Jumat, 14 Desember 2012

SI CACING BUNGSU [BAGIAN 1]

 
Keluarga cacing merah sedang gundah gulana. Si Bungsu tiba-tiba saja menghilang. Padahal baru beberapa jam yang lalu ia sedang asyik bermain di hutan pinus dengan segerombolan rusa dan panda. Itu bukan kebiasaannya untuk menghilang dalam jangka waktu lama tanpa pamit. Si Ayah sudah meminta bantuan seluruh penghuni hutan pinus untuk ikut mencarinya, namun hasilnya nihil!
Keluarga cacing merah sangatlah cemas. Si Bungsu masih terlalu muda untuk melakukan perjalanan keluar dari hutan pinus. Bagaimanapun sangat mustahil bagi si bungsu untuk melakukan segala kekonyolan itu dengan sukarela, membaca arah mata angin ia masih buta.
Si Ibu cacing merah hanya bisa meratap dan menangis. Berharap itu hanyalah mimpi sesaat di siang teriknya. Dan semoga segera ada yang membangunkannya dari tidur yang sama sekali jauh dari nyenyak itu. Kemudian semuanya akan seperti biasanya lagi, menyiapkan secangkir besar susu hangat buat si bungsu yang kehausan sehabis bermain di hutan pinus dengan penuh ambisius.­

Keluarga cacing merah hanya bisa menunggu dalam ritme kecemasan yang naik turun. Berharap pada keajaiban rasanya mustahil sekali. Bola merah panas sebentar lagi akan tenggelam. Seiring dengan itu tenggelam pulalah segala harapan yang mengendap dalam masing-masing hati keluarga cacing merah.
Ingin meminta bantuan peri hutan, tapi kata pembantunya si peri hutan sedang liburan musim dingin ke Korea sekalian memperbaiki bentuk hidung yang bengkok karena habis menabrak batang pohon pinus dengan kecepatan penuh. Huh! katanya peri hutan, tapi memindai daerah kekuasaan sendiri saja tidak becus!
Keluarga cacing merah geram. Mereka marah karena kelakuan peri hutan yang mematahkan harapan mereka. Terlintas dalam benak mereka untuk mengadukannya ke dewan hakim hutan pinus. Ini bisa masuk perkara jaminan keamanan hutan pinus yang minus. Namun lantas mereka membatalkan semua rencana itu. Karena hanya akan menyita banyak waktu dan emosi. Mereka hanya ingin fokus mengusahakan keselamatan si Bungsu. Do’a dan usaha sepanjang waktu kalau itu bisa membantu. Meski harapan bisa ditipiskan oleh sang detik waktu, itu tak akan membuat alpa pada si Bungsu. Mereka adalah keluarga dan akan selalu begitu seterusnya.

Mari kita tinggalkan segala kegelisahan keluarga cacing merah. Jadi kemanakah si Bungsu? Apakah ia diculik segerombolan Alien? Ataukah ia merasa bosan dengan hutan pinus dan memutuskan untuk mencari kehidupan baru di luar sana? Apakah ia menjadi mangsa sekawanan burung elang barbar?
Baiklah, mari kita cari tahu kemana gerangan perginya si Bungsu;  kita putar ulang waktunya…

Si Bungsu sedang asyik bermain dengan teman-temannya ketika terdengar hiruk pikik pohon jatuh berdentum. Mereka asyik terus bermain tanpa terganggu dengan segala kegaduhan itu. Mereka pikir biasa saja kalau para manusia berburu pohon pinus karena sebentar lagi hari natal tiba. Orang-orang akan meletakkan hasil buruannya itu di dalam rumah dan menghiasinya dengan berbagai macam benda menyala dan berkelap-kelip. Tak lupa mereka akan meletakkan banyak hadiah di bawahnya. Si Bungsu tahu betul segala tetek bengek ritual itu sebab ia sering melihatnya di televisi. Kadang ia merasa iri dengan para manusia itu, betapa senangnya saling bertukar hadiah, betapa meriahnya segala perayaan itu. Ia ingin juga bermain seluncur di lautan salju yang dingin, berlarian menangkap butiran hujan salju. Di hutan pinus tidak pernah turun salju. Ia melulu berawan cerah di siang hari dan gerimis di malam harinya. Si Bungsu curiga, jangan-jangan karena itulah Sinterklas tidak mau mampir ke tempatnya – kau pikir rusa kutub mau mendaratkan keretanya di tempat yang segalanya penuh dengan daun berduri lancip? Pun karena keluarganya tidak mempunyai cerobong asap makanya Santa malas bertandang kerumahnya karena takut tersesat ke sekat-sekat ruang penuh labirin.

Si Bungsu ini juga kadang sering terheran-heran  dengan tingkah manusia yang lebih suka memilih pinus sebagai pohon natal. Padahal di hutan pinus sendiri para hewan membuat pohon natal dari ranting-ranting kering dan rumput liar yang dirakit sedemikian rupa menyerupai piramida. Mereka menghiasinya dengan bunga-bunga liar yang tumbuh berserakan di pelataran hutan pinus. Tidak ada hadiah, hanya hidangan makanan lebih bergizi dan lezat dari hari-hari sebelumnya. Dan dengan semua itu ia sudah merasa senang sekali. Namun televisi telah membuatnya iri. Disamping itu pula ia sangat sebal dengan para pemburu pohon pinus karena ia jadi gampang ditemukan oleh teman-temannya saat bermain petak umpet. Bayangkan betapa lapangnya hutan pinus sekarang, bahkan untuk mencari tempat bersembunyi bagi tubuhnya yang sekecil batang korek itu saja susahnya minta ampun. Entah apa jadinya hutan pinus tanpa pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang menyentuh langit, mungkin para hewan penghuni hutan pinus harus mulai memikirkan nama baru pengganti ‘hutan pinus’. Hutan tandus atau hutan yang kurus mungkin?

Selagi si Bungsi sibuk bermain-main dengan isi kepalanya tanpa ia sadari di belakang tubuhnya sebuah pohon pinus tumbang mendentum tanah. Ia merasa takut setengah mati, mengira tubuhnya telah menjadi pipih tergencet batang pinus. Tapi, tunggu…  ia masih bisa merasakan detak jantungnya, denyut nadinya, masih bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Hufh! Ia masih utuh dan baik-baik saja. Mari lanjutkan mainnya. Eh tapi kenapa tiba-tiba ia merasa ada sebuah kekuatan besar yang mencengkeram tubuhnya – membuat ia tak bisa bangkit berdiri untuk mengusaikan permainannya siang ini. Ia harus segera berada di rumah demi secangkir besar susu hangat. Uh, jenis monster apakah ini? Ia mencengkeram kerah baju si Bungsu keras sekali hingga membuat lehernya berkerut-kerut kemerahan. Degup jantung si Bungsu menjadi berdetak lebih cepat dibanding saat ia ketakutan karena ketahuan menyimpan roti yang mudah beremah di bawah bantal; tubuhnya menggigil dengan ritme cepat dan rapat – seperti habis diguyur hujan deras yang datangnya tanpa peringatan berupa awan yang murung atau matahari yang jadi suka merenung. Kini matanya sembab menahan rasa sakit dan rasa takut.
Jadi, sebenarnya ada apakah gerangan ini? Si Bungsu benar-benar tidak punya petunjuk – sungguh buta arah!
Lalu, apakah?







-BERSAMBUNG-
[menunggu mood selanjutnya, hehehe…]


Tidak ada komentar: