Jumat, 25 Januari 2013

OH PUISI, SIAPA DAN DIMANAKAH GERANGAN KAMU?


“Wah, suka nulis puisi nih. Pasti kamu anaknya romantis abis.”
“Halah, orang yang suka nulis puisi itu biasanya cengeng alias suka mewek. Melankolis dan perasa. Benar begitu, bukan?”
“Eh, kamu kan jago tuh nulis puisinya, buatin dong. Ini buat pacar aku.”

Huah, paling malas kalau mendengar komentar-komentar yang seperti barusan itu. Padahal-kan saya nggak sepenuhnya begitu. Dan saya tidak suka statement seperti itu, karena saya benci-terlihat-rapuh!
Baiklah, apa saya jago nulis puisi? Apakah saya puisi freak? Apakah saya melankolis yang suka termehek-mehek?
Memang pas zaman-zaman SMA dulu, waktu awal-awal mulai suka nulis, genre pertama yang saya lakoni adalah menulis puisi. Entah mengapa bisa begitu, apakah karena saya masih kesulitan kalau harus berpanjang-panjang kata dalam kalimat yang runut? Atau karena saya suka bermain kata dalam metafora yang kemudian bermuara pada diksi dan rima, yang membuat senang lidah saya saat mengucapkannya? Entahlah, pada waktu itu yang saya pikir: saya-hanya-kepingin-nulis-saja. Puisi yang saya tulis pun bukan model-model romantis, melankolis macam puisi percintaan, putus cinta, kangen-kengenan dan berbagai macam bentuk merah hati lainnya.
Dan hei, anda! Apakah puisi itu melulu tentang: ‘Di malam yang dingin ini, blablabla – bersama angin yang mendayu syahdu kutitipkan salam cintaku padamu,syalalala – engkau bagaikan purnama yang tak pernah bosan dipandang mata,blablabla syalalala’. Oh bukan yang seperti itu, saudara. Saya suka menulis puisi dengan tipikal tipikal dimana saya bisa misuh-misuh dan eek di dalamnya, saya bisa menyampah sesuka hati pada hal-hal yang membuat saya iri dengki dan makan hati. Yang mana saya bisa sarkastis dan sangat sinis pada sesuatu yang saya benci setengah mati, macam: politishit-yang-koarkoar-karena-nggak-kebagian-jatah.
Yah begitulah, setiap ideologi/kepercayaan pasti ada isme-ismenya sendiri, setiap musik pasti ada genrenya masing-masing, dan setiap penulis pasti punya gayanya sendiri. Jadi mengapa anda harus menggeneralisasi puisi sebagai hal yang romantis dan melankolis? Tapi yah seperti itulah manusia, suka mentipikalisasi dan mengkotak-kotakkan segala sesuatu agar seragam [yang –tentu saja– kadang saya juga suka]. Sekedar untuk memudahkan? Huh, membosankan ya? 

Jadi, apakah saya sudah sangat mahir dalam menulis puisi, sudah masuk level expert? Ah tidak juga seperti itu, mungkin benar kata orang bijak, segala sesuatu harus diasah secara rutin dan telaten agar menuai hasil yang memuaskan. Lalu karena belakangan ini saya sangat jarang ‘latihan’ menulis puisi, saya jadi mulai kikuk dan kesulitan menemukan kata-kata yang pas untuk dimetaforakan dalam puisi. Memang puisi bukan melulu masalah ‘pengandaian makna’, memang tak selalu penting, tapi perlu. Saya malah sibuk berasyik masyuk mencari-cari diksi dan rima yang enak di telinga tanpa memperdulikan makna yang ngelantur kemana-mana. Saya benar-benar kesulitan, kesusahan, kepayahan, kecapekan, halah! Oh pohon durian, kemana lari dan bersembunyinya sepasukan kata yang biasanya berbaris rapi dalam larik-larik kalimat pendek, dalam kolom garis yang tak seberapa panjang itu?
Saya sekarang ini malah keranjingan menulis dan ceceriwis dalam baris yang panjang dan lama. Saya nyinyir suka-suka tanpa peduli siapa saya, siapa anda. Saya suka berpanjang-panjang kata, meski kadang tanpa makna. Apakah sebutannya? Artikel, opini, cerpen, khayalan, imajinasi, narasi, monolog-dialog, pidato jum’atan, naskah acara infotainment? Hahaha, ngawur! Apalah! apapun itu disebutnya, pokoknya saya sedang senang saja was-wes-wos dengan menulis berkalimat-kalimat dan berhalaman-halaman panjangnya. Ini semacam oase di tengah gurun bagi saya, fetish yang memuaskan gairah saya. karena saya tak bisa menjahit dan menyulam, maka saya melampiaskan apa-apa yang berlompatan di kepala dengan medium pena dan kertas, dimana saya bisa menumpahkannya dalam bentuk tulisan dan corat-coret bergambar. Dan tentu saja juga lewat tats-tits-tuts bunyi keyboard komputer [sebab itu postingan ini ada]. Saya bisa egois di sini, saya bisa memaki-maki dan nyinyir-tanpa-hati-sesuka-jidat-sendiri. Di sini saya bisa mengakomodir bawah sadar, yang susah direalisasikan di atas sadar – dunia nyata. Iyes, reality sucks!

Mungkin – ya, saya tahu dan sadar – anda akan menganggap omongan saya barusan hanya kosong belaka. Cericauan orang yang mabok jamur. Hei, coba tengok postingan di blog saya belakangan ini, dan marilah dilihat ada berapa biji puisinya? Bandingan dengan tulisan saya di awal blog ini saya buat, postingan yang mendominasi adalah puisi-puisi yang macam-macam jenisnya. Ada yang galau parah, ada yang macam aktivis sedang demo, ada pula yang sok bijak macam orang yang paling baik dan bener sendiri. Haha, kadang saya suka tersenyum sendiri kalau membaca itu lagi, betapa labilnya saya, betapa semuanya harus di show-off agar semua orang tahu dan kagum. Yah seperti itulah, saya sebagai manusia adanya – pastinya akan dihadapkan pada perubahan-perubahan, entah itu tanpa paksa atau terpaksa. Eh, Tapi jangan dipikir kalau saya sekarang tidak seperti itu lagi. Saya belum merasa stabil benar, masih dalam proses mencari-cari pula. Puisi-puisi masih suka galau walau sekarang lebih banyak absurdnya. Pun saya masih suka narsis, lihat saja, setelah saya selesai mem-posting tulisan ini, sebentar lagi pasti akan saya tautin ke facebook. Tuh kan, saya masih pengen orang-orang tahu kalau saya ‘ada’. Layaknya tersesat di tengah keramaian yang riuh, saya sibuk melambai-lambaikan tangan ke arah semua orang: ‘wooiiiiii….. disini-disini. Aku di sebelah sini!’ 
Iya. Saya adalah kontradiksi berjalan, jadi janganlah terlalu gampang percaya sama saya. :p


Tidak ada komentar: