Sekelompok monster hijau menginvasi kota. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja jalan-jalan kota sudah menghijau. Malam bukan lagi abu-abu, yang ada hanya hijau, hijau dan hijau. Oh, tidak! mereka semakin mendekat. Sosok mereka semakin membesar di pupilku. Warna hijau itu semakin menyilaukan. Aku takut. Ibu, engkau dimana…
Eh, tapi tunggu dulu! sepertinya ada yang aneh, wajah mereka tidak seseram seperti apa yang
digambarkan televisi-televisi. Terlalu lucu untuk di sebut monster. Sekujur
tubuh mereka ditumbuhi bulu lebat yang halus dan berkilau sekali. Apakah
monster juga pergi ke salon? Dan mata mereka yang bulat juga sungguh
menggemaskan. Mereka tampak seperti boneka raksasa. Apakah mereka benar-benar
monster? Tidak salah lagi! mereka benar-benar monster. Hampir saja lagi-lagi
aku tertipu penampilan. Ternyata mereka bersenjata. Mereka membawa selang-selang
besar yang menyemburkan es berton-ton liter banyaknya. Sekarang gedung-gedung
menjulang tinggi sudah tak tampak lagi, semua berubah bentuk menjadi
gunung-gunung es. Kota ini tak ubahnya antartika. Dingin sekali. Brrr… sungguh tak tertahankan lagi.
Dimana jaket tebal kesayanganku! Di mana Ibuku! Dimana orang-orang! Kenapa
hanya ada aku di lautan es ini! Dimana semuanyaaaaaaa!!!
Monster-monster
itu semakin mendekat. Derap langkah mereka semakin jelas, semakin seirama
dengan detak debar jantungku. Deg-deg-deg… Aku ingin berteriak tapi
lidahku kelu. Bagaimana ini? Tolong aku, Tuhan….
“Nak,
ayo bangun sayang,” lamat-lamat kudengar suara lembut yang begitu familiar di
telingaku. Juga usapan lembut di punggungku ini, sepertinya aku sangat
mengenalinya.
“Ayo
bangun, sayang. Sudah siang,” suara itu semakin jelas. Aku ingat! itu suara Ibuku
dan tangan itu juga adalah tangan Ibuku. Otakku sudah bangun sedari tadi, tapi
mataku bukanlah mata anak kecil yang melotot antusias dan berbinar
cemerlang dengan permen
lollipop ditangan kanannya. Monster-monster
itu sepertinya belum rela melepaskanku.
“Ayo
nak bangun, buka matamu. Matahari sudah hampir di atas kepala!” gawat! intonasi
suara Ibu mulai meninggi.
Cepat buka matamu bodoh! umpatku
dalam hati. Monster-monster itu masih duduk di kelopak mataku. Aku sekuat
tenaga melawan mereka. Sepertinya perlawananku berhasil, warna mereka mulai
memudar. Bukan lagi hijau menyala, kini sudah bercampur dengan warna putih yang
mulai mendominasi. Samar-samar aku melihat seraut wajah yang berbelas tahun
sudah melekat erat di kepalaku. Wajah dengan senyuman yang cantik dan
begitu hangat.
“Ibu…”
gumamku berlahan. Kesadaranku sudah kembali ke dunia nyata. Bergegas kupaksakan
tubuhku bangun, lantas kupeluk Ibuku erat-erat.
“Ibu,
aku takut,” bisikku lirih.
“Ada
apa sayang, kamu mimpi buruk lagi?” ujar Ibuku sambil melonggarkan sedikit
pelukanku, lantas di usapnya keringat yang membasahi keningku.
“Iya.
Seperti biasanya, Ibu.”
“Inilah
akibatnya kalau terlalu banyak bergadang. Memang sudah saatnya televisi itu
dijual.” Sepertinya ceramah pagi sudah dimulai, meski begitu suara ibu masih
tetap merdu di telingaku.
“Hmm…
iya,” aku menjawab dengan gumaman.
“Cepat
mandi sana. Siang ini kamu ada kuliah, bukan?” suruh Ibuku dengan tangannya
yang masih sibuk membelai rambutku.
Aku
hanya mengangguk. Setelah hening sejenak diantara kami berdua, aku lantas
beranjak ke kamar mandi. Pagi ini aku mandi dengan monster-monster hijau yang
bertengger di kepalaku. Suara air beradu dengan suara mereka yang bercericit
seperti tikus. Berisik sekali!
* * *
“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya kekasihku saat kami duduk
berdua di kantin kampus.
“Aku baik-baik saja, sayang,” jawabku sambil tersenyum.
“Tidak, kamu tidak baik-baik saja. Sedari tadi aku perhatikan kamu
banyak melamun.’’ Aku hanya diam saja, sibuk dengan suara-suara di kepalaku.
“Apakah mimpi buruk itu lagi?” tanyanya lagi, kali ini tangannya sembari
menggenggam tanganku. Lagi-lagi aku diam. Karena menurutnya diam itu berarti iya,
jadi aku diam saja.
“Sekarang monster apa lagi yang mampir di mimpimu?” kekasihku
sudah mulai seperti kran bocor saja, meluap kemana-mana.
“Kali ini aku bermimpi tentang monster hijau. Semalam mereka
menginvasi kota, membuat seluruh kota berselimut es. Anehnya di sana tidak ada
siapa-siapa, hanya aku. Tapi sayangnya
monster di mimpiku itu sangat lucu, hingga awalnya membuatku sulit memilah
antara takut atau gemas. Meski pada akhirnya aku harus takut. Karena monster
itu seharusnya menakutkan bukan? televisi dan film mengajarkaan itu,” jelasku
panjang lebar. Sepertinya tampungan air di kepalaku sudah mulai tumpah,
membanjiri seluruh isi kantin. Tapi kenapa hanya aku yang basah?
“Hahaha. Mimpi-mimpimu selalu aneh ya, persis seperti orangnya.”
Inilah yang kusuka dari kekasihku, ia tak pernah menganggapku sinting. Aku
lebih suka dibilang aneh daripada gila, karena itu mengingatkanku pada sesuatu.
“Ya begitulah, aku juga heran kenapa mimpiku akhir-akhir ini
selalu aneh dan cenderung absurd. Apakah aku perlu ke psikolog?” candaku sambil
mengerlingkan mata kearahnya.
“Apakah mimpi-mimpimu itu sudah mulai mengganggumu? Kalau iya,
kurasa tidak salah untuk dicoba, sayang,” ujarnya serius sambil mengelus
rambutku.
“Ah, aku hanya bercanda kok. Toh ini hanya sekedar mimpi, tak akan
berpengaruh pada kejiwaanku. Kata orang-orang mimpi itu bunga tidur, penghias
mimpi. Yang namanya hiasan kadang tak berarti apa-apa kan?”
“Tapi, kalau kamu terus-terusan bermimpi seperti itu, cepat atau
lambat hal itu akan meresahkan juga bukan?” dari sorot matanya aku melihat kekhawatiran
yang entah berapa lama ia pendam sendiri.
“Tenang sayangku, kamu tidak usah khawatir. Cepat atau
lambat monster-monster itu akan lenyap dari mimpi-mimpiku. Karena tak ada
monster yang betah tinggal di satu tempat untuk
jangka waktu yang lama. Mereka adalah monster-monster petualang. Ketika
telah bosan tinggal di kepalaku, mereka akan mencari kepala-kepala lain yang
lebih menantang. Bukankah aku ini perempuan yang sangat membosankan? Hehehe.”
“Siapa bilang! buktinya aku betah berlama-lama berada di dekatmu.”
Kamu sangat gombal sayang, sahutku
lekas sambil tersipu malu. Engkau semakin kuat meremas tanganku, semakin
membuatku tak bisa berujar apa-apa.
“Sudah sore, ayo kita pulang. Ibumu pasti sudah resah menunggumu,”
engkau memecahkan keheningan sesaat lalu. Seraya menggenggam tanganku, kita
beranjak dari tempat ini.
Sambil berjalan menuju pulang engkau membisikkan
sesuatu di telingaku, “tahukah kamu, kadang aku sangat cemburu dengan monster-monster
yang ada mimpimu itu. Kenapa harus mereka yang ada disana bukannya aku?” Lagi-lagi
aku hanya bisa tertunduk diam, rasanya pipiku sudah sepanas jalan aspal yang
kami lalui ini. Dan saat kudongakkan kepala, tiba-tiba segalanya tampak begitu
hijau. Rasa sejuk yang riang. Sepertinya monster-monster itu sedang berbaik
hati sore ini.
* * *
Sudah larut malam. Seperti biasanya sebelum tidur aku sempatkan
untuk duduk di depan tivi. Tanganku sibuk memencet-mencet tombol remote, memilah milih
saluran yang cocok. Untung Ibuku sudah tidur dari tadi, kalau tidak beliau
pasti sudah menghardik kelakuanku ini. Aah…
tidak ada film yang bagus. Akhirnya memilih menyimak berita malam saja, lebih
baik dari pada nonton sinetron pikirku. Berita apa yang sedang nge-tren saat ini?
Sepertinya masih tentang bola itu bundar, banyak kemungkinan yang bisa terjadi.
Sehingga mungkin-mungkin saja kalau bola bisa ngomong politik. Dan
mungkin-mungkin pula kalau sebuah bola bisa direkayasa demi sebuah
kenyamanan kekuasaan. Rasa malu pun bisa digadaikan. Lalu di berita yang lain aku
melihat sekelompok orang yang berdemontrasi sambil membawa keranda mayat di
atas kepalanya. Keranda yang mereka siapkan untuk dirinya sendiri. Bah! berita-berita ini semakin membuat
kantukku tak tertahankan lagi. Kutekan tombol off . Lantas kuseret paksa tubuhku ke kamar. Semoga tak ada lagi
monster malam ini…
* * *
Dari tempat ini terdengan riuh rendah suara-suara yang
memekakkan telinga. Ternyata para monster sedang berpesta pora. Monster-monster
itu berkepala bundar menyerupai bola.
Kaki mereka hanya ada satu dengan ukuran yang sangat besar sekali. Entah berapa
ukuran sepatu yang sedang mereka pakai saat ini. Mencari di toko sepatu manapun
rasanya tak bakalan ketemu. Sekarang mereka sibuk menendang-nendang sesuatu. Dari
mulut mereka terdengar lengkingan tawa yang meninggalkan gema di belakang
kepalaku. Tapi disela-sela tawa mereka rasa-rasanya aku seperti mendengar suara
tangis yang memilukan. Membuat bulu kudukku merinding. Apakah itu? Kuberanikan
diri untuk mendekati kerumunan itu. Aku menyusup diantara sela-sela kaki
mereka. Hiiih… Aku melihat sebuah
kepala manusia menggelinding kesana kemari. Berdarah darah dengan mata yang
hampir lepas dan bentuk muka yang sudah tak karuan lagi. Milik siapakah
kepala itu, apakah aku pernah melihatnya sebelumnya? Kalau iya, dimana? Karena
sepertinya aku kenal sekali raut wajah itu. Namun tiba-tiba sebelum insaf benar
dengan segala tanya yang bertubi-tubi itu, tanpa aku sadari suara-suara di
belakang punggungku mulai lindap dan menghilang. Kemana perginya monster-monster
itu? apakah mereka sudah tak tertarik lagi padaku? Entahlah… samar-samar monster-monster itu berubah bentuk menjadi ayam jago.
* * *
“Rasanya aku tahu apa yang membuat monster-monster itu mampir di
mimpiku,” kataku suatu siang kepada kekasihku.
“Apa itu?”
“Aku pikir televisi di ruang tamukulah penyebabnya. Semalam aku bermimpi
monster berkepala bola yang mempunyai satu kaki sedang menyepak nyepak seonggok
kepala manusia. Dan kamu tahu kepala siapa itu? ternyata itu kepala orang yang
beritanya aku lihat di siaran berita tv semalam. Setelah kupikir-pikir
monster-monster yang datang hampir setiap malam di mimpiku itu adalah hasil
dari apa yang ku lihat di televisi. Aku membawa sisa-sisa gambar yang aku
tonton di televisi ke atas kasur. Dan otakku mengolahnya dengan sebegitu
kreatifnya, hingga terciptalah monster-monster itu,” antusias sekali aku
menjelaskannya kepada kekasihku. Mungkin mataku berbinar-binar seperti kucing
saat ini.
“Aku berencana menjual
televisi itu,” tambahku.
“Kamu yakin? bagaimana dengan Ibumu?” ujar kekasihku.
“Ibuku lebih suka membaca buku daripada nonton tivi.”
“Baiklah kalau begitu, lakukan apa yang kamu rasa terbaik untukmu.”
“Terimakasih, sayang.” Kutatap matanya, dan di sana masih sama seperti
saat pertama kali aku jatuh cinta pada lelaki ini.
* * *
“Nak, ayo tidur sayang. Sudah larut malam, matikan tivi-nya.”
“Aku ingin menunggu Bapak dulu, Ibu. Aku tidak bisa tidur kalau
kita tidak nonton tivi bareng-bareng dulu. Seperti biasanya, Ibu…” Anak itu
merajuk sementara matanya terus memelototi tayangan televisi yang ada di
depannya. Tubuhnya semakin condong saja ke depan dengan jarak yang sudah tidak
ideal lagi untuk sebuah kenyamanan menonton tivi.
“Bapakmu tak akan pulang, sayang.” Kali ini nada suara sang Ibu
setengah berbisik, sepertinya ia takut orang-orang yang ada di tivi itu akan
mendengarnya.
Tapi bocah perempuan itu tak peduli, ia terus menunggu bapaknya di
depan televisi. Tapi matanya tidak tertuju pada kotak
bergambar dan bersuara itu. Sebenarnya ia sedang melihat sesuatu di dalam
kepalanya. Sepertinya ada sebuah film yang sedang di putar di sana. Tapi dia
tidak suka film itu, karena gambarnya tidak warna-warni seperti gambar di film
yang biasa dia tonton di televisi. Tapi, dia berusaha mengikuti lakonnya. Ada potret
keluaga bahagia disana: Bapak, Ibu dan seorang bocah perempuan. Mereka
menghabiskan setiap malam di depan televisi. Mengobrolkan dan mendiskusikan apa
saja di depan televisi. Televisi adalah malam-malam mereka. Meskipun sedang
mati lampu mereka tetap ada di depan televisi. Hingga masa-masa sulit itu
datang. Di mana si Bapak sudah mulai berubah, emosinya sudah tak setenang dulu
lagi. Dia sudah tidak betah lagi menghabiskan sisa-sisa malam di depan
televisi, dia lebih suka melakukannya di luar rumah. Suara dan perlakuannya pun
tidak lagi selembut dulu. Tapi ada satu hal yang tidak berubah dari dirinya,
dia masih melakukan segala sesuatu di depan televisi. Dia menampar dan memaki
istrinya di depan televisi, di depan anak perempuannya yang sedang menonton tv.
Anak itu menangis diam-diam di depan televisi, dan televisilah yang setia
mengusap air matanya. Ia melihat banyak monster di televisi, tapi para monster
itu tak sekejam Bapaknya. Sejak saat itu ia berteman dengan monster-monster. Sedangkan
si Ibu begitu membenci televisi, sebisa mungkin dia tidak ingin berada di dekat kotak persegi itu. Hal itu mengingatkannya pada lelaki yang dulu begitu dibencinya,
Bahkan ia tidak peduli ketika suaminya
meninggal di depan televisi. Dan pikir si anak, “para monster tidak suka bila ada yang lebih gila darinya,
jadi mereka membunuh Bapak... “
* * *
Sekarang ada lelaki tua yang tinggal di kepalaku. Aku tak tahan
dengan ocehannya! Hiiih… mulutnya
lebih berlendir dari para monster hijau, membuatku sibuk dengan segala cara
demi mengalihkan pandangan darinya. Dan ini benar-benar membuatku lelah dan
kesal!
“Sayang, sepertinya aku akan membeli televisi itu lagi. Aku rindu
monster-monsterku,” segera kututup telepon tanpa bersabar beberapa detik menunggu
jawaban dari kekasihku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar