Kamis, 17 Maret 2011

KAPAN MATI?



Ketika kucing kesayangan ibu saya mati, saya tidak menangis. Saya pikir karena itu sudah waktunya. Ketika nenek buyut saya meninggal, saya tidak terlalu sedih. Saya pikir karena dia sudah tua. Dan ketika lelaki yang saya sukai pergi untuk selamanya, saya begitu sedih dan tiba-tiba saya sangat membeci malam hari. Saat itu saya pikir Tuhan sangat tidak adil. Namun kemudian saya mengerti bahwa semua itu tentang berapa kenangan yang saya punya dan saya buat. Jumlahnya akan berkolerasi positif dengan berapa banyak produksi air mata yang akan saya hasilkan.  Kadang hal itu membuat saya berpikir bagaimana kalau seandainya saya yang mati, apakah mereka juga akan bersedih atau biasa-biasa saja. Hmm, saya rasa juga akan sama saja. Akan selalu ada hukum timbal balik. Saat kau memberi lebih engkau akan menerima banyak, begitu pula sebaliknya.

Sebenarnya [sampai saat ini] saya tak pernah benar-benar peduli kapan tepatnya saya akan mati. Entah besok, entah lusa, entah bulan depan atau entah tahun depan saya sungguh-sungguh tak ambil pusing. Bagi saya mati adalah konsekuensi dari hidup. Seperti saya harus cuci piring sehabis makan. Dan saya sama sekali tak menghiraukan apa yang akan terjadi setelah saya mati. “Lalu bagaimana dengan surga dan neraka?” jangan salah, saya masih percaya Tuhan. Ketika saya berbuat baik dan saat saya tidak melakukan hal-hal buruk itu bukan semata-mata karena saya mengharapkan pahala [surga] dan menghindari dosa [neraka]. Tapi itu juga karena kesadaran saya sebagai manusia yang mempunyai kemampuan untuk berfikir dan merasa. Saya rasa setiap orang mempunyai sisi ‘manusia’ dalam dirinya, dan saya pikir agama bukanlah satu-satunya yang mengajarkan itu. Jadi biarkan surga dan neraka itu menjadi hak prerogative Tuhan. Saya tak tertarik untuk melakukan intervensi-intervensi membabi buta. Lagi pula sangat tidak mudah untuk memanipulasi Tuhan. Dia bukan keponakan saya yang gampang dirayu dengan sebatang lollipop. Sayang sekali memang. Hehehe…

Tapi, sejujurnya saya lebih takut di tinggal mati dan lebih cemas  memikirkan perasaan orang yang akan saya tinggal mati. Dan saya sesungguhnya kadang tak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan mereka – bapak dan ibu saya salah satunya– daftar teratas dalam prosentase tabel kenangan saya. Seperti apa rasanya kehilangan sesuatu yang sudah terbiasa ada di saat kita sudah menjadi sebagian dari hidupnya. Apakah lebih menyakitkan daripada kehilangan sebuah buku kesayangan yang telah dibaca berpuluh-puluh kali. Memang engkau mungkin akan mendapatkannya lagi di toko buku, tapi di sana ada kenangan yang tidak bisa di beli di toko buku manapun. Di buku itu ada bekas coretan-coretanmu, ada bekas lipatan-lipatan penanda bacaanmu, ada bau khas dari buku itu yang selalu membuatmu nyaman, ada jejak tangis dan tawa yang kau tinggalkan disana dan entah ada berapa ribu sidik jarimu di buku itu. Saat kau melihat buku lain engkau akan selalu teringat pada buku yang hilang itu. Benarkah rasanya lebih menyakitkan dari itu? Ahh… Melukiskannya di kepala sepersekian detik saja sudah membuat saya sulit bernafas.

Dan bagaimana kalau saya yang lebih dulu pergi meninggalkan mereka? Sungguh saya takut membayangkan perasaan mereka. Mungkin itu seperti menggali kenangan di tanah tandus dengan menggunakan skop karatan. Akan membuat sakit sekujur tubuhmu dan membuat suhu badanmu tiba-tiba meninggi lalu engkau akan bermandikan keringat dingin. Sampai kapan kau akan bertahan dan terbiasa lalu sembuh dari rasa sakit tubuhmu itu? Itu  semua tergantung seberapa besar daya imunmu. Atau bahkan kau akan membawa rasa sakit itu seumur hidup. Pernah suatu kali saat saya sedang sakit, saya iseng bertanya pada ibu, “bagaimana kalau aku mati?” Lalu jawab ibu, ”kalau engkau mati ibu juga bisa mati,”. Entah itu serius atau tidak, yang jelas jawaban itu selalu menjadi senjata ampuh saya saat melawan suara-suara bertanduk di kepala.




Jadi… kapan saya dan mereka akan mati? Siapa yang meninggalkan siapa? Siapa yang ditinggalkan siapa? Hahaha. Untungnya Tuhan masih berbaik hati merahasiakannya. Sehingga saya masih bisa menikmati jus tomat ini tanpa harus takut tersedak. Satu tegukan terakhir dan [mungkin] besok besoknya lagi saya masih bisa menikmatinya lagi… :]  

Tidak ada komentar: