Kemarin pagi di depan televisi dengan randomnya
jemari tangan saya memencet-mencet tombol remot. Saya pun menguap kebosanan
karena tidak ketemu juga acara yang menarik. Karena ini menjelang Natal maka
banyak film yang ditayangkan, baik yang bertema rohani maupun tidak. Senang sih
nontonnya, tapi mbok ya jangan itu-itu saja filmnya – tolong dong yang beda dan
bagusan dikit, biar saya senang nontonnya [bukankah Natal adalah momen yang
tepat untuk saling berbagi kebahagiaan? Hehe… ].
Nah, untunglah di salah satu saluran tivi khusus
umat kristiani ada film yang menarik dan berhasil membuat mata saya tidak
setengah terbuka lagi. Judulnya kalau tidak salah ‘Touched by An Angel’ [kalau salah, tuding telunjuk anda ke memori
jangka pendek saya], dan entah itu film atau drama seri soalnya saya baru
sekali itu nontonnya [kalau yang ini salahkan dualisme di otak saya hingga
membuat persepsi saya bercabang-cabang].
Jadi film ini berkisah tentang hubungan yang ‘manis’
antara seorang anak perempuan dan ayahnya. Si anak [kita sebut saja namanya
Laura – sekali lagi, kambinghitamkan memori saya] begitu memuja sang ayah. Baginya
ayah adalah role model nomer satu dan
satu-satunya di dunia. Laura dan ayahnya ini punya peti harta karun rahasia
yakni ‘kapsul waktu’ yang berisi benda-benda paling favorit kepunyaan mereka. Kapsul
waktu ini mereka tanam di bawah pohon besar yang ada di pekarangan rumah, dan
mereka berjanji akan membukanya saat tahun baru Milenium nanti – setting waktu di masa kecil Laura adalah
tahun 1955, jadi harus menunggu 45 tahun lagi untuk membukanya. Namun suatu
hari tiba-tiba tanpa pesan dan alasan ayahnya pergi dari rumah, meninggalkan
Laura dan ibunya. Laura sangat kecewa dan marah, ia merasa dikhianati. Ibunya pun
tak kunjung memberi alasan pasti kenapa ayahnya tega meninggalkan mereka. Sepanjang
hidupnya Laura tak pernah berhenti bertanya: mengapa, mengapa dan mengapa?
Karena kekecewaan itulah, hingga hampir paruh baya
ia memutuskan untuk tak pernah menikah dan mempunyai anak. Ia tidak menolak
untuk jatuh cinta tapi tidak untuk komitmen hidup bersama selamanya. Ia pikir:
ayah yang begitu menyayanginya saja bisa tega meninggalkan dirinya, apalagi
laki-laki lain.
Sekarang, malam pergantian tahun 1999 ke tahun
2000. Tiga malaikat dari surga ditugaskan untuk memulihkan jiwa Laura, memberi
jalan untuk menghapuskan kekecewaan-kekecewaan terhadap ayahnya. Kemudian dengan
tubuh manusia para malaikat itu mencoba mengingatkan Laura tentang kapsul
waktunya, tentang janji membukanya besok hari. Awalnya Laura menolak, toh untuk
apa ‘menggali’ kenangan lama kalau itu menyakitkan. Tapi setelah dibujuk
akhirnya ia mau juga. Ia pun kembali pulang ke rumah masa kecilnya, rumah yang
ditinggalkannya tak berselang lama setelah ayahnya menghilang. Laura pun
menggali kapsul waktunya. Namun isinya bukan seperti yang dibayangkannya,
ternyata di dalam sana ada setumpuk surat. Dengan bantuan para malaikat Laura
membaca satu persatu surat-surat itu. Ternyata setiap tahun ayahnya berkunjung
ke rumah mereka untuk menemui Laura, tapi karena Laura dan ibunya sudah pindah
dari sana dan tak tahu kemana mereka tinggal maka ayahnya hanya bisa menitipkan
suratnya ke kapsul waktu di bawah pohon. Dari surat-surat itu Laura tahu kalau
ayahnya terpaksa meninggalkannya karena ia ingin melindungi Laura. Ayahnya ternyata
penderita skizofrenia. Laura sedih sekaligus lega; sedih karena ia telah salah
paham dan berpikiran buruk kepada ayahnya, dan lega karena ayah yang dipujanya
ternyata benar-benar menyayanginya – tak pernah melupakannya. Namun ada sesal
di hati Laura, mungkin saja ia tak akan bisa bertemu lagi dengan ayahnya. Karena
surat-surat itu berhenti dikirim di tahun 1975, mungkin saja ayahnya sudah
meninggal. Laura kembali sedih sekaligus marah, betapa tak beruntungnya ia,
betapa hidup telah mempermainkannya.
“Itu tidak
benar , kau sangat beruntung Laura. Kau beruntung karena mempunyai ayah yang
luar biasa. Kau beruntung karena diberi kesempatan untuk mengetahui kebenaran
yang sesungguhnya dari kesalahpahaman yang telah kau simpan dan percayai
sepanjang hidupmu. Kau beruntung karena mempunyai seorang kekasih yang begitu
menyayangimu. Kau sangat beruntung Laura, Tuhan menyayangimu… “ ujar salah
satu malaikat menyadarkannya. Laura lantas menyadari kekeliruan prasangkanya. Namun
sebelum ia menyadari sepenuhnya, tiba-tiba seperti terbangun dari mimpi, ia
mendapati dirinya berada di tempatnya berdiri menunggu kekasihnya untuk janji
makan malam kemarin malam. Dengan baju dan riasan yang sama, dengan kelap-kelip
dan kemeriahan tahun baru yang sama pula. Jadi apakah yang dialaminya baru saja
itu hanya sekedar mimpi belaka? Tidak, tidak boleh ada lagi kekecewaan, ia
harus membuktikannya. Dengan mengajak kekasihnya kembalilah Laura ke pohon kapsul waktunya. Namun yang
didapatinya bukanlah rumah masa kecilnya tapi sebuah bangunan perkantoran yang
menjulang. Dan yang membuatnya terkejut ternyata barang-barang di kapsul
waktunya telah dijadikan semacam monumen bagi bangunan tersebut. Disana tertulis,
“Kapsul waktu ini adalah milik seorang
ayah dan anaknya yang tanpa sengaja telah kami temukan saat menggali tanah
untuk membangun perkantoran ini.” Kemudian Laura tersadar, inilah alasan
kenapa ayahnya berhenti berkirim surat: perkantoran ini dibangun tahun 1975. Jadi…
sebelum sempat menuntaskan apa yang ada dipikirannya, di ujung pelataran
bangunan sana ia melihat seorang lelaki tua sedang duduk dengan wajah murung
memandangi keriuhan jalan raya. Laura menghampirinya. Itu ayahnya! Dengan kegembiraan
yang meluap Laura memeluk dan menciuminya. Lalu bersama kekasihnya ia membawa ayahnya
pulang ke rumah.
Iya, happy
ending. Tentu saja, ini film untuk hari Natal jadi harus saling berbagi
kebahagiaan dan kasih sayang.
Sebenarnya yang menarik hati saya bukanlah film
itu secara keseluruhan. Iya, saya jatuh hati dengan sosok ayahnya. Kalau jadi
Laura pun saya pasti juga akan memujanya habis-habisan. Seorang ayah yang
mempunyai semangat meluap-luap, spontan, DAN penuh dengan imajinasi tanpa
batas. Dia mengajarkan pada Laura bahwa hidup adalah petualangan jadi kau harus
menjelajahi tiap jengkalnya, kau tidak boleh hanya tinggal di satu tempat: “Itu sangat membosankan, Laura.”
Bisa kau bayangkan ayah yang seperti ini: “Ayo Laura kita berpetualang ke belahan bumi
sebelah sana, ayo bentangkan sayap tak kasat matamu.”
Dan yang ini: “Laura,
suatu hari nanti kau harus berkeliling dunia. Hari ini kau di Paris, besok kau
di RRC, dan lusa kau ada di Mesir untuk melihat piramida. Hei, lihat itu laura!
Apakah kau mendengarnya? Kereta yang membawa kita ke Paris telah datang. Kita akan
melihat Paris! Ayo Laura, bentangkan kedua tanganmu. Berteriak dan bersoraklah.
Sambut ‘the invisible train’ kita , Laura… ”
Dan yang ini lagi: “Kita harus membuat kapsul waktu Laura. Agar orang-orang di masa datang
tahu bahwa mereka telah melewatkan hal-hal menyenangkan di masa lalu.”
Oh betapa ayah yang sangat keren sekali.
Tapi ada sedikit yang mengganjal saya di sini. Kenapa
di film ini sang ayah harus dikisahkan sebagai seorang skizofrenik? Apakah seseorang
yang mempunyai imajinas liar di luar realitasnya sangat biasa untuk dianggap
gila? Entahlah, mungkin itu hanya kebetulan semata atau memang sengaja
dibetulkan? ENTAH.
Ada satu dialog kesukaan saya di film ini.
Malaikat 1: “Kenapa
orang selalu kesulitan untuk mengingat kembali mimpi dalam tidurnya?”
Malaikat 2: “Mimpi
adalah refleksi bawah sadar manusia. Ia adalah hal paling jujur yang yang sulit
untuk diungkapkan manusia di alam sadarnya. Secara naluriah manusia sulit
menerima sebuah kejujuran. Bukankah begitu?”
Malaikat 1: “Iya,
mungkin.”
Baiklah begitulah ulas-ulang membosankan saya.
itung-itung ini sebagai sarana melatih daya ingat saya. jadi tidak heran kalau
ada tambal sulam di sana sini, tapi garis besar ceritanya adalah seperti itu. Pasti
akan sangat lebih mudah bagi saya kalau saya mau bertanya kepada
Yang-Mulia-Raja-Google, tapi di kepala saya ada ayah Laura yang jari
telunjuknya bergerak-gerak ke kiri ke kanan sambil ngomong begini sama saya, “Tidak Lina, hal yang memudahkan itu kadang
sangat membosankan.”
Oh ya, satu hal yang saya suka dari hari Natal
adalah meriahnya merah yang selalu berhasil mengingatkan saya pada planet
merah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar