Selasa, 11 Desember 2012

KAPAN, TUHAN?


Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua adalah dilahirkan tapi mati muda. Dan yang tersial adalah yang berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda. [Soe Hok Gie]





Dalam mimpi-mimpi terliar saya, bisa mati muda adalah pencapaian yang paling puncak bagi hidup saya. Ia semacam penangkal racun bagi siang dan malam di hidup saya yang menyesakkan. Dan sekarang ini nafas saya tinggal satu – satu, sekarat memeluk harapan yang tak kunjung mengejawantah dalam nyata. Apalah artinya hidup bila hanya sekedar bernafas saja. Apalah artinya kehidupan bila semua sudah tak terasa apa-apa lagi. Seperti manekin berjalan. Ia patuh mengangguk, terserah pakaian apa yang dipilihkan dan dipasangkan kepadanya. Ia tak punya pendapat, pangkal lidahnya telah dipancung. Semua orang merasa tahu yang terbaik untuknya. Tak peduli, bahwa itu membunuhnya perlahan-lahan. Iya, ia hanyalah manekin berjalan. Jiwanya telah sengaja dihilangkan sedari semula...

Katanya tuhan telah menentukan berapa panjang umur seseorang. Ia juga telah memastikan cara mati yang bagaimana yang akan dialami seseorang. Ah, tuhan terlalu memanjakan manusia. Seharusnya ia memberikan tanggung jawab sepenuhnya pilihan itu kepada kita, kepada saya. Ya, pilihan. Kadang, dalam diam saya bertanya seperti ini; “Batas tak tertanggungkan yang ditempakan kepada manusia itu sejauh apa? Apakah ia memakai standarnya sendiri atau standar umat manusianya?” Maaf tuhan, kadang saya merasa engkau kurang peka dengan kegelisahan-kegelisahan akan hidup ini. Apakah Anda bersenang-senang dengan keringat dingin yang tak tahu mau dimuarakan kemana ini? Menyeringai melihat tubuh menggigil ketakutan dengan detak waktu yang tak kunjung berhenti. Bahkan mungkin terbahak-bahak melihat luka yang semakin menganga di bawah sadar yang tervisualisasi dalam mimpi-mimpi yang menggeram dan penuh kutuk. Tuhan, masihkah kau disana? Apakah kau bisa melihat saya yang menggigil dan mendengar suara gigi saya yang saling baradu ini?

Tuhan, kalau memang semua sudah kau tetapkan. Bisakah saya membujukmu. Saya takut tuhan. Saya takut engkau telah memutuskanku untuk berumur panjang. Itu sangat ngeri tuhan. Bila kau melihatku yang seperti ini, masih tegakah kau memberikan itu? Benar, sekarang saya tidak malu untuk terlihat lemah dihadapanmu. Terlihat tegar hanya akan membuatmu tidak sungkan-sungkan untuk membantingku lebih keras lagi. Hahaha, saya bungkukkan punggung ini dalam-dalam, menyembah anda sekhusuk-khusuknya demi mengakhiri segala getir yang sudah mencapai titik nadir ini. Ehem, saya rasa anda perlu teman bermain yang mengasyikkan di sana. Kita sama-sama merasa sendiri dan sunyi, bukan? Maukah?

Saya benar-benar ingin mati muda. Tak peduli berapa banyak pahala dan dosa saya. Saya memang tidaklah agamis. Tapi saya bisa sedikit menentukan mana itu baik mana itu buruk. Peduli setan dengan orang yang bilang takut mati muda karena belum punya cukup banyak pahala untuk dibawa ‘ke sana’ dan masih banyak bergelimpang dosa. Omong kosong! Semakin lama engkau hidup semakin banyak pula dosa yang kau timbun. Bukankah sudah sifatnya manusia untuk tidak pernah merasa puas? Bukankah lebih baik memutus mata rantai pahala dan dosa lebih awal?
Tubuh membeku dan biarkan tuhan bekerja.








Post scriptum; tulisan ini mungkin hasil radiasi dari rinai hujan yang tak kunjung berhenti sedari sore tadi dan sialnya telah ikut terkontaminasi oleh bunga melati milik tetangga sebelah rumah yang aromanya semakin vulgar karena terpapar lembabnya malam. DAN, bangkai kecoak yang digerayangi sepasukan semut merah di kolong ranjang telah mengalihkan perhatian saya…

 

Tidak ada komentar: