Selasa, 19 Juni 2012

BUKU TERBAIK YANG SAYA BACA MINGGU INI

 
1. THE FACE OF ANOTHER
DATA BUKU
Judul              : The Face of Another
[1964]
Penulis            : Kobo Abe
Penerjemah    : Wawan Eko Yulianto
Penerbit         : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan          : I, Oktober 2008
Tebal              : 350 halaman



Buku ini bercerita tentang bagaimana pergulatan jiwa si ‘aku’ [tokoh utama] – seorang kepala institut terkemuka di jepang – dengan topeng buatannya dan wajah hancurnya. Dimana sebelumnya ia selalu percaya bahwa wajah bukanlah esensi utama, tapi kualitas diri adalah apa yang paling dibutuhkan dalam hidup. Sayangnya ia tidak hidup di jaman batu, ia hidup dimana pencitraan/tampilan begitu diagung-agungkan. Setelah wajahnya hancur karena ledakan oleh percobaan kimia di laboratorium, hidupnya seketika itu menjadi jungkir balik. Bagaimana orang mengacuhkan dan mengasingkannya hanya semata-mata karena wajah. Tak terkecuali istrinya sendiri. Ia begitu dendam dan geram pada dunia. Ia jadi pembenci bagi orang lain dan dirinya sendiri. Hidup tak berlaku pantas padanya, lantas ia memutuskan untuk membalaskan dendamnya dengan cara membuat topeng yang paling alami dan sempurna untuk menguji semua orang yang terlalu percaya pada wajah. Dan yang paling utama ia ingin menggunakannya untuk menguji kesetiaan istrinya. Lalu berlanjutlah konflik-konflik pribadi yang menguras jiwa dan emosi itu.
Mengutip teks yang ada di belakang sampul buku ini: "The Face of Another akan membuka rahasia hati orang yang dicampakkan lingkungan terdekatnya hanya karena ia kekurangan hal sepele. Membacanya akan membuat kita tahu makna seraut wajah. Kemunafikan yang disembunyikan di balik senyum menawan, dan betapa orang terdekat malah bisa menikam dari belakang."
Menurut saya buku ini benar-benar psikologi parah. Banyak bertutur tentang keterasingan/alienasi, skeptisisme, eksistensial dan beragam hal kejiwaan lainnya. Penuh dengan  metafora-metafora. Hal ini membuat saya  berhenti mendadak di beberapa bagian untuk sekedar menghubungkan pemahaman di bagian sebelumnya. Buku ini berhasil membuat saya sakit jiwa. Seperti kepingan puzzle yang potongan bagian tengahnya hilang dan setelah dicari kesana kemari ternyata terselip dikeliman baju. Membuat frustasi! Daya tahan sabar saya benar-benar diuji dalam membaca buku ini. Emosi dan letih campur aduk jadi satu. Tapi peluk cium untuk ego tinggi saya yang merasa tertantang untuk menyelesaikannya hingga lembar terakhir. Saya akui si Kobo Abe telah sukses memaksa saya ikut merasakan kekalutan jiwa sang tokoh utama, dan saking kalutnya saya pernah hampir melemparkan buku ini ke kolong ranjang. Jarang-jarang saya mendapati buku dengan efek seperti ini. Sampai membuat saya kehilangan selera makan dan sulit tidur – baiklah, bagian selera makan dan sulit tidur itu saya rasa sudah terlalu berlebihan.
Buku The Face of Another ini adalah buku kedua setelah ‘The Shoes of the Fisherman’-nya Morrist West yang memaksa saya rehat disana sini sebelum melanjutkan perjalanan untuk membacanya setelah berhasil mengumpulkan mood yang berceceran dimana-mana. Buku-buku tipikal seperti ini kadang membuat saya berpikir; terjemahannya yang salah atau sayanya saja yang terlalu bodoh. Hehe...

2. LOLITA
DATA BUKU
Judul            : Lolita
Penulis          : Vladimir Nabokov [1955]
Penerjemah  : Anton Kurnia
Penerbit       : PT. Serambi Ilmu Semesta
Cetakan        : I, Maret 2008
Tebal            : 529 halaman



Penampilan kadang seperti perangkap tikus dengan umpan sekerat keju. Cheesy, itulah kesan pertama saat sekilas melihat cover buku ini. Sangkaan awal saya ini buku tentang remaja/teenlit. Ya gara-gara sampulnya yang ‘renyah’ itu. Karena itulah saya cuekin buku bergambar kaki itu selama beberapa hari dan memperiotaskan buku-buku lain yang saya anggap bagus. Toh saya pikir hanya butuh beberapa jam saja untuk menghabiskannya. Setelah sekian hari dan saat waktu saya sangat senggang dan juga sudah tidak ada lagi buku yang tersisa untuk saya baca, akhirnya saya mengalihkan perhatian pada si Lolita ini. Terkutuklah saya karena sudah berburuk sangka. Perasaan saya sudah tidak enak ketika membaca teks kecil di cover depan buku yang sebelumnya luput dari radar mata saya “Satu diantara tiga novel paling berpengaruh di dunia...” – Time. Sial memang, saya telah menyia-nyiakan jatah sisa hidup saya – bolehlah mendramatisir sedikit, masak kalah sama berita-berita di televisi itu, hehe. Baiklah saya akui buku ini memang keren. Karena berhasil membuat saya kadang harus memelankan laju baca untuk bisa memahami apa yang di maksud penulis – ini karena penulis banyak menggunakan simbol-simbol dan bagaimana cara penulis menggambarkan kondisi kejiwaan si tokoh utama melalui lamunan-lamunannya – namun secara bersamaan hal itu membuat saya ingin segera membacanya hingga tuntas. Ironis yang manis.
FYI: Istilah Lolita menggambarkan tentang perempuan muda yang dewasa/matang secara seksual sebelum waktunya Sedangkan Lolita Syndrome adalah keadaan di mana seorang dewasa, umumnya lelaki, tertarik secara seksual kepada anak-anak pada masa pubernya; kondisi ini juga disebut efebofilia.
‘Lolita berkisah tentang pengakuan seorang profesor setengah baya bernama Humbert Humbert yang terobsesi seorang gadis remaja, Dolores Haze – sang lolita. Untuk bisa berdekatan dengan Dolores, Humbert menikahi ibu gadis itu. Setelah sang ibu tewas dalam kecelakaan, Humbert membawa anak tirinya berkelana mengelilingi Amerika Serikat, menikmati cinta terlarang dengan segala manis getirnya’ – Panggil saya pemalas, bagian ini saya kutip habis-habisan dari teks di sampul belakang buku.
Cerita dalam buku ini secara sadar maupun tidak telah membuat saya memaklumi bagaimana seorang Humbert Humbert begitu terobsesi pada Lolita – si peri asmara [Nymphet]. Cinta penuh hasrat yang tak lazim itu tidak membuat saya langsung menjustifikasinya sebagai abnormal. Ini berkat kepiawaian Vladamir Nabokov mentuturkan secara detail hasrat Humbert terhadap lolita tanpa membuatnya vulgar dengan cara norak dan murahan. 
Coba lihat bagaimana indahnya Nabokov melalui Humbert menggambarkan sosok Lolita; “LOLITA, CAHAYA hidupku, api sulbiku. Dosaku, sukmaku, Lo-li-ta: ujung lidah mengeja tiga suku kata, menyentuh langit-langit mulut, dan pada kali ketiga menyentuh deretan gigi. Lo. Li. Ta.” Dan ini lagi; “Dia adalah Lo yang biasa-biasa saja di pagi hari, setinggi seratus lima puluh senti, mengenakan sebelah kaus kaki. Dia adalah Lola saat mengenakan celana panjang longgar. Dia adalah Dolly di sekolah. Dia adalah Dolores pada data isian bertitik-titik. Namun, dalam pelukanku dia adalah Lolita,” [hlm 15]
Mungkin saya telah bersimpati kepada si Humbert ini karena rasa kasihan saya padanya; pria kesepian yang rapuh dan kikuk. Dan kadang saya gemas juga pada lolita yang kenes, misterius serta pembangkang yang kadang lihai mempermainkan dan memanfaatkan rasa cinta Humbert yang berlebihan kepadanya. Namun kadang rasa simpati dan gemas itu saling bertukar tempat; kadang saya kasihan pada Lolita, kadang juga saya bisa gemas pada tokoh Humbert. Inilah kehebatan Nabokov dalam melukiskan nuansa psikologis tokoh-tokohnya.
Dan meskipun katanya ini adalah buku yang kontroversial tapi saya tidak melihat ada yang salah dalam buku ini. Buku yang indah. Bacalah bacalah bacalah... :]

3. TANAH TABU
DATA BUKU
Judul          : Tanah Tabu
Penulis        : Anindita S
. Thayf

Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Cetakan      : I, Mei 2009
Tebal          :
240 halaman



"Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Dan air mata hanyalah untuk yang lemah."
Pertama saya sangat suka cover buku ini, sangat berkarakter. Tanah tabu bercerita tentang tiga orang perempuan dari tiga generasi berbeda dengan latar belakang budaya Papua. Tanah Tabu berkisah tentang perjalanan hidup perempuan Papua bersuku Dani, yakni; Mabel,  Mace dan Leksi, bersama-sama berjuang menapaki getirnya hidup dan bertahan di antara ketegangan konflik di daerah mereka.Tokoh-tokoh utama yang begitu tangguh dan tangkas dalam menyikapi hidup dan lingkungannya yang sebenarnya penuh dengan keterbatasan. Dan, kehadiran tokoh Pum dan Kwee di buku ini yang meskipun tak biasa semakin menambah keluarbiasaannya. 
Cerita dalam buku ini akan membuat anda tersentuh dan ber-empati tanpa berusaha untuk menye-menye. Begitu ringan mengalir, meskipun tema yang diangkat berlatar belakang budaya/etnik yang biasanya rumit. Meskipun alurnya bolik balik, itu tak akan membuat otak anda jungkir balik. Berbobot tanpa harus menggunakan istilah-istilah yang abot [berat]. Pantas saja kalau si penulis dinobatkan sebagai pemenang pertama dalam Sayembara Novel DKJ 2008.
Anindita tidak menulis sebuah novel etnografi dengan semangat eksotisme kolonial, melainkan dengan perspektif emik yang penuh empati. Melalui novel ini saya berkenalan dengan Leksi, seorang bocah Papua, yang dengan kenaifannya justru menunjukkan kritisisme cerdas; juga Mabel yang menjadi eksemplar seorang perempuan hebat tanpa perlu ribet dan genit dengan retorika la aktivis perempuan menengah-kota. -Kris Budiman, Kritikus Sastra, Juri Sayembara Novel DKJ 2008-
Intinya, saya sangat teradiksi dengan buku ini. Begitu lembar pertama saya buka, mata dan pikiran saya tidak berhenti memelototinya hingga lembar terakhir. Buku ini seperti sarapan pagi dengan seporsi bubur ayam, sungguh mengenyangkan untuk memulai hari tanpa harus memberatkan kerongkongan untuk menelannya. Selamat menikmati, tenang saja ini tak akan membuat kulit anda berselulit... :]


Tidak ada komentar: