Ada tikus mengerat kayu di lemari
bajuku – aku tak peduli. Hingga ia melebur menjadi serpihan daging busuk penuh
belatung pun, yang baunya memenuhi segala ruang dimana sepuluh jari tanganmu
tak berdaya menolong lubang hidung yang kembang kempis menahan sekarat – aku
tetap bergeming seperti patung selamat datang, tak kenal hujan badai maupun
panas [sangat heroik bukan?!]. Saraf motorik sensorikku sudah terlanjur masuk
dalam kubangan sampah limbah plastik. Perlu waktu lama untuk mendaurulang demi
membuatnya berguna dan memberi arti [lagi].
Belakangan ini aku sulit membedakan
manis asin asam dan bla-bla rasa lainnya – h a m b a r. Aku jadi kurang pandai
mendeteksi ekspresi – sangat gagap dan kikuk. Hanya ada hitam dan putih dengan
siluet garis tipis buram – bayangkan televisi tahun 50-an! Datar mendatar
serupa jalan tol. Ia mungkin sekali kali penuh dengan belokan dan tanjakan,
tapi karena tekstur dan konturnya yang halus akan membuatmu sulit menangis,
mengaduh, mengumpat bahkan kalau perlu menangis histeris. Aku hanya orang tolol
yang otot wajah dan badannya memar babak belur dihantam masalah beranonim yang
sayangnya tak bersinonim dengan apapun dan siapapun. Itu tabrakan beruntun yang
membuat otak dan hati nyaris mati suri – mati rasa. Hahaha, bahkan membuat
garis lengkung di bibir saja sudah tak sanggup. Menyedihkan!
Inilah aku si robot bodoh dengan
kulminasi sabar di bawah titik nol. Aku patuh pada kabel warna warni dan suara
“bip bip bip”. Sungguh mudah sekali mematikanku. Tarik salah satu kabelku, kalu
kau tak yakin kau boleh menggunakan kancingmu untuk berspekulasi. Sekali tarik
aku akan mati atau kemungkinan paling buruk aku akan meledak mengasap dan kau
akan memperlakukanku seperti seonggok limbah besi beradiasi – kau tak sabar lekas-lekas
menggadaikanku dengan sekantong besar kerupuk rasa udang, “lihat! Mulutmu
belepotan minyak!” See, mudah sekali
bukan meniadakanku. Dan aku tak peduli, paling tidak tak akan ada yang
tersakiti karena merasa kehilangan.
Aku adalah fosil ribuan tahun yang
tertimbun berton ton balok es di kutub utara. Perlu pemburu bernyali yang tak
takut waktunya terbuang sia-sia untuk menemukan, menggali dan menghidupkanku
kembali.
Alien dari planet anonim adalah nama
tengahku. Aku terjebak disini tanpa aku tahu kenapa. Disini semakin hari
semakin asing. Semakin sulit membedakan realita atau fiksi. Setiap malam aku
menghabiskan waktu di balkon ditemani secangkir kopi, hanya untuk menunggu
alien dari planet entah berantah menjemputku. Karena tempatku bukan disini… Kadang
aku terlalu lelah untuk terlalu banyak berharap. Ehm, mungkin saja radarnya
sedang bermasalah hingga terlalu lambat untuk menyadari keberadaanku. Baiklah,
kali ini kumaafkan…
Ahh…
mungkin akan butuh waktu lama lagi. Akhir-akhir ini cuaca kurang bersahabat.
Mana mau pesawat luar angkasa landing ditengah hujan dan angin ribut. Aarrrgh… Damn!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar