“Wah, suka
nulis puisi nih. Pasti kamu anaknya romantis abis.”
“Halah, orang yang suka nulis puisi itu biasanya cengeng alias suka mewek. Melankolis dan perasa. Benar begitu, bukan?”
“Eh, kamu kan jago tuh nulis puisinya, buatin dong. Ini buat pacar aku.”
“Halah, orang yang suka nulis puisi itu biasanya cengeng alias suka mewek. Melankolis dan perasa. Benar begitu, bukan?”
“Eh, kamu kan jago tuh nulis puisinya, buatin dong. Ini buat pacar aku.”
Huah, paling malas kalau mendengar komentar-komentar yang seperti barusan itu. Padahal-kan saya nggak sepenuhnya begitu. Dan saya tidak suka statement seperti itu, karena saya benci-terlihat-rapuh!
Baiklah, apa saya jago nulis puisi? Apakah saya
puisi freak? Apakah saya melankolis
yang suka termehek-mehek?
Memang pas zaman-zaman SMA dulu, waktu awal-awal
mulai suka nulis, genre pertama yang saya lakoni adalah menulis puisi. Entah
mengapa bisa begitu, apakah karena saya masih kesulitan kalau harus
berpanjang-panjang kata dalam kalimat yang runut? Atau karena saya suka bermain
kata dalam metafora yang kemudian bermuara pada diksi dan rima, yang membuat
senang lidah saya saat mengucapkannya? Entahlah, pada waktu itu yang saya pikir:
saya-hanya-kepingin-nulis-saja. Puisi yang saya tulis pun bukan model-model romantis,
melankolis macam puisi percintaan, putus cinta, kangen-kengenan dan berbagai
macam bentuk merah hati lainnya.
Dan hei, anda! Apakah puisi itu melulu tentang: ‘Di malam yang dingin ini, blablabla – bersama
angin yang mendayu syahdu kutitipkan salam cintaku padamu,syalalala – engkau
bagaikan purnama yang tak pernah bosan dipandang mata,blablabla syalalala’.
Oh bukan yang seperti itu, saudara. Saya suka menulis puisi dengan tipikal tipikal
dimana saya bisa misuh-misuh dan eek
di dalamnya, saya bisa menyampah sesuka hati pada hal-hal yang membuat saya iri
dengki dan makan hati. Yang mana saya bisa sarkastis dan sangat sinis pada
sesuatu yang saya benci setengah mati, macam:
politishit-yang-koarkoar-karena-nggak-kebagian-jatah.
Yah begitulah, setiap ideologi/kepercayaan pasti
ada isme-ismenya sendiri, setiap musik pasti ada genrenya masing-masing, dan
setiap penulis pasti punya gayanya sendiri. Jadi mengapa anda harus
menggeneralisasi puisi sebagai hal yang romantis dan melankolis? Tapi yah
seperti itulah manusia, suka mentipikalisasi dan mengkotak-kotakkan segala
sesuatu agar seragam [yang –tentu saja– kadang saya juga suka]. Sekedar untuk
memudahkan? Huh, membosankan ya?
Jadi, apakah saya sudah sangat mahir dalam menulis puisi, sudah masuk level expert? Ah tidak juga seperti itu, mungkin benar kata orang bijak, segala sesuatu harus diasah secara rutin dan telaten agar menuai hasil yang memuaskan. Lalu karena belakangan ini saya sangat jarang ‘latihan’ menulis puisi, saya jadi mulai kikuk dan kesulitan menemukan kata-kata yang pas untuk dimetaforakan dalam puisi. Memang puisi bukan melulu masalah ‘pengandaian makna’, memang tak selalu penting, tapi perlu. Saya malah sibuk berasyik masyuk mencari-cari diksi dan rima yang enak di telinga tanpa memperdulikan makna yang ngelantur kemana-mana. Saya benar-benar kesulitan, kesusahan, kepayahan, kecapekan, halah! Oh pohon durian, kemana lari dan bersembunyinya sepasukan kata yang biasanya berbaris rapi dalam larik-larik kalimat pendek, dalam kolom garis yang tak seberapa panjang itu?
Saya sekarang ini malah keranjingan menulis dan ceceriwis dalam baris yang panjang dan
lama. Saya nyinyir suka-suka tanpa peduli siapa saya, siapa anda. Saya suka
berpanjang-panjang kata, meski kadang tanpa makna. Apakah sebutannya? Artikel,
opini, cerpen, khayalan, imajinasi, narasi, monolog-dialog, pidato jum’atan,
naskah acara infotainment? Hahaha,
ngawur! Apalah! apapun itu disebutnya, pokoknya saya sedang senang saja was-wes-wos dengan menulis
berkalimat-kalimat dan berhalaman-halaman panjangnya. Ini semacam oase di
tengah gurun bagi saya, fetish yang
memuaskan gairah saya. karena saya tak bisa menjahit dan menyulam, maka saya
melampiaskan apa-apa yang berlompatan di kepala dengan medium pena dan kertas,
dimana saya bisa menumpahkannya dalam bentuk tulisan dan corat-coret bergambar.
Dan tentu saja juga lewat tats-tits-tuts
bunyi keyboard komputer [sebab itu
postingan ini ada]. Saya bisa egois di sini, saya bisa memaki-maki dan
nyinyir-tanpa-hati-sesuka-jidat-sendiri. Di sini saya bisa mengakomodir bawah
sadar, yang susah direalisasikan di atas sadar – dunia nyata. Iyes, reality sucks!
Mungkin – ya, saya tahu dan sadar – anda akan menganggap
omongan saya barusan hanya kosong belaka. Cericauan
orang yang mabok jamur. Hei, coba tengok postingan di blog saya belakangan ini,
dan marilah dilihat ada berapa biji puisinya? Bandingan dengan tulisan saya di
awal blog ini saya buat, postingan yang mendominasi adalah puisi-puisi yang
macam-macam jenisnya. Ada yang galau parah, ada yang macam aktivis sedang demo,
ada pula yang sok bijak macam orang yang paling baik dan bener sendiri. Haha,
kadang saya suka tersenyum sendiri kalau membaca itu lagi, betapa labilnya
saya, betapa semuanya harus di show-off
agar semua orang tahu dan kagum. Yah seperti itulah, saya sebagai manusia
adanya – pastinya akan dihadapkan pada perubahan-perubahan, entah itu tanpa
paksa atau terpaksa. Eh, Tapi jangan dipikir kalau saya sekarang tidak seperti
itu lagi. Saya belum merasa stabil benar, masih dalam proses mencari-cari pula.
Puisi-puisi masih suka galau walau sekarang lebih banyak absurdnya. Pun saya
masih suka narsis, lihat saja, setelah saya selesai mem-posting tulisan ini,
sebentar lagi pasti akan saya tautin ke facebook. Tuh kan, saya masih pengen
orang-orang tahu kalau saya ‘ada’. Layaknya tersesat di tengah keramaian yang
riuh, saya sibuk melambai-lambaikan tangan ke arah semua orang: ‘wooiiiiii….. disini-disini. Aku di sebelah
sini!’
Iya. Saya adalah kontradiksi berjalan, jadi janganlah terlalu gampang percaya sama saya. :p
Iya. Saya adalah kontradiksi berjalan, jadi janganlah terlalu gampang percaya sama saya. :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar