Dia masih perempuan bodoh yang sama. Absurditas yang berulang tak akan
membuatnya bosan – dia menyebut dirinya setengah autis. Dengan kenaifan di
ambang batas normal itu membuatnya berfikiran; ritual tiap tengah malam dengan
mata nanar menantang langit berharap semua dongeng konyol tentang peri itu
benar adanya adalah kewajaran yang seharusnya.
Kau tahu? Dalam bayang retinanya, dari ujung langit sana – yang terbatas
pandang mata – para peri datang menghampiri. Awalnya hanya berupa titik-titik
yang buram dan melelahkan mata. Lantas tak sampai hitungan dua digit detik
titik-titik itu berpendar pendar mendekat padanya. Mereka seperti perkakas
berbahan logam dan ia adalah medan magnetnya. Tampak begitu menyilaukan serupa
serbuk berlian yang disebarkan begitu saja. Dalam jarak kurang dari tiga belas
langkah darinya, kilau-kilau itu membentuk kepak sayap transparan yang sekilas
tampak rapuh. Lantas dalam satu kedipan mata, voila! Mereka benar-benar membuat silau. Membuatnya tak berkedip.
Dengan tampilan bak Barbie bersayap – meski dalam ukuran sekian sentimeter
–siapa yang bisa menolak pesona peri-peri itu? Haturkan sembah sujud pada
televisi! Lantas salah satu dari mereka membisikkan sesuatu ke telinganya
“apakah kau benar-benar siap ikut dengan kami? Dengan segala anonim yang
mungkin akan kau temui di sana?” kepak sayapnya yang berisik hampir menelan
suaranya ke dunia tak berpenghuni. “Tentu saja!” jawabnya. “Tak ada yang lebih
baik dari tempat dimana semuanya tampak tak bernama,” lanjutnya dengan antusias
yang membara. “Baiklah, pejamkan matamu. Berjanjilah kau tak akan membukanya.
Tunggulah perintahku. Jangan takut tersesat, kita akan saling berpegangan
tangan.” Para peri itu lantas meraih tangannya – begitu hangat, sangat kontras
dengan malam yang begitu dingin. Perlahan-lahan tubuhnya melayang menjauhi
bumi. Seperti ada sepasang sayap yang tumbuh di balik punggungnya. Semakin jauh
dan tekanan udara semakin terasa berat. Dadanya mulai terasa sesak.
Seiring ketinggian yang tak terjangkau mata manusia bumi, tubuhnya pun
berotasi semakin masif. Membuat perutnya mual. Punggungnya terasa panas seperti
habis terkena sengatan lebah. Apakah sayapnya mengeluarkan asap? Kalau tak
ingat janji para peri itu ingin rasanya ia membuka mata. Hanya ingin memastikan
apakah ia menuju tempat yang dijanjikan ataukah ia sedang menuju neraka. Ia
benar-benar sudah tak tahan. Semuanya
terasa begitu lama. Mungkin roket tak akan selama itu untuk mencapai ruang
angkasa. Eh, ia seperti tersadar dari koma, kemana perginya tangan-tangan mungil
itu? Tangannya tiba-tiba begitu kebas. Kilatan-kilatan aneh berkelebatan di
kepalanya. Apakah prei-peri itu sengaja menyesatkannya ke antah berantah? Atau
mungkin mereka adalah utusan iblis yang sedang mencari koloni. Ah, siapa yang
tak takut kesepian? Dia mulai merasa gelisah. Serangan tremor memicu kelenjar
keringatnya berproduksi lebih dari biasanya. Begitu dingin membanjiri kulit
ari. Mungkin benar, rasa takut akan neraka mengalahkan segalanya.
Ketika tubuhnya mengawang dan nyaris mati rasa karena rasa nyeri –
benar, percayalah rasa ngeri itu membuat sakit fisik – ia memaksakan diri
membuka mata. Tak semudah yang dibayangkannya, rasanya seperti ketindihan
setan. Memaksa dan terus memaksa. Akhirnya ia bisa mengerjapkan mata.
Benar-benar berhasil membuka mata. Tapi ini tak seperti yang diharapkannya. Ia
tak sedang mengapung di angkasa dengan sayap transparan dan peri-peri imut. Ia
mendapati tubuhnya telentang di atas kasur. Di tempat dan ruang yang sama.
Masih menginjak bumi. Oh Tuhan! Ingin rasanya ia berteriak sekeras-kerasnya.
Tapi ia takut dianggap tak waras. Ia merutuk dalam hati “kenapa selalu berakhir
seperti ini? Brengsek!”
Hahaha… ia tertawa sambil menangis. Malam-malam yang selalu sama. Ia
yakin itu bukan mimpi. Siklus yang repetitif. Diawali dengan menatap nanar
langit di luar berharap peri datang lantas mendapati diri terengah-engah
menatap Langit kamar.
Ia insaf, itu terlalu nyata untuk disebut mimpi. Dan ada satu rahasia
yang ia simpan sendiri, peri-peri itu selalu meninggalkan selembar bulu sayap
di bawah bantalnya. Hampir-hampir lemari rahasianya tak mampu menampung
bulu-bulu itu. Jadi – berulang kali lagi – bagaimana bisa ia menyebut itu hanya
sekedar bunga tidur belaka. Huh, itu sungguh melelahkannya. Berpuluh-puluh
malam yang sama. Ia merasa seperti CD bajakan yang diputar berulang-ulang kali
tanpa jeda, hanya menunggu tamat riwayatnya saja. Tapi ia tak kunjung jera.
Karena ia terlalu bodoh untuk tidak menjadi skeptis dan sinis. Sangkanya dunia
sudah tak semenyenangkan dan semenarik dulu lagi. Dunia menjelma menjadi sosok
nyonya tua astrokat dengan lemak bergelambir dan penuh selulit di sana sini.
Sungguh membosankan mata. Ia ingin sembunyi ke atas sana. Dimana semua hal
sepertinya anonim. Ya, malam nanti ia akan mencoba peruntungannya lagi. Lagi
dan lagi…
*dengan takaran gula satu sendok
dan bubuk kopi tiga sendok mampu membuat mata melek hingga subuh. Walau
kompensasinya perut menjerit keroncongan. Aah… kadang peri itu seperti tuhan.
Kita tahu bahwa tak ada bukti tentang keberadaannya, tapi kita tak menyangkal kemungkinan kalau ia
mungkin ada. Sial! Lagu-lagu sendu dini hari di radio semakin membuat lapeeer…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar