Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua adalah dilahirkan
tapi mati muda. Dan yang tersial adalah yang berumur tua. Berbahagialah mereka
yang mati muda. [Soe Hok Gie]
Dalam mimpi-mimpi terliar saya, bisa mati muda adalah pencapaian yang
paling puncak bagi hidup saya. Ia semacam penangkal racun bagi siang dan malam
di hidup saya yang menyesakkan. Dan sekarang ini nafas saya tinggal satu –
satu, sekarat memeluk harapan yang tak kunjung mengejawantah dalam nyata.
Apalah artinya hidup bila hanya sekedar bernafas saja. Apalah artinya kehidupan
bila semua sudah tak terasa apa-apa lagi. Seperti manekin berjalan. Ia patuh
mengangguk, terserah pakaian apa yang dipilihkan dan dipasangkan kepadanya. Ia
tak punya pendapat, pangkal lidahnya telah dipancung. Semua orang merasa tahu
yang terbaik untuknya. Tak peduli, bahwa itu membunuhnya perlahan-lahan. Iya,
ia hanyalah manekin berjalan. Jiwanya telah sengaja dihilangkan sedari semula...
Katanya tuhan telah menentukan berapa panjang umur seseorang. Ia juga telah
memastikan cara mati yang bagaimana yang akan dialami seseorang. Ah, tuhan
terlalu memanjakan manusia. Seharusnya ia memberikan tanggung jawab sepenuhnya
pilihan itu kepada kita, kepada saya. Ya, pilihan. Kadang, dalam diam saya
bertanya seperti ini; “Batas tak tertanggungkan yang ditempakan kepada
manusia itu sejauh apa? Apakah ia memakai standarnya sendiri atau standar umat
manusianya?” Maaf tuhan, kadang saya merasa engkau kurang peka dengan
kegelisahan-kegelisahan akan hidup ini. Apakah Anda bersenang-senang dengan
keringat dingin yang tak tahu mau dimuarakan kemana ini? Menyeringai melihat
tubuh menggigil ketakutan dengan detak waktu yang tak kunjung berhenti. Bahkan
mungkin terbahak-bahak melihat luka yang semakin menganga di bawah sadar yang
tervisualisasi dalam mimpi-mimpi yang menggeram dan penuh kutuk. Tuhan,
masihkah kau disana? Apakah kau bisa melihat saya yang menggigil dan mendengar
suara gigi saya yang saling baradu ini?
Tuhan, kalau memang semua sudah kau tetapkan. Bisakah saya membujukmu. Saya
takut tuhan. Saya takut engkau telah memutuskanku untuk berumur panjang. Itu
sangat ngeri tuhan. Bila kau melihatku yang seperti ini, masih tegakah kau
memberikan itu? Benar, sekarang saya tidak malu untuk terlihat lemah
dihadapanmu. Terlihat tegar hanya akan membuatmu tidak sungkan-sungkan untuk
membantingku lebih keras lagi. Hahaha, saya bungkukkan punggung ini
dalam-dalam, menyembah anda sekhusuk-khusuknya demi mengakhiri segala getir
yang sudah mencapai titik nadir ini. Ehem, saya rasa anda perlu teman bermain
yang mengasyikkan di sana. Kita sama-sama merasa sendiri dan sunyi, bukan?
Maukah?
Saya benar-benar ingin mati muda. Tak peduli berapa banyak pahala dan dosa
saya. Saya memang tidaklah agamis. Tapi saya bisa sedikit menentukan mana itu
baik mana itu buruk. Peduli setan dengan orang yang bilang takut mati muda
karena belum punya cukup banyak pahala untuk dibawa ‘ke sana’ dan masih banyak
bergelimpang dosa. Omong kosong! Semakin lama engkau hidup semakin banyak pula
dosa yang kau timbun. Bukankah sudah sifatnya manusia untuk tidak pernah merasa
puas? Bukankah lebih baik memutus mata rantai pahala dan dosa lebih awal?
Tubuh membeku dan biarkan tuhan bekerja.
Post scriptum; tulisan ini mungkin hasil radiasi dari rinai hujan yang tak
kunjung berhenti sedari sore tadi dan sialnya telah ikut terkontaminasi oleh
bunga melati milik tetangga sebelah rumah yang aromanya semakin vulgar karena
terpapar lembabnya malam. DAN, bangkai kecoak yang digerayangi sepasukan semut
merah di kolong ranjang telah mengalihkan perhatian saya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar