Ehem. Saya sedang ingin mengingat-ingat masa lalu.
Bukan bernostalgia pada hal-hal melankolia – saya sudah bosan dengan itu – tapi
sedang ingin melukis garis lengkung di bibir. Iya, saya sedang ingin mereka
ulang hal-hal yang lucu atau bahkan konyol dalam kehidupan saya kebelakang
dulu. Kisah seorang anak muda labil yang sedang disibukkan dengan tetek bengek
‘jati diri’ – entah mengapa di pikiran
saya kalau terlintas kata ini maka saya secara otomatis akan berasumsi seperti
ini: hanya-pembenaran-para-psikiater-malas-yang-tak-sanggup-menjinakkan-letupan-gairah-muda.
Mereka menyebut itu sebagai kondisi jiwa yang nakal atau bengal.
Hahaha. Masa itu yang terlintas di kepala saya
hanya tertawa dan senang-senang. Betapa hidup sangat menyenangkan dan seakan
dunia dalam genggaman. Huh, tak heran kalau dulu saya sangat mengidolakan
Spongebob – si spons kuning yang suara tertawanya membuat gaduh seluruh Bikini
Bottom. Tapi itu – sayangnya – dulu, saya sekarang lebih memandang hidup lewat
kacamata si gurita bertentakel banyak; betapa hidup sangat monoton dan
membosankan, betapa orang-orang sangat mengesalkan dan tak bisa mengerti
saya AND another shit of keluh kesah lainnya.
Sang waktu memang brengsek dan menjadi dewasa
adalah olok-olokan tuhan yang paling tidak lucu, dari dulu saya sudah curiga
kalau selera humornya memang payah.
Stop, stop! Berhenti mengeluh, mari kita mulai
mengayuh…
Dulu, sebagai pemudi tanggung pada umumnya yang
‘sok’ dan tukang pamer maka saya sebisa mungkin harus bisa menarik perhatian
orang-orang disekitaran saya yang sekhususnya seumuran dengan saya.
Karena zaman-zaman seperti itu adalah
masanya yang serba dangkal dan nanggung maka tak heran kalau saya mencoba lebih
mengkerenkan penampilan saya. Memang saya cenderung tomboy dan masa bodoh, tapi karena pengaruh pergaulan maka mau tak mau
saya harus mau juga. Labil dan gampang dipengaruhi itulah nama tengah saya,
sangat tipikal pemudi tanggung bukan?
Masa kuliah adalah dimana penyakit poser saya menjadi semakin kronis. Masa dimana
kebebasan berpenampilan dijunjung di atas segala. Di awal-awal kuliah demi
mendongkrak level kekerenan maka saya menjadi sangat rajin blusukan ke
distro-distro, tak pernah terlewatkan berlangganan majalah musik dua mingguan,
khusuk keluar masuk gedung bioskop dan mall.
Lihat pameran hanya sekedar agar terlihat ‘berbeda
selera’ sahaja, nongkrong di setiap acara musik apapun alirannya, dan lain
sebagainya.
Sepertinya dulu itu seluruh gaya aliran musik yang
lagi nge-hip pernah saya coba. Dari yang Metal dengan pakaian serba hitam yang
jangan lupa riasan smokey eyes-nya;
kemudian Punk yang penuh duri, beribu emblem dan juga kaos hitam-hitamnya;
lantas berubah haluan ke Reggae yang penuh dengan warna merah-kuning-hijau dan
rumbai-rumbai pakaian serba longgar; lalu memindahkan radar pada hal-hal yang
berbau Indie yang tak overrated; DAN
kemudian mulai bosan dan tampil tanpa genre apapun, asal-asalan yang penting
nyaman – gejala ini mulai tampak di semester akhir perkuliahan [dan sepertinya
ini akan bertahan lebih lama].
Karena saya poser
maka tak heranlah kalau pengetahuan saya seputar musik yang saya wakili gaya
berbusananya sangat cetek sekali. Dan ada kejadian lucu tentang ini: di sebuah
pertunjukan musik yang mengusung aliran Punk, saya pada saat itu mengenakan
kaos hitam bertuliskan ‘Misfit’ dengan icon gambar tengkoraknya. Tak ada
ekspektasi lebih tentang kaos itu, saya pikir yang penting hitam. Setelah
berlangsungnya acara biasanya sebelum pulang nongkrong-nongkronglah dulu, eh
tanpa dinyana tanpa diduga datanglah seorang laki-laki – yang sepertinya
dedengkot punk di situ – menghampiri saya dan lantas nyeletuk “suka Misfit juga ya? Keren, cewek tapi tahu
musik macam gini.” Mampus, pikir saya. Padahal saya membeli kaos itu karena
semata-mata suka gambar tengkoraknya. Dan nama Misfit itu saya pikir adalah
nama asal-asalan yang asal comot saja, mungkin itu nama sebuah jalan atau toko
kelontong di luar sana. Dan saya hanya mengiyakan saja, daripada saya jadi
bahan olok-olokan - saya harus jaga imej dong. Dan untungnya puji tuhan setelah
saya mengeluarkan jurus andalan; memasang tampang ‘jutek-abis-dan-cuek-mampus’
akhirnya mas-mas itu jadi malas untuk mengorek-ngorek sejauh mana pengetahuan
saya tentang band bernama Misfit itu. Hufh, untung saja tuhan mood-nya sedang
baik.
Dan eh ada lagi yang lebih konyol. Saya punya kaos
bertuliskan ‘Don’t Look Back in Anger’,
saya pikir itu hanya sebatas tulisan bijak lainnya. Beberapa tahun kemudian
saya baru sadar kalau itu adalah judul lagu yang pernah dibawakan oleh Oasis.
Oh, betapa parahnya saya!
Yah begitulah saya dulu. Suka merasa punya selera
yang paling bener sendiri. Merasa paling idealis dan paling kiri. Suka mengutip
sana-sini agar terlihat keren sekali. Sok kritis pada hal-hal yang memicu
kontroversi. Berkoar-koar kalau televisi adalah pembodohan tapi diam-diam
khusuk memelototi sinetron dan infotaiment. Meraung-raung kalau kaum alay harus
dibumihanguskan namun diam-diam mendengarkan lagu mendayu nan melayu.
Itulah saya dulu. Kalau kurang yakin cobalah
tengok blog saya di awal-awal postingan, pasti akan sangat menggelikan perut
anda. Kadang kalau membacanya lagi saya seperti mempermalukan diri sendiri.
Betapa blah blah blah-nya saya. bisa
saja saya men-delete-nya atau meng-edit-nya habis-habisan TAPI saya tak
akan mempunyai sesuatu yang bisa mengingatkan tentang siapa saya yang kemarin
dulu. Bukankah itu gunanya sebuah kenangan, untuk ditertawakan. Saya tak
peduli, saya sedang tidak dalam misi mengesankan dan memesonakan orang lain.
Lha wong sama tuhan saja saya ini masih setengah hati untuk memberi kesan baik
dihadapan beliaunya. Makanya saya sering kena jitak, kena jewer, kena cubit
tapi habis itu kena cium, kena peluk, kena usapan sayang di kepala. Nah, mana
saya bisa jera coba…
Iya, seperti itulah konyolnya saya. Pengen dilihat
dan diakui keunikannya tapi pengetahuan masih seujung rambutnya mbak-mbak yang
di iklan pariwara. Pengen jadi pusat perhatian tapi masih suka kikuk dan
canggung dengan hiruk pikuk keramaian yang mengerubung. Duh, kompleks dan
kontradiktif sekali masa-masa pemudi tanggung nan labil itu, ya? Hehehe…
Eh, memang
sekarang sudah tidak? Nah! Apakah anda yakin saya sekarang sudah setidak
itu? Dan apakah anda kira apa yang saya lakukan sekarang ini tidak akan saya
tertawakan kemudian hari ?
Syalalaland,
mari berpura-pura tidak tahu.*winks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar