1.
THE FACE OF ANOTHER
DATA BUKU
Judul : The Face of Another [1964]
Penulis : Kobo Abe
Penerjemah : Wawan Eko Yulianto
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, Oktober 2008
Tebal : 350 halaman
Judul : The Face of Another [1964]
Penulis : Kobo Abe
Penerjemah : Wawan Eko Yulianto
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, Oktober 2008
Tebal : 350 halaman
Buku ini bercerita tentang bagaimana pergulatan
jiwa si ‘aku’ [tokoh utama] – seorang kepala institut terkemuka di jepang –
dengan topeng buatannya dan wajah hancurnya. Dimana sebelumnya ia selalu
percaya bahwa wajah bukanlah esensi utama, tapi kualitas diri adalah apa yang
paling dibutuhkan dalam hidup. Sayangnya ia tidak hidup di jaman batu, ia hidup
dimana pencitraan/tampilan begitu diagung-agungkan. Setelah wajahnya hancur
karena ledakan oleh percobaan kimia di laboratorium, hidupnya seketika itu
menjadi jungkir balik. Bagaimana orang mengacuhkan dan mengasingkannya hanya
semata-mata karena wajah. Tak terkecuali istrinya sendiri. Ia begitu dendam dan
geram pada dunia. Ia jadi pembenci bagi orang lain dan dirinya sendiri. Hidup
tak berlaku pantas padanya, lantas ia memutuskan untuk membalaskan dendamnya
dengan cara membuat topeng yang paling alami dan sempurna untuk menguji semua orang
yang terlalu percaya pada wajah. Dan yang paling utama ia ingin menggunakannya
untuk menguji kesetiaan istrinya. Lalu berlanjutlah konflik-konflik pribadi
yang menguras jiwa dan emosi itu.
Mengutip teks yang ada di belakang
sampul buku ini: "The Face of Another akan membuka rahasia hati orang yang
dicampakkan lingkungan terdekatnya hanya karena ia kekurangan hal sepele. Membacanya
akan membuat kita tahu makna seraut wajah. Kemunafikan yang disembunyikan di
balik senyum menawan, dan betapa orang terdekat malah bisa menikam dari
belakang."
Menurut saya buku ini benar-benar
psikologi parah. Banyak bertutur tentang keterasingan/alienasi, skeptisisme,
eksistensial dan beragam hal kejiwaan lainnya. Penuh dengan metafora-metafora. Hal ini membuat saya berhenti mendadak di beberapa bagian untuk
sekedar menghubungkan pemahaman di bagian sebelumnya. Buku ini berhasil membuat
saya sakit jiwa. Seperti kepingan puzzle yang potongan bagian tengahnya hilang
dan setelah dicari kesana kemari ternyata terselip dikeliman baju. Membuat
frustasi! Daya tahan sabar saya benar-benar diuji dalam membaca buku ini. Emosi
dan letih campur aduk jadi satu. Tapi peluk cium untuk ego tinggi saya yang
merasa tertantang untuk menyelesaikannya hingga lembar terakhir. Saya akui si Kobo
Abe telah sukses memaksa saya ikut merasakan kekalutan jiwa sang tokoh utama,
dan saking kalutnya saya pernah hampir melemparkan buku ini ke kolong ranjang.
Jarang-jarang saya mendapati buku dengan efek seperti ini. Sampai membuat saya
kehilangan selera makan dan sulit tidur – baiklah, bagian selera makan dan
sulit tidur itu saya rasa sudah terlalu berlebihan.
Buku The Face of Another ini adalah buku
kedua setelah ‘The Shoes of the Fisherman’-nya Morrist West yang memaksa saya
rehat disana sini sebelum melanjutkan perjalanan untuk membacanya setelah
berhasil mengumpulkan mood yang berceceran dimana-mana. Buku-buku tipikal
seperti ini kadang membuat saya berpikir; terjemahannya yang salah atau sayanya
saja yang terlalu bodoh. Hehe...
2.
LOLITA
DATA BUKU
Judul :
Lolita
Penulis : Vladimir Nabokov [1955]
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Maret 2008
Tebal : 529 halaman
Penulis : Vladimir Nabokov [1955]
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan : I, Maret 2008
Tebal : 529 halaman
Penampilan
kadang seperti perangkap tikus dengan umpan sekerat keju. Cheesy, itulah kesan pertama saat sekilas melihat cover buku ini. Sangkaan
awal saya ini buku tentang remaja/teenlit. Ya gara-gara sampulnya yang ‘renyah’
itu. Karena itulah saya cuekin buku bergambar kaki itu selama beberapa hari dan
memperiotaskan buku-buku lain yang saya anggap bagus. Toh saya pikir hanya
butuh beberapa jam saja untuk menghabiskannya. Setelah sekian hari dan saat
waktu saya sangat senggang dan juga sudah tidak ada lagi buku yang tersisa
untuk saya baca, akhirnya saya mengalihkan perhatian pada si Lolita ini. Terkutuklah
saya karena sudah berburuk sangka. Perasaan saya sudah tidak enak ketika
membaca teks kecil di cover depan buku yang sebelumnya luput dari radar mata
saya “Satu diantara tiga novel paling
berpengaruh di dunia...” – Time. Sial memang, saya telah menyia-nyiakan
jatah sisa hidup saya – bolehlah mendramatisir sedikit, masak kalah sama
berita-berita di televisi itu, hehe. Baiklah saya akui buku ini memang keren. Karena
berhasil membuat saya kadang harus memelankan laju baca untuk bisa memahami apa
yang di maksud penulis – ini karena penulis banyak menggunakan simbol-simbol
dan bagaimana cara penulis menggambarkan kondisi kejiwaan si tokoh utama
melalui lamunan-lamunannya – namun secara bersamaan hal itu membuat saya ingin
segera membacanya hingga tuntas. Ironis yang manis.
FYI:
Istilah Lolita menggambarkan tentang perempuan muda yang dewasa/matang
secara seksual sebelum waktunya Sedangkan Lolita Syndrome adalah keadaan
di mana seorang dewasa, umumnya lelaki, tertarik secara seksual kepada
anak-anak pada masa pubernya; kondisi ini juga disebut efebofilia.
‘Lolita
berkisah tentang pengakuan seorang profesor setengah baya bernama Humbert
Humbert yang terobsesi seorang gadis remaja, Dolores Haze – sang lolita. Untuk
bisa berdekatan dengan Dolores, Humbert menikahi ibu gadis itu. Setelah sang
ibu tewas dalam kecelakaan, Humbert membawa anak tirinya berkelana mengelilingi
Amerika Serikat, menikmati cinta terlarang dengan segala manis getirnya’ –
Panggil saya pemalas, bagian ini saya kutip habis-habisan dari teks di sampul
belakang buku.
Cerita
dalam buku ini secara sadar maupun tidak telah membuat saya memaklumi bagaimana
seorang Humbert Humbert begitu terobsesi pada Lolita – si peri asmara [Nymphet]. Cinta penuh hasrat yang tak
lazim itu tidak membuat saya langsung menjustifikasinya sebagai abnormal. Ini
berkat kepiawaian Vladamir Nabokov
mentuturkan secara detail hasrat Humbert terhadap lolita tanpa membuatnya
vulgar dengan cara norak dan murahan.
Coba
lihat bagaimana indahnya Nabokov
melalui Humbert menggambarkan sosok Lolita; “LOLITA,
CAHAYA hidupku, api sulbiku. Dosaku, sukmaku, Lo-li-ta: ujung lidah mengeja
tiga suku kata, menyentuh langit-langit mulut, dan pada kali ketiga menyentuh
deretan gigi. Lo. Li. Ta.” Dan ini lagi;
“Dia adalah Lo yang biasa-biasa saja
di pagi hari, setinggi seratus lima puluh senti, mengenakan sebelah kaus kaki.
Dia adalah Lola saat mengenakan celana panjang longgar. Dia adalah Dolly di
sekolah. Dia adalah Dolores pada data isian bertitik-titik. Namun, dalam
pelukanku dia adalah Lolita,” [hlm 15]
Mungkin
saya telah bersimpati kepada si Humbert ini karena rasa kasihan saya padanya;
pria kesepian yang rapuh dan kikuk. Dan kadang saya gemas juga pada lolita yang
kenes, misterius serta pembangkang yang kadang lihai mempermainkan dan memanfaatkan rasa cinta
Humbert yang berlebihan kepadanya. Namun kadang rasa simpati dan gemas itu
saling bertukar tempat; kadang saya kasihan pada Lolita, kadang juga saya bisa
gemas pada tokoh Humbert. Inilah kehebatan Nabokov dalam melukiskan nuansa psikologis
tokoh-tokohnya.
Dan
meskipun katanya ini adalah buku yang kontroversial tapi saya tidak melihat ada
yang salah dalam buku ini. Buku yang indah. Bacalah bacalah bacalah... :]
3. TANAH TABU
DATA BUKU
Judul : Tanah Tabu
Penulis : Anindita S. Thayf
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Cetakan : I, Mei 2009
Tebal : 240 halaman
Penulis : Anindita S. Thayf
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Cetakan : I, Mei 2009
Tebal : 240 halaman
"Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu
ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah."
Pertama
saya sangat suka cover buku ini, sangat berkarakter. Tanah tabu bercerita
tentang tiga orang perempuan dari tiga generasi berbeda dengan
latar belakang budaya Papua. Tanah Tabu
berkisah tentang perjalanan hidup perempuan Papua bersuku Dani, yakni; Mabel, Mace dan
Leksi, bersama-sama berjuang menapaki getirnya hidup dan bertahan di antara
ketegangan konflik di daerah mereka.Tokoh-tokoh
utama yang begitu tangguh dan tangkas dalam menyikapi hidup dan lingkungannya
yang sebenarnya penuh dengan keterbatasan.
Dan, kehadiran tokoh Pum dan Kwee di buku ini yang meskipun tak biasa semakin menambah keluarbiasaannya.
Cerita
dalam buku ini akan membuat anda tersentuh
dan ber-empati tanpa berusaha untuk menye-menye. Begitu
ringan mengalir, meskipun tema
yang diangkat berlatar belakang budaya/etnik yang biasanya rumit.
Meskipun alurnya bolik balik, itu tak akan membuat otak
anda jungkir balik. Berbobot tanpa harus menggunakan
istilah-istilah yang abot [berat]. Pantas saja kalau si penulis dinobatkan
sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Novel DKJ 2008.
“Anindita
tidak menulis sebuah novel etnografi dengan semangat eksotisme kolonial,
melainkan dengan perspektif emik yang penuh empati. Melalui novel ini saya
berkenalan dengan Leksi, seorang bocah Papua, yang dengan kenaifannya justru
menunjukkan kritisisme cerdas; juga Mabel yang menjadi eksemplar seorang
perempuan hebat tanpa perlu ribet dan genit dengan retorika la aktivis
perempuan menengah-kota.” -Kris Budiman,
Kritikus Sastra, Juri Sayembara Novel DKJ 2008-
Intinya,
saya sangat teradiksi dengan buku ini. Begitu lembar
pertama saya buka, mata dan pikiran saya tidak berhenti memelototinya hingga
lembar terakhir. Buku ini seperti sarapan pagi dengan seporsi bubur ayam,
sungguh mengenyangkan untuk memulai hari tanpa harus memberatkan kerongkongan untuk
menelannya. Selamat menikmati, tenang saja ini tak akan membuat kulit anda
berselulit... :]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar