Minggu, 10 Februari 2013

MONSTER



Sekelompok monster hijau menginvasi kota. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja jalan-jalan kota sudah menghijau. Malam bukan lagi abu-abu, yang ada hanya hijau, hijau dan hijau. Oh, tidak! mereka semakin mendekat. Sosok mereka semakin membesar di pupilku. Warna hijau itu semakin menyilaukan. Aku takut. Ibu, engkau dimana…
Eh, tapi tunggu dulu! sepertinya ada yang aneh, wajah mereka tidak seseram seperti apa yang digambarkan televisi-televisi. Terlalu lucu untuk di sebut monster. Sekujur tubuh mereka ditumbuhi bulu lebat yang halus dan berkilau sekali. Apakah monster juga pergi ke salon? Dan mata mereka yang bulat juga sungguh menggemaskan. Mereka tampak seperti boneka raksasa. Apakah mereka benar-benar monster? Tidak salah lagi! mereka benar-benar monster. Hampir saja lagi-lagi aku tertipu penampilan. Ternyata mereka bersenjata. Mereka membawa selang-selang besar yang menyemburkan es berton-ton liter banyaknya. Sekarang gedung-gedung menjulang tinggi sudah tak tampak lagi, semua berubah bentuk menjadi gunung-gunung es. Kota ini tak ubahnya antartika. Dingin sekali. Brrr… sungguh tak tertahankan lagi. Dimana jaket tebal kesayanganku! Di mana Ibuku! Dimana orang-orang! Kenapa hanya ada aku di lautan es ini! Dimana semuanyaaaaaaa!!!
Monster-monster itu semakin mendekat. Derap langkah mereka semakin jelas, semakin seirama dengan detak debar jantungku. Deg-deg-deg… Aku ingin berteriak tapi lidahku kelu. Bagaimana ini? Tolong aku, Tuhan….

“Nak, ayo bangun sayang,” lamat-lamat kudengar suara lembut yang begitu familiar di telingaku. Juga usapan lembut di punggungku ini, sepertinya aku sangat mengenalinya.

“Ayo bangun, sayang. Sudah siang,” suara itu semakin jelas. Aku ingat! itu suara Ibuku dan tangan itu juga adalah tangan Ibuku. Otakku sudah bangun sedari tadi, tapi mataku bukanlah mata anak kecil yang melotot antusias dan berbinar cemerlang dengan permen lollipop ditangan kanannya. Monster-monster itu sepertinya belum rela melepaskanku.

“Ayo nak bangun, buka matamu. Matahari sudah hampir di atas kepala!” gawat!  intonasi suara Ibu mulai meninggi.

Cepat buka matamu bodoh! umpatku dalam hati. Monster-monster itu masih duduk di kelopak mataku. Aku sekuat tenaga melawan mereka. Sepertinya perlawananku berhasil, warna mereka mulai memudar. Bukan lagi hijau menyala, kini sudah bercampur dengan warna putih yang mulai mendominasi. Samar-samar aku melihat seraut wajah yang berbelas tahun sudah melekat erat di kepalaku. Wajah dengan senyuman yang cantik dan begitu hangat.

“Ibu…” gumamku berlahan. Kesadaranku sudah kembali ke dunia nyata. Bergegas kupaksakan tubuhku bangun, lantas kupeluk Ibuku erat-erat.

“Ibu, aku takut,” bisikku lirih.

“Ada apa sayang, kamu mimpi buruk lagi?” ujar Ibuku sambil melonggarkan sedikit pelukanku, lantas di usapnya keringat yang membasahi keningku.

“Iya. Seperti biasanya, Ibu.”

“Inilah akibatnya kalau terlalu banyak bergadang. Memang sudah saatnya televisi itu dijual.” Sepertinya ceramah pagi sudah dimulai, meski begitu suara ibu masih tetap merdu di telingaku.

“Hmm… iya,” aku menjawab dengan  gumaman.

“Cepat mandi sana. Siang ini kamu ada kuliah, bukan?” suruh Ibuku dengan tangannya yang masih sibuk membelai rambutku.

Aku hanya mengangguk. Setelah hening sejenak diantara kami berdua, aku lantas beranjak ke kamar mandi. Pagi ini aku mandi dengan monster-monster hijau yang bertengger di kepalaku. Suara air beradu dengan suara mereka yang bercericit seperti  tikus. Berisik sekali!

* * * 

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya kekasihku saat kami duduk berdua di kantin kampus.
 
“Aku baik-baik saja, sayang,” jawabku sambil tersenyum.

“Tidak, kamu tidak baik-baik saja. Sedari tadi aku perhatikan kamu banyak melamun.’’ Aku hanya diam saja, sibuk dengan suara-suara di kepalaku.

“Apakah mimpi buruk itu lagi?” tanyanya lagi, kali ini tangannya sembari menggenggam tanganku. Lagi-lagi aku diam. Karena menurutnya diam itu berarti iya, jadi aku diam saja.

“Sekarang monster apa lagi yang mampir di mimpimu?” kekasihku sudah mulai seperti kran bocor saja, meluap kemana-mana.

“Kali ini aku bermimpi tentang monster hijau. Semalam mereka menginvasi kota, membuat seluruh kota berselimut es. Anehnya di sana tidak ada siapa-siapa, hanya aku.  Tapi sayangnya monster di mimpiku itu sangat lucu, hingga awalnya membuatku sulit memilah antara takut atau gemas. Meski pada akhirnya aku harus takut. Karena monster itu seharusnya menakutkan bukan? televisi dan film mengajarkaan itu,” jelasku panjang lebar. Sepertinya tampungan air di kepalaku sudah mulai tumpah, membanjiri seluruh isi kantin. Tapi kenapa hanya aku yang basah?

“Hahaha. Mimpi-mimpimu selalu aneh ya, persis seperti orangnya.” Inilah yang kusuka dari kekasihku, ia tak pernah menganggapku sinting. Aku lebih suka dibilang aneh daripada gila, karena itu mengingatkanku pada sesuatu.

“Ya begitulah, aku juga heran kenapa mimpiku akhir-akhir ini selalu aneh dan cenderung absurd. Apakah aku perlu ke psikolog?” candaku sambil mengerlingkan mata kearahnya.

“Apakah mimpi-mimpimu itu sudah mulai mengganggumu? Kalau iya, kurasa tidak salah untuk dicoba, sayang,” ujarnya serius sambil mengelus rambutku.

“Ah, aku hanya bercanda kok. Toh ini hanya sekedar mimpi, tak akan berpengaruh pada kejiwaanku. Kata orang-orang mimpi itu bunga tidur, penghias mimpi. Yang namanya hiasan kadang tak berarti apa-apa kan?”

“Tapi, kalau kamu terus-terusan bermimpi seperti itu, cepat atau lambat hal itu akan meresahkan juga bukan?” dari sorot matanya aku melihat kekhawatiran yang entah berapa lama ia pendam sendiri.

“Tenang sayangku, kamu tidak usah khawatir. Cepat atau lambat monster-monster itu akan lenyap dari mimpi-mimpiku. Karena tak ada monster yang betah tinggal di satu tempat untuk  jangka waktu yang lama. Mereka adalah monster-monster petualang. Ketika telah bosan tinggal di kepalaku, mereka akan mencari kepala-kepala lain yang lebih menantang. Bukankah aku ini perempuan yang sangat membosankan? Hehehe.” 

“Siapa bilang! buktinya aku betah berlama-lama berada di dekatmu.” Kamu sangat gombal sayang, sahutku lekas sambil tersipu malu. Engkau semakin kuat meremas tanganku, semakin membuatku tak bisa berujar apa-apa. 

“Sudah sore, ayo kita pulang. Ibumu pasti sudah resah menunggumu,” engkau memecahkan keheningan sesaat lalu. Seraya menggenggam tanganku, kita beranjak dari tempat ini.

Sambil berjalan menuju pulang engkau membisikkan sesuatu di telingaku, “tahukah kamu, kadang aku sangat cemburu dengan monster-monster yang ada mimpimu itu. Kenapa harus mereka yang ada disana bukannya aku?” Lagi-lagi aku hanya bisa tertunduk diam, rasanya pipiku sudah sepanas jalan aspal yang kami lalui ini. Dan saat kudongakkan kepala, tiba-tiba segalanya tampak begitu hijau. Rasa sejuk yang riang. Sepertinya monster-monster itu sedang berbaik hati sore ini.

* * *

Sudah larut malam. Seperti biasanya sebelum tidur aku sempatkan untuk duduk di depan tivi. Tanganku sibuk memencet-mencet tombol remote, memilah milih saluran yang cocok. Untung Ibuku sudah tidur dari tadi, kalau tidak beliau pasti sudah menghardik kelakuanku ini. Aah… tidak ada film yang bagus. Akhirnya memilih menyimak berita malam saja, lebih baik dari pada nonton sinetron pikirku. Berita apa yang sedang nge-tren saat ini? Sepertinya masih tentang bola itu bundar, banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Sehingga mungkin-mungkin saja kalau bola bisa ngomong politik. Dan mungkin-mungkin pula kalau sebuah bola bisa direkayasa demi sebuah kenyamanan kekuasaan. Rasa malu pun bisa digadaikan. Lalu di berita yang lain aku melihat sekelompok orang yang berdemontrasi sambil membawa keranda mayat di atas kepalanya. Keranda yang mereka siapkan untuk dirinya sendiri. Bah! berita-berita ini semakin membuat kantukku tak tertahankan lagi. Kutekan tombol off . Lantas kuseret paksa tubuhku ke kamar. Semoga tak ada lagi monster  malam ini…
 
* * *

Dari  tempat ini  terdengan riuh rendah suara-suara yang memekakkan telinga. Ternyata para monster sedang berpesta pora. Monster-monster itu berkepala bundar  menyerupai bola. Kaki mereka hanya ada satu dengan ukuran yang sangat besar sekali. Entah berapa ukuran sepatu yang sedang mereka pakai saat ini. Mencari di toko sepatu manapun rasanya tak bakalan ketemu. Sekarang mereka sibuk menendang-nendang sesuatu. Dari mulut mereka terdengar lengkingan tawa yang meninggalkan gema di belakang kepalaku. Tapi disela-sela tawa mereka rasa-rasanya aku seperti mendengar suara tangis yang memilukan. Membuat bulu kudukku merinding. Apakah itu? Kuberanikan diri untuk mendekati kerumunan itu. Aku menyusup diantara sela-sela kaki mereka. Hiiih… Aku melihat sebuah kepala manusia menggelinding kesana kemari. Berdarah darah dengan mata yang hampir lepas dan bentuk muka yang sudah tak karuan lagi. Milik siapakah kepala itu, apakah aku pernah melihatnya sebelumnya? Kalau iya, dimana? Karena sepertinya aku kenal sekali raut wajah itu. Namun tiba-tiba sebelum insaf benar dengan segala tanya yang bertubi-tubi itu, tanpa aku sadari suara-suara di belakang punggungku mulai lindap dan menghilang. Kemana perginya monster-monster itu? apakah mereka sudah tak tertarik lagi padaku? Entahlah… samar-samar monster-monster itu berubah bentuk menjadi ayam jago.

* * *

“Rasanya aku tahu apa yang membuat monster-monster itu mampir di mimpiku,” kataku suatu siang kepada kekasihku.

“Apa itu?”

“Aku pikir televisi di ruang tamukulah penyebabnya. Semalam aku bermimpi monster berkepala bola yang mempunyai satu kaki sedang menyepak nyepak seonggok kepala manusia. Dan kamu tahu kepala siapa itu? ternyata itu kepala orang yang beritanya aku lihat di siaran berita tv semalam. Setelah kupikir-pikir monster-monster yang datang hampir setiap malam di mimpiku itu adalah hasil dari apa yang ku lihat di televisi. Aku membawa sisa-sisa gambar yang aku tonton di televisi ke atas kasur. Dan otakku mengolahnya dengan sebegitu kreatifnya, hingga terciptalah monster-monster itu,” antusias sekali aku menjelaskannya kepada kekasihku. Mungkin mataku berbinar-binar seperti kucing saat ini.

“Aku berencana menjual televisi itu,” tambahku.

“Kamu yakin? bagaimana dengan Ibumu?” ujar kekasihku.

“Ibuku lebih suka membaca buku daripada nonton tivi.”

“Baiklah kalau begitu, lakukan apa yang kamu rasa terbaik untukmu.”

“Terimakasih, sayang.” Kutatap matanya, dan di sana masih sama seperti saat pertama kali aku jatuh cinta pada lelaki ini.

* * *

“Nak, ayo tidur sayang. Sudah larut malam, matikan tivi-nya.”

“Aku ingin menunggu Bapak dulu, Ibu. Aku tidak bisa tidur kalau kita tidak nonton tivi bareng-bareng dulu. Seperti biasanya, Ibu…” Anak itu merajuk sementara matanya terus memelototi tayangan televisi yang ada di depannya. Tubuhnya semakin condong saja ke depan dengan jarak yang sudah tidak ideal lagi untuk sebuah kenyamanan menonton tivi.

“Bapakmu tak akan pulang, sayang.” Kali ini nada suara sang Ibu setengah berbisik, sepertinya ia takut orang-orang yang ada di tivi itu akan mendengarnya. 

Tapi bocah perempuan itu tak peduli, ia terus menunggu bapaknya di depan televisi. Tapi matanya tidak tertuju pada kotak bergambar dan bersuara itu. Sebenarnya ia sedang melihat sesuatu di dalam kepalanya. Sepertinya ada sebuah film yang sedang di putar di sana. Tapi dia tidak suka film itu, karena gambarnya tidak warna-warni seperti gambar di film yang biasa dia tonton di televisi. Tapi, dia berusaha mengikuti lakonnya. Ada potret keluaga bahagia disana: Bapak, Ibu dan seorang bocah perempuan. Mereka menghabiskan setiap malam di depan televisi. Mengobrolkan dan mendiskusikan apa saja di depan televisi. Televisi adalah malam-malam mereka. Meskipun sedang mati lampu mereka tetap ada di depan televisi. Hingga masa-masa sulit itu datang. Di mana si Bapak sudah mulai berubah, emosinya sudah tak setenang dulu lagi. Dia sudah tidak betah lagi menghabiskan sisa-sisa malam di depan televisi, dia lebih suka melakukannya di luar rumah. Suara dan perlakuannya pun tidak lagi selembut dulu. Tapi ada satu hal yang tidak berubah dari dirinya, dia masih melakukan segala sesuatu di depan televisi. Dia menampar dan memaki istrinya di depan televisi, di depan anak perempuannya yang sedang menonton tv. Anak itu menangis diam-diam di depan televisi, dan televisilah yang setia mengusap air matanya. Ia melihat banyak monster di televisi, tapi para monster itu tak sekejam Bapaknya. Sejak saat itu ia berteman dengan monster-monster. Sedangkan si Ibu begitu membenci televisi, sebisa mungkin dia tidak ingin berada di dekat kotak persegi itu. Hal itu mengingatkannya pada lelaki yang dulu begitu dibencinya, Bahkan ia tidak peduli  ketika suaminya meninggal di depan televisi. Dan pikir si anak, “para monster tidak suka bila ada yang lebih gila darinya, jadi mereka membunuh Bapak... “

* * *

Sekarang ada lelaki tua yang tinggal di kepalaku. Aku tak tahan dengan ocehannya! Hiiih… mulutnya lebih berlendir dari para monster hijau, membuatku sibuk dengan segala cara demi mengalihkan pandangan darinya. Dan ini benar-benar membuatku lelah dan kesal!

“Sayang, sepertinya aku akan membeli televisi itu lagi. Aku rindu monster-monsterku,” segera kututup telepon tanpa bersabar beberapa detik menunggu jawaban dari kekasihku.


Tidak ada komentar: