Selasa, 25 Desember 2012

AYO KITA BERPETUALANG KE BELAHAN BUMI SEBELAH SANA. AYO BENTANGKAN SAYAP IMAJINASIMU!


Kemarin pagi di depan televisi dengan randomnya jemari tangan saya memencet-mencet tombol remot. Saya pun menguap kebosanan karena tidak ketemu juga acara yang menarik. Karena ini menjelang Natal maka banyak film yang ditayangkan, baik yang bertema rohani maupun tidak. Senang sih nontonnya, tapi mbok ya jangan itu-itu saja filmnya – tolong dong yang beda dan bagusan dikit, biar saya senang nontonnya [bukankah Natal adalah momen yang tepat untuk saling berbagi kebahagiaan? Hehe… ].
Nah, untunglah di salah satu saluran tivi khusus umat kristiani ada film yang menarik dan berhasil membuat mata saya tidak setengah terbuka lagi. Judulnya kalau tidak salah ‘Touched by An Angel’ [kalau salah, tuding telunjuk anda ke memori jangka pendek saya], dan entah itu film atau drama seri soalnya saya baru sekali itu nontonnya [kalau yang ini salahkan dualisme di otak saya hingga membuat persepsi saya bercabang-cabang].

Jadi film ini berkisah tentang hubungan yang ‘manis’ antara seorang anak perempuan dan ayahnya. Si anak [kita sebut saja namanya Laura – sekali lagi, kambinghitamkan memori saya] begitu memuja sang ayah. Baginya ayah adalah role model nomer satu dan satu-satunya di dunia. Laura dan ayahnya ini punya peti harta karun rahasia yakni ‘kapsul waktu’ yang berisi benda-benda paling favorit kepunyaan mereka. Kapsul waktu ini mereka tanam di bawah pohon besar yang ada di pekarangan rumah, dan mereka berjanji akan membukanya saat tahun baru Milenium nanti – setting waktu di masa kecil Laura adalah tahun 1955, jadi harus menunggu 45 tahun lagi untuk membukanya. Namun suatu hari tiba-tiba tanpa pesan dan alasan ayahnya pergi dari rumah, meninggalkan Laura dan ibunya. Laura sangat kecewa dan marah, ia merasa dikhianati. Ibunya pun tak kunjung memberi alasan pasti kenapa ayahnya tega meninggalkan mereka. Sepanjang hidupnya Laura tak pernah berhenti bertanya: mengapa, mengapa dan mengapa?
Karena kekecewaan itulah, hingga hampir paruh baya ia memutuskan untuk tak pernah menikah dan mempunyai anak. Ia tidak menolak untuk jatuh cinta tapi tidak untuk komitmen hidup bersama selamanya. Ia pikir: ayah yang begitu menyayanginya saja bisa tega meninggalkan dirinya, apalagi laki-laki lain.  

Sekarang, malam pergantian tahun 1999 ke tahun 2000. Tiga malaikat dari surga ditugaskan untuk memulihkan jiwa Laura, memberi jalan untuk menghapuskan kekecewaan-kekecewaan terhadap ayahnya. Kemudian dengan tubuh manusia para malaikat itu mencoba mengingatkan Laura tentang kapsul waktunya, tentang janji membukanya besok hari. Awalnya Laura menolak, toh untuk apa ‘menggali’ kenangan lama kalau itu menyakitkan. Tapi setelah dibujuk akhirnya ia mau juga. Ia pun kembali pulang ke rumah masa kecilnya, rumah yang ditinggalkannya tak berselang lama setelah ayahnya menghilang. Laura pun menggali kapsul waktunya. Namun isinya bukan seperti yang dibayangkannya, ternyata di dalam sana ada setumpuk surat. Dengan bantuan para malaikat Laura membaca satu persatu surat-surat itu. Ternyata setiap tahun ayahnya berkunjung ke rumah mereka untuk menemui Laura, tapi karena Laura dan ibunya sudah pindah dari sana dan tak tahu kemana mereka tinggal maka ayahnya hanya bisa menitipkan suratnya ke kapsul waktu di bawah pohon. Dari surat-surat itu Laura tahu kalau ayahnya terpaksa meninggalkannya karena ia ingin melindungi Laura. Ayahnya ternyata penderita skizofrenia. Laura sedih sekaligus lega; sedih karena ia telah salah paham dan berpikiran buruk kepada ayahnya, dan lega karena ayah yang dipujanya ternyata benar-benar menyayanginya – tak pernah melupakannya. Namun ada sesal di hati Laura, mungkin saja ia tak akan bisa bertemu lagi dengan ayahnya. Karena surat-surat itu berhenti dikirim di tahun 1975, mungkin saja ayahnya sudah meninggal. Laura kembali sedih sekaligus marah, betapa tak beruntungnya ia, betapa hidup telah mempermainkannya.
“Itu tidak benar , kau sangat beruntung Laura. Kau beruntung karena mempunyai ayah yang luar biasa. Kau beruntung karena diberi kesempatan untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya dari kesalahpahaman yang telah kau simpan dan percayai sepanjang hidupmu. Kau beruntung karena mempunyai seorang kekasih yang begitu menyayangimu. Kau sangat beruntung Laura, Tuhan menyayangimu… “ ujar salah satu malaikat menyadarkannya. Laura lantas menyadari kekeliruan prasangkanya. Namun sebelum ia menyadari sepenuhnya, tiba-tiba seperti terbangun dari mimpi, ia mendapati dirinya berada di tempatnya berdiri menunggu kekasihnya untuk janji makan malam kemarin malam. Dengan baju dan riasan yang sama, dengan kelap-kelip dan kemeriahan tahun baru yang sama pula. Jadi apakah yang dialaminya baru saja itu hanya sekedar mimpi belaka? Tidak, tidak boleh ada lagi kekecewaan, ia harus membuktikannya. Dengan mengajak kekasihnya kembalilah Laura  ke pohon kapsul waktunya. Namun yang didapatinya bukanlah rumah masa kecilnya tapi sebuah bangunan perkantoran yang menjulang. Dan yang membuatnya terkejut ternyata barang-barang di kapsul waktunya telah dijadikan semacam monumen bagi bangunan tersebut. Disana tertulis, “Kapsul waktu ini adalah milik seorang ayah dan anaknya yang tanpa sengaja telah kami temukan saat menggali tanah untuk membangun perkantoran ini.” Kemudian Laura tersadar, inilah alasan kenapa ayahnya berhenti berkirim surat: perkantoran ini dibangun tahun 1975. Jadi… sebelum sempat menuntaskan apa yang ada dipikirannya, di ujung pelataran bangunan sana ia melihat seorang lelaki tua sedang duduk dengan wajah murung memandangi keriuhan jalan raya. Laura menghampirinya. Itu ayahnya! Dengan kegembiraan yang meluap Laura memeluk dan menciuminya. Lalu bersama kekasihnya ia membawa ayahnya pulang ke rumah.
Iya, happy ending. Tentu saja, ini film untuk hari Natal jadi harus saling berbagi kebahagiaan dan kasih sayang.

Sebenarnya yang menarik hati saya bukanlah film itu secara keseluruhan. Iya, saya jatuh hati dengan sosok ayahnya. Kalau jadi Laura pun saya pasti juga akan memujanya habis-habisan. Seorang ayah yang mempunyai semangat meluap-luap, spontan, DAN penuh dengan imajinasi tanpa batas. Dia mengajarkan pada Laura bahwa hidup adalah petualangan jadi kau harus menjelajahi tiap jengkalnya, kau tidak boleh hanya tinggal di satu tempat: “Itu sangat membosankan, Laura.”

Bisa kau bayangkan ayah yang seperti ini: “Ayo Laura kita berpetualang ke belahan bumi sebelah sana, ayo bentangkan sayap tak kasat matamu.”
Dan yang ini: “Laura, suatu hari nanti kau harus berkeliling dunia. Hari ini kau di Paris, besok kau di RRC, dan lusa kau ada di Mesir untuk melihat piramida. Hei, lihat itu laura! Apakah kau mendengarnya? Kereta yang membawa kita ke Paris telah datang. Kita akan melihat Paris! Ayo Laura, bentangkan kedua tanganmu. Berteriak dan bersoraklah. Sambut ‘the invisible train’ kita , Laura… ”
Dan yang ini lagi: “Kita harus membuat kapsul waktu Laura. Agar orang-orang di masa datang tahu bahwa mereka telah melewatkan hal-hal menyenangkan di masa lalu.”
Oh betapa ayah yang sangat keren sekali.

Tapi ada sedikit yang mengganjal saya di sini. Kenapa di film ini sang ayah harus dikisahkan sebagai seorang skizofrenik? Apakah seseorang yang mempunyai imajinas liar di luar realitasnya sangat biasa untuk dianggap gila? Entahlah, mungkin itu hanya kebetulan semata atau memang sengaja dibetulkan? ENTAH.

Ada satu dialog kesukaan saya di film ini.
Malaikat 1: “Kenapa orang selalu kesulitan untuk mengingat kembali mimpi dalam tidurnya?”
Malaikat 2: “Mimpi adalah refleksi bawah sadar manusia. Ia adalah hal paling jujur yang yang sulit untuk diungkapkan manusia di alam sadarnya. Secara naluriah manusia sulit menerima sebuah kejujuran. Bukankah begitu?”
Malaikat 1: “Iya, mungkin.”

Baiklah begitulah ulas-ulang membosankan saya. itung-itung ini sebagai sarana melatih daya ingat saya. jadi tidak heran kalau ada tambal sulam di sana sini, tapi garis besar ceritanya adalah seperti itu. Pasti akan sangat lebih mudah bagi saya kalau saya mau bertanya kepada Yang-Mulia-Raja-Google, tapi di kepala saya ada ayah Laura yang jari telunjuknya bergerak-gerak ke kiri ke kanan sambil ngomong begini sama saya, “Tidak Lina, hal yang memudahkan itu kadang sangat membosankan.”

Oh ya, satu hal yang saya suka dari hari Natal adalah meriahnya merah yang selalu berhasil mengingatkan saya pada planet merah.


Tidak ada komentar: