Keluarga cacing merah sedang gundah gulana. Si
Bungsu tiba-tiba saja menghilang. Padahal baru beberapa jam yang lalu ia sedang
asyik bermain di hutan pinus dengan segerombolan rusa dan panda. Itu bukan
kebiasaannya untuk menghilang dalam jangka waktu lama tanpa pamit. Si Ayah
sudah meminta bantuan seluruh penghuni hutan pinus untuk ikut mencarinya, namun
hasilnya nihil!
Keluarga cacing merah sangatlah cemas. Si Bungsu
masih terlalu muda untuk melakukan perjalanan keluar dari hutan pinus.
Bagaimanapun sangat mustahil bagi si bungsu untuk melakukan segala kekonyolan
itu dengan sukarela, membaca arah mata angin ia masih buta.
Si Ibu cacing merah hanya bisa meratap dan
menangis. Berharap itu hanyalah mimpi sesaat di siang teriknya. Dan semoga
segera ada yang membangunkannya dari tidur yang sama sekali jauh dari nyenyak
itu. Kemudian semuanya akan seperti biasanya lagi, menyiapkan secangkir besar
susu hangat buat si bungsu yang kehausan sehabis bermain di hutan pinus dengan
penuh ambisius.
Keluarga cacing merah hanya bisa menunggu dalam
ritme kecemasan yang naik turun. Berharap pada keajaiban rasanya mustahil
sekali. Bola merah panas sebentar lagi akan tenggelam. Seiring dengan itu
tenggelam pulalah segala harapan yang mengendap dalam masing-masing hati
keluarga cacing merah.
Ingin meminta bantuan peri hutan, tapi kata
pembantunya si peri hutan sedang liburan musim dingin ke Korea sekalian
memperbaiki bentuk hidung yang bengkok karena habis menabrak batang pohon pinus
dengan kecepatan penuh. Huh! katanya peri hutan, tapi memindai daerah kekuasaan
sendiri saja tidak becus!
Keluarga cacing merah geram. Mereka marah karena
kelakuan peri hutan yang mematahkan harapan mereka. Terlintas dalam benak
mereka untuk mengadukannya ke dewan hakim hutan pinus. Ini bisa masuk perkara
jaminan keamanan hutan pinus yang minus. Namun lantas mereka membatalkan semua
rencana itu. Karena hanya akan menyita banyak waktu dan emosi. Mereka hanya
ingin fokus mengusahakan keselamatan si Bungsu. Do’a dan usaha sepanjang waktu
kalau itu bisa membantu. Meski harapan bisa ditipiskan oleh sang detik waktu,
itu tak akan membuat alpa pada si Bungsu. Mereka adalah keluarga dan akan
selalu begitu seterusnya.
Mari kita
tinggalkan segala kegelisahan keluarga cacing merah. Jadi kemanakah si Bungsu?
Apakah ia diculik segerombolan Alien? Ataukah ia merasa bosan dengan hutan
pinus dan memutuskan untuk mencari kehidupan baru di luar sana? Apakah ia
menjadi mangsa sekawanan burung elang barbar?
Baiklah,
mari kita cari tahu kemana gerangan perginya si Bungsu; kita putar ulang waktunya…
Si Bungsu sedang asyik bermain dengan
teman-temannya ketika terdengar hiruk pikik pohon jatuh berdentum. Mereka asyik
terus bermain tanpa terganggu dengan segala kegaduhan itu. Mereka pikir biasa
saja kalau para manusia berburu pohon pinus karena sebentar lagi hari natal
tiba. Orang-orang akan meletakkan hasil buruannya itu di dalam rumah dan
menghiasinya dengan berbagai macam benda menyala dan berkelap-kelip. Tak lupa
mereka akan meletakkan banyak hadiah di bawahnya. Si Bungsu tahu betul segala
tetek bengek ritual itu sebab ia sering melihatnya di televisi. Kadang ia
merasa iri dengan para manusia itu, betapa senangnya saling bertukar hadiah,
betapa meriahnya segala perayaan itu. Ia ingin juga bermain seluncur di lautan
salju yang dingin, berlarian menangkap butiran hujan salju. Di hutan pinus
tidak pernah turun salju. Ia melulu berawan cerah di siang hari dan gerimis di
malam harinya. Si Bungsu curiga, jangan-jangan karena itulah Sinterklas tidak
mau mampir ke tempatnya – kau pikir rusa kutub mau mendaratkan keretanya di
tempat yang segalanya penuh dengan daun berduri lancip? Pun karena keluarganya
tidak mempunyai cerobong asap makanya Santa malas bertandang kerumahnya karena
takut tersesat ke sekat-sekat ruang penuh labirin.
Si Bungsu ini juga kadang sering
terheran-heran dengan tingkah manusia
yang lebih suka memilih pinus sebagai pohon natal. Padahal di hutan pinus
sendiri para hewan membuat pohon natal dari ranting-ranting kering dan rumput
liar yang dirakit sedemikian rupa menyerupai piramida. Mereka menghiasinya
dengan bunga-bunga liar yang tumbuh berserakan di pelataran hutan pinus. Tidak
ada hadiah, hanya hidangan makanan lebih bergizi dan lezat dari hari-hari
sebelumnya. Dan dengan semua itu ia sudah merasa senang sekali. Namun televisi
telah membuatnya iri. Disamping itu pula ia sangat sebal dengan para pemburu pohon
pinus karena ia jadi gampang ditemukan oleh teman-temannya saat bermain petak
umpet. Bayangkan betapa lapangnya hutan pinus sekarang, bahkan untuk mencari
tempat bersembunyi bagi tubuhnya yang sekecil batang korek itu saja susahnya
minta ampun. Entah apa jadinya hutan pinus tanpa pohon-pohon pinus yang tinggi
menjulang menyentuh langit, mungkin para hewan penghuni hutan pinus harus mulai
memikirkan nama baru pengganti ‘hutan pinus’. Hutan tandus atau hutan yang
kurus mungkin?
Selagi si Bungsi sibuk bermain-main dengan isi
kepalanya tanpa ia sadari di belakang tubuhnya sebuah pohon pinus tumbang
mendentum tanah. Ia merasa takut setengah mati, mengira tubuhnya telah menjadi
pipih tergencet batang pinus. Tapi, tunggu…
ia masih bisa merasakan detak jantungnya, denyut nadinya, masih bisa
menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Hufh! Ia masih utuh dan baik-baik saja. Mari lanjutkan mainnya. Eh tapi kenapa
tiba-tiba ia merasa ada sebuah kekuatan besar yang mencengkeram tubuhnya –
membuat ia tak bisa bangkit berdiri untuk mengusaikan permainannya siang ini.
Ia harus segera berada di rumah demi secangkir besar susu hangat. Uh, jenis monster
apakah ini? Ia mencengkeram kerah baju si Bungsu keras sekali hingga membuat
lehernya berkerut-kerut kemerahan. Degup jantung si Bungsu menjadi berdetak
lebih cepat dibanding saat ia ketakutan karena ketahuan menyimpan roti yang
mudah beremah di bawah bantal; tubuhnya menggigil dengan ritme cepat dan rapat
– seperti habis diguyur hujan deras yang datangnya tanpa peringatan berupa awan
yang murung atau matahari yang jadi suka merenung. Kini matanya sembab menahan
rasa sakit dan rasa takut.
Jadi, sebenarnya ada apakah gerangan ini? Si Bungsu benar-benar tidak punya
petunjuk – sungguh buta arah!
Lalu, apakah?
-BERSAMBUNG-
[menunggu mood
selanjutnya, hehehe…]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar