Rabu, 19 Desember 2012

MENERTAWAKAN SAYA


Ehem. Saya sedang ingin mengingat-ingat masa lalu. Bukan bernostalgia pada hal-hal melankolia – saya sudah bosan dengan itu – tapi sedang ingin melukis garis lengkung di bibir. Iya, saya sedang ingin mereka ulang hal-hal yang lucu atau bahkan konyol dalam kehidupan saya kebelakang dulu. Kisah seorang anak muda labil yang sedang disibukkan dengan tetek bengek ‘jati diri’ – entah mengapa  di pikiran saya kalau terlintas kata ini maka saya secara otomatis akan berasumsi seperti ini: hanya-pembenaran-para-psikiater-malas-yang-tak-sanggup-menjinakkan-letupan-gairah-muda. Mereka menyebut itu sebagai kondisi jiwa yang nakal atau bengal.
Hahaha. Masa itu yang terlintas di kepala saya hanya tertawa dan senang-senang. Betapa hidup sangat menyenangkan dan seakan dunia dalam genggaman. Huh, tak heran kalau dulu saya sangat mengidolakan Spongebob – si spons kuning yang suara tertawanya membuat gaduh seluruh Bikini Bottom. Tapi itu – sayangnya – dulu, saya sekarang lebih memandang hidup lewat kacamata si gurita bertentakel banyak; betapa hidup sangat monoton dan membosankan, betapa orang-orang sangat mengesalkan dan tak bisa mengerti saya  AND another shit of keluh kesah lainnya.
Sang waktu memang brengsek dan menjadi dewasa adalah olok-olokan tuhan yang paling tidak lucu, dari dulu saya sudah curiga kalau selera humornya memang payah.
Stop, stop! Berhenti mengeluh, mari kita mulai mengayuh…

Dulu, sebagai pemudi tanggung pada umumnya yang ‘sok’ dan tukang pamer maka saya sebisa mungkin harus bisa menarik perhatian orang-orang disekitaran saya yang sekhususnya seumuran dengan saya. Karena zaman-zaman  seperti itu adalah masanya yang serba dangkal dan nanggung maka tak heran kalau saya mencoba lebih mengkerenkan penampilan saya. Memang saya cenderung tomboy dan masa bodoh, tapi karena pengaruh pergaulan maka mau tak mau saya harus mau juga. Labil dan gampang dipengaruhi itulah nama tengah saya, sangat tipikal pemudi tanggung bukan?

Masa kuliah adalah dimana penyakit poser saya menjadi semakin kronis. Masa dimana kebebasan berpenampilan dijunjung di atas segala. Di awal-awal kuliah demi mendongkrak level kekerenan maka saya menjadi sangat rajin blusukan ke distro-distro, tak pernah terlewatkan berlangganan majalah musik dua mingguan, khusuk keluar masuk gedung bioskop dan mall.
Lihat pameran hanya sekedar agar terlihat ‘berbeda selera’ sahaja, nongkrong di setiap acara musik apapun alirannya, dan lain sebagainya.
Sepertinya dulu itu seluruh gaya aliran musik yang lagi nge-hip pernah saya coba. Dari yang Metal dengan pakaian serba hitam yang jangan lupa riasan smokey eyes-nya; kemudian Punk yang penuh duri, beribu emblem dan juga kaos hitam-hitamnya; lantas berubah haluan ke Reggae yang penuh dengan warna merah-kuning-hijau dan rumbai-rumbai pakaian serba longgar; lalu memindahkan radar pada hal-hal yang berbau Indie yang tak overrated; DAN kemudian mulai bosan dan tampil tanpa genre apapun, asal-asalan yang penting nyaman – gejala ini mulai tampak di semester akhir perkuliahan [dan sepertinya ini akan bertahan lebih lama].

Karena saya poser maka tak heranlah kalau pengetahuan saya seputar musik yang saya wakili gaya berbusananya sangat cetek sekali. Dan ada kejadian lucu tentang ini: di sebuah pertunjukan musik yang mengusung aliran Punk, saya pada saat itu mengenakan kaos hitam bertuliskan ‘Misfit’ dengan icon gambar tengkoraknya. Tak ada ekspektasi lebih tentang kaos itu, saya pikir yang penting hitam. Setelah berlangsungnya acara biasanya sebelum pulang nongkrong-nongkronglah dulu, eh tanpa dinyana tanpa diduga datanglah seorang laki-laki – yang sepertinya dedengkot punk di situ – menghampiri saya dan lantas nyeletuk “suka Misfit juga ya? Keren, cewek tapi tahu musik macam gini.” Mampus, pikir saya. Padahal saya membeli kaos itu karena semata-mata suka gambar tengkoraknya. Dan nama Misfit itu saya pikir adalah nama asal-asalan yang asal comot saja, mungkin itu nama sebuah jalan atau toko kelontong di luar sana. Dan saya hanya mengiyakan saja, daripada saya jadi bahan olok-olokan - saya harus jaga imej dong. Dan untungnya puji tuhan setelah saya mengeluarkan jurus andalan; memasang tampang ‘jutek-abis-dan-cuek-mampus’ akhirnya mas-mas itu jadi malas untuk mengorek-ngorek sejauh mana pengetahuan saya tentang band bernama Misfit itu. Hufh, untung saja tuhan mood-nya sedang baik.
Dan eh ada lagi yang lebih konyol. Saya punya kaos bertuliskan ‘Don’t Look Back in Anger’, saya pikir itu hanya sebatas tulisan bijak lainnya. Beberapa tahun kemudian saya baru sadar kalau itu adalah judul lagu yang pernah dibawakan oleh Oasis. Oh, betapa parahnya saya!

Yah begitulah saya dulu. Suka merasa punya selera yang paling bener sendiri. Merasa paling idealis dan paling kiri. Suka mengutip sana-sini agar terlihat keren sekali. Sok kritis pada hal-hal yang memicu kontroversi. Berkoar-koar kalau televisi adalah pembodohan tapi diam-diam khusuk memelototi sinetron dan infotaiment. Meraung-raung kalau kaum alay harus dibumihanguskan namun diam-diam mendengarkan lagu mendayu nan melayu.
Itulah saya dulu. Kalau kurang yakin cobalah tengok blog saya di awal-awal postingan, pasti akan sangat menggelikan perut anda. Kadang kalau membacanya lagi saya seperti mempermalukan diri sendiri. Betapa blah blah blah-nya saya. bisa saja saya men-delete-nya atau meng-edit-nya habis-habisan TAPI saya tak akan mempunyai sesuatu yang bisa mengingatkan tentang siapa saya yang kemarin dulu. Bukankah itu gunanya sebuah kenangan, untuk ditertawakan. Saya tak peduli, saya sedang tidak dalam misi mengesankan dan memesonakan orang lain. Lha wong sama tuhan saja saya ini masih setengah hati untuk memberi kesan baik dihadapan beliaunya. Makanya saya sering kena jitak, kena jewer, kena cubit tapi habis itu kena cium, kena peluk, kena usapan sayang di kepala. Nah, mana saya bisa jera coba…

Iya, seperti itulah konyolnya saya. Pengen dilihat dan diakui keunikannya tapi pengetahuan masih seujung rambutnya mbak-mbak yang di iklan pariwara. Pengen jadi pusat perhatian tapi masih suka kikuk dan canggung dengan hiruk pikuk keramaian yang mengerubung. Duh, kompleks dan kontradiktif sekali masa-masa pemudi tanggung nan labil itu, ya? Hehehe…
Eh, memang sekarang sudah tidak? Nah! Apakah anda yakin saya sekarang sudah setidak itu? Dan apakah anda kira apa yang saya lakukan sekarang ini tidak akan saya tertawakan kemudian hari ?
Syalalaland, mari berpura-pura tidak tahu.*winks


Tidak ada komentar: