Rabu, 09 Mei 2012

DI SINI DAN DI SANA HANYA TERPISAH SELAPUT IMAJINER


Di suatu siang yang tak terlalu terik, di bawah pohon oak yang rindang kau berdiri disana seraya melemparkan senyum padaku. Tak jua berubah, senyummu masih setenang dulu. Dan mata itu – yang beberapa tahun lalu berhasil membuatku memujamu – masih sama, masih menyisakan sebentuk tanya dikepalaku sampai sekarang “bagaimana tuhan begitu bermurah hati memberimu sepasang mata yang begitu memesona, kerling yang seksi dan polos secara bersamaan”. Dan… entah berapa banyak perempuan selain aku yang terjerat dalam pesona matamu itu. Tapi aku tak menyalahkanmu, memang sudah seharusnya begitu…
Sosokmu masih sama persis dengan siluet yang terbentuk bertahun-tahun di selaput otakku. Tinggal lama disini hanya membuatmu tampak lebih matang dari apa yang biasa kulihat selama ini. Selebihnya kau tak banyak berubah. Terima kasih… karena dengan begitu aku tak perlu bersusah payah untuk mereka-reka kembali seperti apa dirimu. Berkeluh dan berpeluh mengais-ngais potongan-potongan untuk direkatkan kembali, yang padahal entah diletakkan dimana karena harus mengalah dengan kenangan-kenangan yang datang barusan. Aku tahu, itu akan sangat melelahkan sekali. Ah… kenapa tiba-tiba tenggorokanku begitu sulit untuk menelan ludah dan fokus pandanganku mendadak mengabut. “Sudah hentikan kecengenganmu itu, Bukankah ini saat yang sudah terlalu lama kau nantikan. Jadi tersenyumlah…”
Hmm… berdiri di depanmu serupa mimpi saja. Teganya kau membuatku kikuk seperti ini, mirip anak anjing yang dituduh mengencingi karpet kesayangan tuannya. Masihkah sama saperti dulu, engkau yang hangat tapi begitu tak terjangkau…
Aku [A] : “Ehm… kemeja yang bagus – rapi sekali. Kemana larinya kebiasaanmu berpakaian serba hitam dengan jeans penuh sobekan itu. Apakah disini tidak ada sesuatu yang bisa kau idolakan untuk kau tuliskan namanya dimotif kaosmu?  Ataukah karena kau tahu aku akan datang maka kau membuat pengecualian untuk hari ini. Kau tahu, itu membuatku gelisah sekaligus tersanjung…”
Dia [D] : “Hei! Untuk orang yang baru saja datang bicaramu banyak sekali. Hahaha…”
A : “Aku hanya merasa tak tahu harus meluapkan kemana kegembiraanku karena akhirnya bisa bertemu denganmu. Mungkin dengan banyak omong kau akan bisa mengerti semua apa yang ada di kepalaku dan yang ada di sini…”
D : “Ya, aku mengerti. Di sana kita tidak terlalu banyak bicara bukan? itu juga karena salahku yang tak terlalu punya nyali untuk mendekatimu.”
A : “Kupikir itu bukan hanya salahmu, mungkin selama itu kita sudah terpuaskan dengan hanya saling melihat dan mengagumi dari kejauhan. Mungkinkah karena beberapa selang waktu itu kita begitu sama-sama tak terjangkaunya. Seperti menara di tengah padang pasir. Kita yang mengagungkan kesendirian…”
D : “Bukankah itu sungguh menggetirkan? Tapi paling tidak kita bisa melihat sisi positifnya. Kau tak terlalu kehilangan saat aku pergi untuk menetap di sini karena tak banyak kenangan yang bisa kutinggalkan padamu.”
A : “Ah… bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu. Bisakah kau bayangkan sesuatu yang belum tuntas dan yang tak terungkapkan pasti akan sangat menyakitkan bila ditinggalkan begitu saja. Parut luka yang meninggalkan jejak ditubuhmu yang mau tak mau menjelma serupa reminder di telepon genggam - menjadi pengingat di setiap saat.”
D : “Benarkah sepedih itu? Kupikir hanya aku yang merasakannya...”
A : “Mengapa kau bisa se-egois itu…”
D : “Aku tahu. Andai aku bisa menyuap doraemon untuk bermurah hati meminjamkan kantong ajaibnya, aku ingin kembali ke masa itu. Dimana aku tak akan sungkan-sungkan untuk menculikmu dan membuatmu bersukarela berada di sampingku selamanya.”
A : “Hahaha… Kuharap itu tak akan menjadi kenyataan. Aku tak bisa membayangkan betapa akan membosankannya itu. Mengingatkanku pada cerita dongeng semacam Cinderela. Kau sungguh menggelikan.”
D : “Eh! Kau jangan meremehkanku. Bukan hanya sekedar itu. Aku akan membawamu menyesatkan diri ketempat-tempat yang selama ini kau inginkan. Tempat dimana kita akan selalu merasa terlahir kembali dengan segala keterasingan di sekitar kita. Bagaimana menurutmu?”
A : “Baiklah, itu terdengar sangat kereeen… “
D : “Tentu saja. Dan kau akan sangat menyesal kalau tidak mencobanya. Hahaha…”
A : “Hahaha… kau sungguh mengerti.”
D : “Oh ya, bagaimana kabarmu disana Pemudi berambut besar? Sudah berapa banyak cinta yang berhasil kau jerat?”
A : “Tak sebanyak pergantian musim di satu tahun. Tak banyak yang bisa membuatku seantusias seperti saat ada dirimu. Asal kau tahu aku sudah mencoba bekerja jauh lebih keras untuk mendapatkan yang lebih daripada itu. Tapi kadang itu sangat melelahkan…  Dan bagaimana dengan dirimu sendiri wahai Pemuda gondrong berjambang? Menurut cerita yang sering kudengar banyak perempuan cantik yang berseliweran disini, berapa banyak yang sudah masuk perangkapmu?”
D : “Wah, kemana saja kau? Asal kau tahu aku tak begitu berselera dengan perempuan cantik. Kalau-pun iya, mana mungkin dulu aku mau melirikmu. Perempuan unik menurutku lebih eksotis.”
A : “Lebih tepatnya perempuan aneh mungkin. Aku tak menyangka kau ternyata bisa se-aneh itu. Hehehe… atau kau mungkin hanya ingin menyenangkan hatiku bukan? Lelaki mana yang tidak suka pemandangan indah – kalian para makhluk visual. Tapi tak bisa disalahkan juga…”
D : “Hufh… memang kadang susah meyakinkan kalian wahai para perempuan. Apa sebenarnya yang kalian mau?”
A : “Hehehe, yang kumau mari kita tinggalkan obrolan tak penting barusan itu. Errr… apakah kau betah disini? Bukankah sudah sangat lama kau tinggal di sini?
D : “Bagaimana mungkin aku bisa bosan dengan pemandangan seperti ini. Padang luas penuh rumput menghijau. Bunga warna-warni yang tak pernah layu dengan latar belakang perbukitan dibelakang sana. Disini setiap hari adalah cerah, panas yang tak memanggang. Kalaupun sedang ber-air lebih sering gerimis daripada hujan deras penuh halilintar dan petir. Dan apakah kau familiar dengan bau ini? Sangat nyaman bukan? Jadi, apakah kau akan sempat menghitung hari jika diposisiku? Kau tahu… ini semualah yang bisa menghiburku saat rinduku tak tertahankan padamu…”
A : “Aku tahu, tempat ini sangat mengesankan. Mengingatkanku pada suatu tempat di belahan bumi sana. Tempat yang sempat ingin kujejakkan kaki sebelum aku bisa menetap di sini selamanya. Tapi di sini tak kalah indah, kalaupun pada akhirnya tak bisa ke sana aku tak akan terlalu menyesal. Aku juga merindukanmu…”
D : “Tapi kita hanya bisa menangguhkan rindu ini sampai kita benar-benar bertemu dan bersama lagi ditempat ini. Melanjutkan cerita yang belum usai – yang menunggu untuk dituntaskan…”
A : “Bukankah aku sudah di sini, kita sudah berpijak di tanah yang sama sekarang. Tapi bagaimana mungkin kau bilang seperti itu…?”
D : “Karena kau belum benar-benar ada di sini. Ini hanya sebatas mimpi buatmu.”
A : “Jahat sekali… “
D : “Memang begitulah kenyataannya. Ini tak akan selama yang kau pikirkan. Jadi manfaatkanlah waktumu se-efektif mungkin wahai Alien dari planet anonim.”
A : “Hahaha, lucu sekali Tuan pemalu bermata jernih. Semoga ini tak akan menjadi sesi tanya jawab layaknya wawancara kerja!”
D : “Hahaha… kelucuanmu kadarnya tak jua berkurang rupanya. Masih saja sarkas. Tapi aku suka. Semakin membuatmu tak biasa…”
A : “Wah… di sini rupanya ada semacam mesin pengolah alphabet yang pandai merangkai kata-kata menjadi sebentuk untaian kalimat yang manis. Dan sepertinya kau telah banyak belajar darinya.”
D : “Hahaha… Dasar! Ingin rasanya kumelumatmu dalam mesin daur ulang agar kau tak ada habisnya. Hahaha…”
 A : “Hihihi… Dasar saiko abal-abal!
D : “Hush!”
A : “Hmm... Sesungguhnya aku sangat iri padamu. Diusia semuda itu kau sudah bisa sampai di sini. Eh! Apakah kau sudah bertemu Jim Morrison, Curt Cobain, Janis Joplin, John Lennon, Amy Winehouse, Bob Marley dan yang lainnya? Kalau iya, pasti sangat menyenangkan.”
D : “Benar, aku lumayan sering bertemu  mereka. Lebih sering ngobrol sambil ngopi disore hari. Menyenangkan memang, tapi tak sepenuhnya begitu. Kadang aku harus mengalah menghadapi letupan-letupan egosentris mereka. Itu mungkin karena mereka sudah terbiasa menjadi pusat perhatian di sana.”
A : “Huh! Sangat membuat cemburu. Sadarkah kau? Engkau adalah si pencuri mimpi. Seharusnya aku yang tiba lebih awal di sini.”
D : “Benarkah? Salahkan Dia. Aku bahkan tak memintaNya untuk menempatkanku semuda itu di sini. Aku rasa itulah yang membuatNya indah – si misterius yang flamboyan. Ke-ironisan yang menawan.”
A : “Hehe, benar juga. Meskipun sampai sekarang aku masih memimpikan itu. Kuharap sebelum angka 30. Syukur-syukur kalau aku bisa bergabung di “Club 27”. Hehehe…”
D : “Ya semoga... Semoga Dia mendengarmu. Pasti akan jauh lebih menyenangkan bila kau ada disini. Mencium rambutmu yang bau matahari karena terlalu asyik mengejar kupu-kupu. Bisa kau bayangkan betapa menyenangkannya itu. Tapi… aku juga pasti akan sangat bahagia jika kau bisa menghabiskan sisa waktu di sana dengan sangat menyenangkan dan dalam jangka waktu yang lama kau bisa melengkungkan senyum dibibirmu. “
A : “Entahlah… aku hanya takut mati rasa karena terlalu lama disana. Ini semacam invasi tremor karena terlalu mencandu kafein.”
D : “Aku tahu itu hanya kekawatiran sementaramu saja. Itu tak akan terjadi kalau kau mau sedikit saja merendahkan tembok pertahananmu.”
A : “Hahah… begitukah?”
D : “Jangan se-skeptis itu. Bersenang-senanglah. Kau pantas mendapatkannya.”
A : “Sungguh kata-kata yang ringan diucapkan untuk sebuah mulut yang tak lagi mengalami hidup di bawah sana.”
D : “Hahaha… kau masih saja sesinis dulu. Semakin membuatku gemas saja! Percayalah aku sangat menginginkanmu di sini, melebihi apapun yang pernah kuimpikan. Tapi aku juga tak bisa berlaku se-egois itu kepadamu…”
A : “Sungguh  menyebalkan!
D : “Hehehe… Ehem! Kurasa waktu berkunjung sudah habis. Pulanglah perempuanku…
A : “Ta-Tapi… cepat sekali! Rasanya baru beberapa detik yang lalu aku di sini. Tak bisakah kau membujukNya untuk memberiku waktu sekian jam lagi. Kumohon…”
D : “Jangan merajuk…Percayalah ini belum tuntas. Masih ada beratus bahkan beribu kesempatan lagi buatmu bertemu denganku. Itu bukan sebuah kenihilan…”
A : “Hmm… baiklah. Jagalah baik-baik dirimu di sini. Suatu saat aku pasti akan kembali. Entah itu untuk sementara atau selamanya dan aku tak ingin melihatmu berubah. Tak bisa lebih baik dari ini tampilan citramu dikedua mataku.”
D : “Pasti! Aku akan di sini menunggumu. Di tempat yang sama dengan aku, orang yang sama…”
A : “Terimakasih sudah memberiku kesempatan mengunjungimu., ini sungguh melegakan. Sampai jumpa…”
D : “Iya… Sampai jumpa lagi. Berjalanlah yang tegap. Lebarkan pundakmu. Jangan terlalu banyak menoleh ke belakang,  itu akan membuat pandanganmu mendadak kabur...”
Dan sebelum sempat aku menyahut, disaat suara masih ditenggorokan belum mencapai langit-langit mulut – kau memelukku. Hawa tubuhmu mengalahkan hangatnya udara disekitaran kita. Lantas kau bisikkan sesuatu ditelinga kiriku. Hei apakah itu? Terdengar begitu samar. Sesamar senyuman terakhirmu. Sebelum sempat kutanyakan apa maksudmu, aku terlanjur mendapati tubuhku menjauhimu dan apapun yang ada disekelilingmu. Tiba-tiba saja semuanya begitu mengawang dan berkabut. Panik menyerangku! Sosokmu lenyap begitu saja. Ada apakah ini. Ini serupa hantaman tsunami tanpa peringatan. Tak ada luang untuk meratap. Engkau benar-benar lindap dari pandangan…

Post-scriptum: Hei kamu! Aku tak akan melewatkanmu begitu saja. Aku pasti akan datang kembali, menanyakan apa sesungguhnya kata-kata yang kau bisikkan itu. Tunggu saja lelaki berambut ikal dengan kerling nakal… :p

Tidak ada komentar: