Senin, 04 Februari 2013

MULUT OH MULUT

 
Suatu hari di dalam bis antar kota terjadilah adegan seperti ini:
Seorang ibu usia awal empat puluhan yang sebelumnya duduk di deretan kursi depan pergi menuju barisan kursi paling belakang. Itu setelah ia menyadari keberadaan seorang kenalan yang sepertinya masih tetangga rumah. Si ibu kenalan ini usianya kira-kira sudah paruh baya tapi masih terlihat enerjik dan kelihatan sekali kalau dia adalah orang yang cukup disegani oleh ibu usia awal empat puluhan itu. Selanjutnya untuk menghemat penggunaan kata, kita sebut saja ibu awal empat puluhan sebagai ibu Bakung dan ibu paruh baya sebagai ibu Tulip.
Adegan berikutnya adalah setelah dalam baris kursi yang sama, si ibu Bakung tanpa melakukan pemanasan terlebih dulu langsung bermanuver mendominasi pembicaraan yang panjang lebar, entah apa isi pembicaraannya yang jelas si ibu Bakung ini sangat menikmati perannya. Dan kasihan buat ibu Tulip karena sepertinya ia adalah tipe ‘tak-banyak-bicara’ yang hanya bisa menimpali dengan anggukan kepala dan respon bahasa yang seperlunya saja. Si ibu Tulip sangat tersiksa dan bosan. Ini terlihat dari mimik mukanya yang menampakkan ekspresi datar dan cenderung dipaksakan, seakan wajah murungnya itu bicara; “Hei, tak bisakah kau diam barang sejenak. Aku sangat lelah mendengar ocehanmu. Lebih lelah dari melakukan perjalanan panjang yang baru kulalui…”
Haha, sayang sekali buat si ibu Tulip – sepertinya perjalanannya akan terasa lebih panjang, karena si ibu Bakung bukanlah tipe yang pandai membaca ekspresi, bukan pula tipikal yang pintar membaca situasi. Dan sepertinya lagi, sejak dari lahir dia ditakdirkan mewarisi tambahan tiga mulut yang tak kelihatan dan telinganya hanya sekedar aksesoris. Lihatlah gesturnya yang semakin condong saja ke arah ibu Tulip. Tak ubahnya harimau betina yang siap-siap memangsa korban buruannya. Huhu, kasihan sekali nasib ibu Tulip. 

Hoho, bukankah sangat menyebalkan ketika kita harus mengobrol dengan orang yang terlalu banyak bicara? Kamu akan merasa tersesat di neraka paling jahanam bila hal itu dibarengi dengan penyakit sok tahu yang akut – orang yang berambisi mendominasi obrolan, yang kosakata ‘mendengarkan’ sudah dia hapus menggunakan tipe-x tebal-tebal. Oh, dia merasa seluruh seluruh dunia akan mengarahkan pandangan kepadanya bila semua himpunan kata dalam kamus dia semburkan ke arah lawan bicaranya. Wahai Dewa Kata, ingin rasanya saya menendang pantat mereka hingga babak bundas atau menitipkan mereka pada awan kinton saja. Biar dijatuhkan tubuh mereka ke gedung parlemen sana, agar dapat lawan tanding yang sepadan. Ngoceh sana-sini demi kepuasan sendiri. Onani oral. 

Benar, omongan mereka kebanyakan memang kadang tak ada esensinya. Hanya sekedar basa-basi untuk membuat mulut membusa. Hingga membuat telinga lawan bicaranya berdenging-denging sampai kebelet kencing.
Kadang saya merasa heran dengan mereka, darimana bisa mendapatkan stok kata yang sebanyak itu. Yang tanpa perlu berfikir, mengalir lancar bagai pusaran angin tak berpenghalang menghancurkan apa-apa yang dilaluinya. Mereka benar-benar berbahaya! 

Iya. Kata mereka saya pendiam. Itu karena saya [kadang] mengalami kondisi: lemah-mengkomunikasikan-sesuatu-secara-verbal [ini pada kondisi, orang dan lingkungan tertentu]. Saya akui, saya adalah jenis manusia yang canggung dan kikuk. Bahkan menghibur nenek yang baru kehilangan mbah kakung saja, saya kesulitan menemukan kata-kata yang tepat untuk menghibur agar beliau menghentikan isak tangisnya. Saya hanya bisa melakukan dengan bahasa tubuh: memeluk, mengelus tangan dan rambut, mencium kening serta mengelus punggung. Benar, saya sangat bermasalah dengan mengkomunikasikan perasaan.
Saya pasif dengan omongan yang terlalu terpusat pada diri sendiri. Juga, tidak terlalu semangat membicarakan urusan orang lain. Karena kamu tahu? Hal itu akan membuatmu kelihatan seperti komentator bola penderita obsesif-kompulsif, alih-alih terdengar sebagai lawan bicara yang asyik. 

Ketika saya menghadapi orang-orang yang terlalu banyak cakap seperti itu, yang bisa saya lakukan hanyalah: mengangguk-anggukkan kepala, sesekali menggeleng, mengeluarkan suara oh, ya, he’em, benarkah? dan lain sebagainya dan lain seterusnya, yang pastinya saya lakukan dengan setengah hati. Bisa dibilang saya adalah pendengar yang lumayan baik. Tapi kalau disuruh mendengarkan omongan yang sudah mulai terdengar seperti narasi berita gosip ala infotainment, ya saya capek juga.
Pernah saya mencoba memberi tanda-tanda terselubung pada orang-orang jenis ini, seperti: menguap, mengetuk-ngetukkan jemari tangan, meregangkan tangan seperti orang habis bangun tidur, melulu mengalihkan pandangan darinya. Tapi, kalau dasarnya tidak peka ya percuma. Dan malangnya, saya adalah tipe sungkanan. Jadi, sambil merutuk dalam hati ya saya biarkan saja. Namun dalam hati tak berhenti berdoa: ‘Semoga ada komet baik hati yang menabrakkan diri ke bumi!’ 

Duh, saya lupa, sebenarnya saya punya jurus yang ampuh untuk menghadapi mereka, yakni ketika mereka sibuk bercuap-cuap saya pun tak mau kalah sibuk membangun dunia sendiri di kepala. Wah, saya lumayanlah kalau sudah menyangkut masalah-masalah kayak gini. Multitasking sambil nungging kalau istilah saya, haha…
Hei kamu, jangan bongkar rahasia saya ya? Biar akting saya semakin terasah meyakinkan. Ya daripada mendengarkan mereka berbuih-buih, kasihan dong telinga dan batang otak saya. 

Kalau mereka mau mengerti, sebenarnya dengan banyak bicara seperti itu tak serta merta membuat mereka tampak pintar dan cool. Malah mereka kelihatan insecure dan tidak percaya diri. Untuk menutupinya mereka bermain akrobat kata-kata. Kamu tahu? Orang yang cerdas biasanya tak terlalu mengobral omongan yang meluber kemana-mana. Mereka cerdas memilih saat dan isi omongan yang pas dengan kondisi lawan bicaranya. Tak menggurui dan merasa tahu sendiri, dan juga mereka adalah pendengar yang baik. Dari luar mereka akan tampak biasa saja, karena mereka tak ambisius dalam mempertontonkan kepintaran sendiri. Pun kalau kamu tidak berhati-hati dengan mereka, kamu – para lisaner – akan tampak bodoh secara diam-diam di mata mereka. Mereka tak akan menertawakanmu secara frontal, mereka hanya akan menandaimu.







Ps: Sadar gak sih? Sebenarnya saya juga sangat cerewet lho, namun dalam konteks non verbal. Tuh lihat, banyak  tulisan saya yang berbusa-busa di blog ini. Hehehe...


Tidak ada komentar: