak saya] – kita sebut saja namanya MAS [Manusia Anonim Sekali]. Baiklah saya
coba me-reka ulang apa-apa yang sebenarnya ‘pernah’ sering di bahas di televisi
beberapa saat lalu – spoiler alert!:
si MAS ini adalah pemuda yang sangat terpelajar secara akademisi, kalau tidak
salah lagi saat itu ia sedang menempuh S2 nya. Jadi pertanyaannya, apakah pemuda
yang seterpelajar itu bisa melakukan pembunuhan sedingin itu? Hei, apa kabar
kasus pemberondongan senjata di kampus-kampus dan sekolah-sekolah itu? Hal
seperti itu bukan penjamin untuk seseorang mustahil memiliki sifat dan sikap
psikopat di balik tampang baik-baiknya atau dalam gaya hidupnya yang
makmur-makmur saja. Kita tak akan pernah tahu, saudara. Bahkan apa yang ada di
balik punggung kita sendiri
Saya rasa semua manusia mempunyai sikap psikopat
dalam dirinya. Mengendap dalam pikirannya, menunggu keinginan ‘niat’ untuk
memerintahkan tangan bergerak ‘melakukan sesuatu’. Sifat psikopat ini dalam
setiap manusia takarannya berbeda-beda; ada yang masih berupa embrio,
Ada yang sudah berupa janin – atau bahkan sperma?
Hahaha, tergantung kendali kita atasnya untuk menjegalnya berkembang biak atau
yang pada akhirnya hanya tinggal menunggu untuk meledak! Itu juga sangat
tergantung lingkungan dan orang-orangnya, yang kadang bisa-bisa sangat brengsek
atau luar biasa baik malah.
Anda tak percaya omongan saya? Bagaimana dengan
naluri pembunuh saat kita dengan semangat dan sadisnya membinasakan sekumpulan
semut atau nyamuk yang barusan menyakiti kulit
kita? Hei, sekecil apapun itu mereka mahkluk hidup juga! Dan saya-pun
sering melakukannya.
Lalu, lantas kemudian beginilah analisa ngawur
saya; karena si MAS ini merasa sudah tidak ada yang bisa memahami jalan
pikirannya – dan mungkin juga akibat tekanan pendidikan dan tekanan standar
dari orang-orang sekitarnya juga terdekatnya – maka mulailah ia melarikan diri
pada apa yang akhirnya menjadi kesenangannya, yaitu menonton film. Pada sekian
judul film yang ditontonnya ia menjatuhkan hati pada film Batman [yang entah
akan menjadi berapa sekuel itu]. Ia merasa senasib dengan tokoh antagonisnya,
JOKER. Joker yang cerdas sekaligus kesepian, latar belakang hidup yang hampir
sama serta isi kepala yang hampir sama pula membuatnya begitu girang, akhirnya
ada juga orang yang bisa mengerti dirinya! Lalu jadilah si Joker ini tokoh
panutan – role model bagi si MAS.
Kemudian ia sampai pada satu kesimpulan – setelah
melewati malam-malam penuh perenungan ditemani berkaset-kaset film Batman dan
semangkok besar popcorn – ia harus berbaik hati berbagi ‘rasa sakitnya’ pada
orang lain, mereka harus ikut merasakannya. Hidup sudah tak berlaku adil
padanya, jika tuhan tidak mampu melakukannya biarkan ia sendiri yang menegakkan
‘keadilan’ itu.
Ia adalah super hero dalam versinya sendiri, dalam
dunia yang ia huni sendiri. Sebagai pahlawan super ia membutuhkan banyak
pengikut, yang pada akhirnya ia dapatkan itu melalui kabar berita sporadis
tentang aksi heroiknyadi televisi; semua orang ingin mengenalnya, semua orang
ingin tahu segala hal tentang dirinya. Dan tentu saja, KORBAN! Memang, harus
ada yang dikorbankan untuk sebuah tragedy besar.
Dan akhirnya begitulah, terjadilah apa yang mereka
sebut sebagai pembantaian sadis nan tragis dari seorang psikopat terpelajar!
Kadang saya bisa memahami jalan pikiran si MAS
yang bersimpati dengan tokoh Joker alih-alih terpesona pada Batman yang sulit
terkalahkan dengan rupa-rupa peralatan canggihnya itu. Saat menonton film thriller,
ketika sang tokoh antagonisnya – pembunuhnya – membuat gerakan senyuman sinis
di pipi tirusnya nya tanpa saya sadari saya ikut-ikutan tersenyum sinis. Ikut girang
ketika ia lolos dari jebakan pemburu tokoh protagonisnya. Ikut memuji ide
brilian psikopatiknya – tapi saya sama sekali tak menikmati muncratan darah itu,
saya menikmati ekspresinya. Entahlah, saya mungkin terlahir sebagai abal-abal.
Dan asal kau tahu, saya pernah seperti ini; suatu
hari saya ingin mengupas buah, tapi ternyata pisaunya tidak ada di dapur.
Setelah mencari kesana kemari akhirnya ketemulah pisau itu di ruang depan. Saat
akan kembali ke dapur lagi, melewatilah saya pada sebuah cermin besar yang
merangkap lemari – cermin yang bisa menangkap seluruh bayangan tubuhmu. Lalu
melintaslah sebuah iseng-iseng konyol, saya ingin berlagak seperti
‘psikopat-haus-darah-berpenyakit-jiwa-parah’ dengan pisau tajam di tangan
kanan. Kemudian saya membuat seringaian sinis menakutkan. Mencoba-coba senjata
baru saya itu, membuat jurus membunuh dalam diam – ribut-ribut hanyalah
pekerjaan para amatir. Membuat ekspresi dingin tanpa belas kasihan yang seolah
melihat korban saya mengampun dalam sekarat. Perfect!!!
“Oh, astaga! Kenapa saya tiba-tiba menikmati
andrenalin psikopatik yang pura-pura ini, baik-baik sajakah saya?” Seperti
tersadar dari tidur panjang yang mengawang, saya sudahi permainan itu. Karena
saya mulai takut melihat raut wajah sendiri yang tiba-tiba ekspresinya tidak
saya kenali, seperti mahkluk asing yang tidak kau kehendaki kedatangannya.
Saya yang egois dan keras kepala ini sepanjang dan
sejauh kehidupan yang telah saya lalui tidaklah percaya kalau orang-orang yang bakar
diri itu murni karena protes-protes semata. Bagaimana mungkin orang mau mati
secara cuma-cuma [iya, saya tahu. Saya memang berjiwa oportunis karatan!] –
kita bukan tuhan yang rela memberi gratis pada sesuatu hal yang besar. Saya
yakin, pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi dalih bunuh diri demi protes
kemanusiaan ataupun politik itu; entah itu karena tidak puas pada hidup dan
dirinya sendiri, entah karena tekanan yang datang bertubi-tubi yang tak kuasa
lagi ditanggulanginya. Entah…
Dan mereka pintar! Mencipta tragedi pada diri
sendiri terlihat jauh lebih bermartabat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar