Kamis, 18 Juni 2009

SECANGKIR KOPI



Duduk di luar menikmati malam.
Ditemani secangkir hangat kopi.
Meneguk sedikit demi sedikit pekat nikmatnya.
Menelusuk dada.
Panas sedikit terasa.
Kemudian hangat merasuk seluruh tubuh.
Sendi-sendi serasa mati rasa.
Saraf-saraf menelikung fatamorgana.
Seluruh rasa luruh.
Terbang bersama angin malam.
Membangunkan segala kenangan yang telah terpendam.
Lapuk-lapuk masa lalu kembang kempis.
Mencari nafas yang telah kerontang.

Malam larut dalam diam.
Awan enggan menampakkan rupa.
Rembulan berkabung duka.
Bintang hanya satu dua.
Bayangan dedaunan melukis perih.
Suara erangan malam saling bersahutan.
Berlomba dengan paraunya sepi.

Aku hanya menepi di sini.
Tersudut sunyi.
Menikmati gurauan malam.
Menertawakan hal yang tak pantas disedihkan.
Kemudian………
Sibuk sendiri.
Mencari sesuatu di lubuk hati.
Adakah yang tertinggal di sana.
Apakah terkikis waktu senja kala.
Ataukah masih terendap lara.
Terbangun ketika fajar tiba.

Huufff……….
Tak terasa malam telah menuai rasa.
Kopi inipun sudah meninggalkan cangkirnya.
Tinggal hitam ampasnya.
Yang sudah tak mampu aku telan lagi.
Terasa sakit melewati tenggorokanku.
Sesakit rasa yang telah di undang pelangi malam.

Sudah cukup kunikmati malam ini.
Sudah penuh rasanya dadaku.
Di dekap lenguhan metafora prasangka.
Padahal tak ingin kurasa.
Sudahlah………
Selalu begitu.
Tak kuasa merubahnya.
Seperti deretan peristiwa.
Dalam lensa kabur tak berbentuk.
Cekung.
Cembung.
Datar.

Aku ingin selesai malam ini.
Akan kucari esok lagi.
Yang belum kudapat malam ini.
Ingin kulapangkan tidurku.
Bermimpi hal indah tak bertepi.
Sudah.
Cukup.
Selesai.
………………

Tidak ada komentar: