Inilah “sisi dalam” seorang penderita skizofrenia. Hidupnya dikuasai “para iblis” di dalam kepalanya yang selalu menyuruhnya bunuh diri. The Day the Voices Stopped: A Memoir of Madness and Hope [Mereka Bilang Aku Gila: Memoar Seorang Skizofrenik], yang dialihbahasakan oleh Rahmani Astuti dan diterbitkan oleh Qanita, Bandung, ini memaparkan pergulatan pengalaman pribadi penulisnya.
Penukil: Dharnoto
Suara-suara itu datang
tanpa peringatan pada suatu malam bulan Oktober, saat aku berumur 14 tahun. “Bunuh dirimu – bakar tubuhmu,” kata
mereka. Beberapa menit sebelumnya, aku mendengarkan kelompok musik Frankie
Valli and the Four Seasons, dari sebuah radio di samping tempat tidurku.
Suara-suara itu bernada
rendah dan mendesak, mengejek, dan menertawakan, terus berbicara kepadaku dari
radio. “Gantung dirimu. Dunia akan
menjadi lebih baik tanpamu. Tak ada yang baik padamu, tak ada kebaikan sama
sekali.”
Setiap kali aku berada di
dekat pesawat televisi atau radio, suara-suara itu menjadi semakin keras dan
kuat, dan tampaknya semakin banyak jumlahnya. Mereka seakan-akan sedang menulis
dan menyutradai kisah hidupku, menyuruhku melakukan apa yang boleh dan tidak
boleh kulakukan.
Ketika ayahku bertanya
tentang apa yang kami lihat di televisi, apa yang kuketahui, bagaimana
pendapatku, aku melakukan apa yang diperintahkan suara-suara itu: meletakkan
kedua tangan menutupi telingaku dan berbalik memunggungi dia.
Ayah marah besar. Lalu
apa yang dikatakan suara-suara itu? “Anak
tak tahu terima kasih, lihat apa yang telah kamu lakukan. Kamu telah
mengecewakan ayahmu. Orangtuamu layak mendapatkan anak yang lebih baik
daaripada kamu.”
Lalu, ketika Ibu dan Ayah
memberitahuku bahwa mereka sedang menantikan seorang bayi, suara-suara itu
lebih tahu. Mereka telah memastikan bayi itu laki-laki. Mereka membuat
seakan-akan bayi itu bicara denganku. “Aku
akan datang. Aku akan lahir,” calon adikku berbisik dengan bengis dari
dalam perut ibuku yang membesar. “Kamu
harus pergi!”
Aku juga didatangi
bayangan-bayangan aneh: bentuk-bentuk tidak jelas yang bergerak di depan mata
pikiranku.
Terkadang,
bayangan-bayangan itu muncul lebih jelas, tapi hanya selama beberapa detik.
Bayangan-bayangan visual datang dan pergi, tapi suara-suara itu selalu
menemaniku – kadang meraung di telingaku, kadang berceloteh di latar belakang.
Semakin lama aku semakin cenderung mematuhi perintah-perintah mereka.
“Oke, aku akan membakar
diri… Aku akan gantung diri. Ya, ya, aku akan bunuh diri.” Saat itu bulan
Agustus. Setelah aku mendengar ibuku menjerit dan ayahku mengguncang-guncang
tubuhku, barulah aku sadar bahwa aku telah memuntahkan kata-kata itu di ruang
keluarga di depan seluruh keluargaku.
Aku pun lari dari rumah.
Aku lari ke hutan. Malam itu, aku melakukan tiga percobaan untuk mengakhiri
hidupku. Pertama, aku berdiri di atas kursi, lalu mengikat tali itu ke leherku.
Namun, aku tak berhasil menendang kursi itu supaya jatuh. Aku gagal. Aku turun
dari kursi. Dengan airmata bercucuran di wajah, aku mencari cairan bahan bakar
dan menuangkannya ke kepalaku. Aku tak sanggup menyalakan korek dan membakar
diriku.
Suara utusan iblis
Setengah berlari, dalam
kebingungan aku menyeret tubuhku sepanjang satu mil menuju Rute 69, sebuah
jalan padat lalu lintas. Rencanaku, melompat ke depan sebuah mobil. Aku berdiri
di sisi jalan. Namun, aku melihat lampu sorot di atas mobil. Bagaimana jika itu
mobil polisi? Bagaimana jika polisi itu datang untuk menahanku? Dengan panik
aku berlari kembali dari jalan.
Besok malamnya orangtuaku
mengajak menemui Dr. Sullivan. Setelah berbicara denganku, dokter itu bicara
dengan Ayah. Wajah Ayah berubah. Setiba di rumah, aku bertanya pada Ayah
tentang penyakitku. Ayah memberi selembar kertas, bertuliskan: “Skizofrenia.”
Pukul 10.00 kesokan
harinya, aku sudah berada di perpustakaan, mencari arti kata itu di kamus
kedokteran. Ternyata penyakit jiwa!
Suara-suara itu
membesarkan volumenya dan mengejekku.
“Ibu dan ayahmu ingin kamu lenyap dari kehidupan mereka.” Pelan-pelan aku
mulai mempercayai pesan suara itu bahwa setiap orang di rumah menginginkan aku
pergi – setiap orang. Kecuali nenek.
Suatu sore di bulan
Agustus, nenek sedang duduk menjahit. Dengan tergagap karena takut dan malu,
kuceritakan kepada nenek tentang suara-suara itu. Nenek menatapku tajam. Dari
nenek kutahu, suara-suara itu utusan iblis, yang diperintah untuk menyiksaku.
Aku menyatakan perang melawan mereka.
Namun, aku harus mencari
tempat berlindung. Beberapa hari kemudian, aku pergi ke gereja Katolik Roma di
Waterbury. Saat misa, suara pastur diikuti oleh suara-suara yang ada
dikepalaku. “Atas nama Bapa dan Putra dan
Roh Kudus, Kenny mengira bisa terbebas dari kami.” Mereka mengejek. “Kamu tak akan pernah terbebas dari kami.
Tak ada ampunan,” kata satu suara. “Tak
ada pembebasan,” tambah yang lain. “Tak
ada keringanan atas dosa-dosamu,” tegas suara ketiga
Tiba-tiba jemaat gereja
membengkak jumlahnya, semua menatapku dengan pandangan menghina, marah dan
benci. “Musuhmu ada di mana-mana di sekelilingmu. Mereka tahu
kamu dikutuk di neraka. Pergilah, lakukan perintah mereka. Mati.” Sambil
terhuyung-huyung aku lari meninggalkan gereja.
Menurut keyakinan umum,
skizofrenia merupakan penyakit yang diturunkan dalam keluarga. Ketika aku bertanya
apakah ada saudara ibu yang mengidap penyakit mental, ibu ingat ada seorang
bibi dari generasi nenek buyut yang “terus-menerus berbicara dengan Yesus.”
Tidak peduli apapun
alasannya, aku sudah hancur berkeping-keping di mata semua orang. Sebelumnya, aku
murid teladan. Kini aku mulai gagal dalam pelajaran, sering membolos, dan malah
pergi ke mana pun yang dperintahkan suara-suara itu.
Dibayangi suara
Kini aku mengerti,
perubahan yang berarti dalam nilai pelajaran – dari sangat baik menjadi sangat
buruk – merupakan tanda awal seorang anak sedang menghadapi kesulitan. Juga,
mengasingkan diri merupakan salah satu gejala paling umum dari penyakit ini,
dan keluarga harus memperhatikan hal itu. Aku memang tak punya alasan untuk
meninggalkan kamarku. Dalam kepalaku ada bermacam ragam karakter yang membuatku
sangat sibuk.
Pada tahun-tahun awal
penyakit itu aku masih dapat bolak-balik di antara dua duniaku. Namun, aku
terjerembab semakin dalam ke “neraka”, tempat suara-suara itu mengambil alih
kekuasaan atas diriku. Selama lebih dari setahun, aku ketakutan pergi keluar
untuk sekedar mengambil surat karena paranoiaku. Jantungku akan berdegup
kencang dan keringat mengucur di wajahku saat memikirkan bahwa aku harus
berjalan keluar pintu depan. Aku akan mengintip dari balik tirai kamarku,
dengan obsesif mengawasi mobil-mobil dan orang-orang yang lewat.
Bagiku, ayah adalah setan
paling besar. Hubungan kami telah memburuk sampai pada titik saat kami tidak
bisa berada di satu ruangan atau di bawah atap yang sama. Aku takut dia akan
mempergokiku berbicara dengan suara-suaraku, yang terjadi semakin sering.
Membaca dan menulis tetap
menjadi aktivitas satu-satunya dalam hidupku yang dapat membebaskanku dari
suara-suara itu. Jika kupusatkan perhatian pada cerita yang kubaca atau
entri-entri yang kutulis dalam buku harianku, konsentrasi itu akan menurunkan
volume suara-suara itu dan sekali-sekali bahkan dapat membungkam mereka.
Usiaku 17 tahun, usia
yang sudah mencukupi bagi seorang pemuda – dan orang yang tidak bersekolah – untuk
diharapkan mendapatkan pekerjaan dan punya nafkah sendiri. Ayah sudah
memperingatkan, “Saat kamu berumur 18 tahun, semua kewajiban ibumu dan aku atas
dirimu sudah berakhir.”
Akhirnya, aku merantau ke
New York, tingal di apartemen kumuh, sendirian. Aku diterima bekerja sebagai
pesuruh di penerbit Women’s Wear Daily.
Setiap hari Sabtu, aku menenggelamkan diri di New York Public Library. Namun,
buku dan pekerjaanku tak memberi perlindungan bagiku. “Pergilah berjalan-jalan, Kenny. Carilah bangunan yang tepat untuk
melompat. Kamu punya waktu dan kesempatan.” Suara-suara itu terus
menguntitku.
Aku berkenalan dengan
Ted, pemuda rapi dan baik hati, yang sering mentraktirku makan siang. Aku
merasa aman bersamanya. Setidaknya, aku tidak sendirian lagi.
Mengejutkan, sekitar dua
bulan bekerja, aku ditawari posisi sebagai asisten redaksi di Majalah Men’s Wear, terbitan Fairchild lainnya.
Selain bertugas menulis, aku juga membantu redaktur pelaksana soal mesin dan
tata letak.
Celaka, suara-suara itu datang
lagi. “Kamu tak bisa hanya duduk dan
pura-pura sibuk. Mereka berharap kau menangani sesuatu, dan kamu tak akan mampu
melakukannya.” Maka, pikiranku berkeliaran ke dunia suara-suara selama
beberapa jam setiap hari, sementara tubuhku tetap di depan mejaku. Tiba-tiba,
redaktur pelaksana berdiri di depanku, “Kau belum menyelesaikan pekerjaan itu?”
Ia mengambil bahan tulisan di tanganku, “Kau jelas-jelas belum mengoreksinya
dengan teliti!”
Aku semakin sering
berbuat kesalahan, semakin sering diperingatkan, tapi siksaan mental itu
mencegahku mempedulikan peringatan itu. Ada kekuatan besar mempengaruhi
hidupku. Hanya enam bulan aku berhasil bertahan di dunia kerja yang nyata. Aku diberhentikan.
Terperosok jadi pelacur
Akhir agustus 1966,
uangku tinggal beberapa dolar dan aku pasti diusir dari kamarku karena tak
mampu membayar sewa. Ted menemuiku dalam tampang yang berantakan. Ia menyuruhku
membersihkan tubuh, memakai celana jins putih ketat, dan menyisir rambutku.
Di sebuah kafe, ia
mengenalkan pada Nick, yang menanyakan keadaan keuanganku. Ia langsung ke inti
pembicaraan, “Sekarang kau bekerja untukku.” Lalu ia mengemukakan pengaturan untuk
“mempekerjakan” aku, “Teddy akan memberi tempat tinggal, makan, dan pakaian
padamu. Teddy yang akan memakaimu pertama kali, sebab dia yang merekrutmu. Aku
akan memakai kamu kalau aku sedang ingin nanti. Akan ada para pelanggan –
pria-pria lebih tua – yang menyukai anak-anak muda. Tugasmu membuat mereka
senang. Semua janji dan pengaturan uang aku yang tangani. Kamu berikan setiap
tip dan hadiah padaku, dan aku akan meberikan sebagian jika kupikir itu layak
kau peroleh. Jelas?”
Selesai berhubungan seks
dengan Ted di apartemennya, suara-suara itu datang lagi. “Bagaimana pendapat pendeta tentangmu sekarang? Apa kata nenek jika dia
tahu apa yang dilakukan si kecil Kenny?... kau pelacur lelaki menjijikkan.
Bocah busuk, kau benar-benar layak mati. Mati. Mati.”
Benar, dengan sebagian
dari diriku yang telah mati, masuklah aku ke dunia prostitusi pria. Menjadi
pelacur seperti ini ada persamaannya dengan penderita skizofrenia: hal yang
aneh dianggap normal. Aku menjadi kedua-duanya sekaligus.
Sebagai pendatang baru,
aku sangat laris. Namun, sesudah berkencan dengan beberapa pelanggan, larut
malam atau dini hari, aku kembali ke apartemen, dan Ted telah menungguku untuk
mengambil “jatah”-nya. Melayani sekaligus semua lelaki, aku tak kuat lagi. Ted
bilang, itu bagian dari kontrak kami. Ia lalu menyuruhku menemui Nick.
Hiii … bos berwajah seram itu. Memasuki apartemen mewahnya, hatiku
berdegup. Ia menungguku tanpa kemeja. Dada dan punggungnya penuh bulu, aku
jijik. Berkilah mau membersihkan diri, aku langsung kabur. Memang, sebaiknya
aku mengikuti saja perintah suara-suara itu. Lagi pula aku tak membayangkan jika
Ted dan Nick serta para begundalnya bisa menemukan diriku. Lebih baik kurancang
sendiri kematianku.
Aku sudah berada di tepi
atap sebuah bangunan. Kakiku menggantung di sisinya, dan memandang ke bawah, mencoba
menentukan titik paling tepat untuk menjatuhkan tubuhku di atas tanah. Hanya
saja, dalam sekejap atap dipenuhi banyak sekali orang – polisi, petugas pemadam
kebakaran, petugas ambulans, dan suara-suaraku. “Lihat semua orang itu. Mereka ke sini untuk mendorongmu jatuh jika
kamu tak melakukannya sendiri. Pengecut. Lakukan sekarang.”
Seorang lelaki berjas
dengan lembut membujukku, “Aku bisa membantumu. Ada obat yang membuat
suara-suara dalam kepalamu pergi. Mari
ikut aku.” Kubiarkan ia merengkuh tanganku. Tanpa disentuh oleh polisi, ia
membawaku ke ambulans di bawah. Dalam keadaan dipegangi dan diikat ke tempat
tidur, aku dibawa ke unit gawat darurat Manhattan State Hospital di Wars
Island. Saat itu, Desember 1966, lebih empat tahun sejak suara-suara itu
mengangguku.
Labirin psikotik
Rumah gila. Kini aku
berada di dalamnya. Suntikan obat penenang thorazin dosis tinggi membuatku
lemah dan buta sementara. Aku terbaring selama dua bulan lebih, dan tak ingat
apa pun.
Setelah kelopak mataku
dibuka paksa dan bisa melihat kembali, aku dibawa menghadap ke sidang para
dokter dan hakim. Kata salah seorang, “Anda punya saudara selain keluarga dekat
untuk bisa kami hubungi? Kami telah hubungi orangtua Anda, tapi mereka bilang,
umur Anda sudah18 tahun, dan hidup mandiri.”
Jantungku melesak. Aku
telah didepak oleh orangtuaku! Tak ada seorang pun di atas bumi ini yang peduli
denganku. Aku mulai bicara, tapi kata-kata itu tumpang tindih satu sama lain,
terputar balik, tak dapat dimengerti. Apa yang terjadi padaku? Aku berjuang
mengungkapkan satu pikiran, “Tolong. Aku tak tahu apa yang sedang menimpaku.”
Namun, yang didengar dokter, aku hanya berceloteh.
Untunglah, di tengah
komunitas yang mengerikan ini, masih ada perawat yang mau membawakan aku
beberapa Majalah Reader’s Digest dan
buku Catcher in the Rye. Tenggelamlah
aku dalam bacaanku, terpisah dari dunia orang-orang gila itu.
Ketika aku mulai betah,
dan memiliki seorang sahabat senasib, Anthony, suatu hari seseorang datang
menjengukku ke rumah sakit. Ah, Teddy. Mengaku sebagai familiku, ia mengajakku
kabur. Setiba di apartemennya, Ted langsung membawaku ke tempat tidur. Setelah
selesai, kutegaskan bahwa aku tak mau jadi pelacur lagi. Ted mengingatkan agar
aku jangan main-main dengan Nick, “Dia mengharapkan kau kembali. Dia bahkan
sudah mencatat daftar panjang untuk
kencanmu.”
Setelah berbaur dengan
pergaulan keras orang-orang sakit jiwa di rumah sakit, Nick bukan lagi sosok
yang menakutkan bagiku. Dengan naik taksi aku kembali ke rumah sakit. Aku
dikirim ke Harlem Valley State Hospital. Sayang, para stafnya tak terlalu suka
membantu. Tak ada yang mau membawakanku buku. Atmosfer di sini amat berbau
seks. Lebih dari sekali aku memergoki hal itu di kamar mandi.
Beberapa malam kemudian ,
dua orang pria memasuki kamarku. Aku kira mereka petugas. Mereka memerintahkanku
untuk bangun. Mereka mengikat tanganku di belakang dan menutup mataku dengan
kain kasar, lalu membawaku ke kamar mandi. Mereka membasahi dan menyabuni
tubuhku. Aku tak bisa bergerak sama sekali. Mereka menyeretku ke kamar
pengasinganku kembali. Lalu, mereka bergantian menindihku. Gelombang demi
gelombang kesakitan yang semakin meningkat kurasakan di seluruh tubuhku.
Suara-suara itu menyorakiku.
“Pelacur … babi betina … kamu Cuma seonggok daging. Kamu jadi budak
sekarang, pelayan semua pria. Kami menyuruhmu untuk mati. Gantunglah dirimu.
Selesaikan ini, Kenny. Akhiri ceritanya di sini.”
Aku dilarikan ke sebuah
rumah sakit kecil di dekat Connectikut, menjalani pembedahan untuk memulihkan
luka pada otot lingkar dubur akibat perkosaan itu. Lewat televisi yang
dinyalakan perawat di kamarku, suara-suara itu datang lagi. Berbeda dengan
sebelumnya, mereka mencurahkan perhatian pada kemarahanku. “Kamu harus membalas dendam, Kenny. Beri mereka pelajaran. Kami mencari
cara supaya kamu bisa membalas dendam sampai tuntas.”
Setelah dirawat tiga
minggu, aku dikembalikan ke Harlem Valley, ke ruang perawatan yang dihuni para
manula. Beberapa menganggapku anak atau cucu mereka. Dua orang nenek menyatakan
bahwa aku ayahnya. Yang lain percaya bahwa aku suaminya dan mencaciku karena
tak mau menemaninya. Ada yang berkeras dialah presiden Amerika Serikat. Ada
pula dua pria yang mengaku sebagai Musa. Dua orang lainnya menyatakan diri
sebagai Yesus.
Beberapa bulan di sini,
aku masuk daftar pembebasan. Anthony, sahabatku, dibebaskan lebih dulu. Setelah
aku dan Anthony saling mengucapkan selamat tinggal, Tuan Marks, pekerja
sosialku, berkata, “Jika kamu punya keluarga yang memintamu pulang, kesempatan
dibebaskan jauh lebih besar. Tapi itu mustahil. Orangtuamu punya anak kecil dan
mereka tak berani menanggung akibatnya.”
Ayah ibuku telah
menghubungi rumah sakit, telah bercerita tentang adikku, malah telah
mengirimiku uang. Namun, mereka tak pernah mengunjungiku, bahkan tak pernah
meneleponku. Jika orangtuaku mau mendampingiku sajak awal dan mau mendukungku,
mungkin akan berpengaruh baik pada penyakitku.
“sudah kami bilang kalau ini akan terjadi. Bayi itu sendiri sudah
memberitahumu, dulu sekali ketika ia masih ada di perut ibumu.” Suara-suara
itu seperti mendapat kemenangan. Aku mulai lebih sering berpikir tentang bunuh
diri. Aku bertanya-tanya, hidup saperti apa yang terbentang di depanku.
Satu-satunya teman sejatiku, Anthony, sudah pergi, dan aku sudah dibuang
keluargaku sendiri. Mungkin aku memang akan dibebaskan suatu hari – tapi untuk
apa? Aku belum pernah merasakan begitu sendirian sebelumnya.
Menemukan jati diri
Hanya suara-suara itulah
yang kumiliki. Mereka mendesakku untuk melarikan diri. Kadang-kadang aku
melihat suara-suara itu. Penampakan itu nyata – dan mengerikan. Si Penguasa,
yang suaranya paling dominan, adalah iblis – bukan setan dengan wajah merah dan
bertanduk, melainkan seekor makhluk serigala yang lebih besar daripada serigala betulan, berdiri tegak
dengan dua kaki. Suara-suara lain, setan-setan yang lebih kecil, adalah
sekawanan anjing, tapi juga manusia.
Mengikuti instruksi
mereka, akhirnya aku melarikan diri ke Boston. Dua bulan aku berkeliaran di
kota ini, tidur di emperan toko, membuat tempat tidur dari daun-daun kering di
taman. Untuk makan, aku mengais-ngais kotak sampah di belakang restoran,
bersyukur jika menemukan sisa makanan yang telah dibuang. Orang-orang menyisih
saat aku lewat.
Ah, aku tertangkap lagi.
Aku tetap membisu karena lelah berbicara. Akibatnya, aku dikirim ke Westboro
State Hospital. Di sini aku mengganti identitas, bahkan namaku menjadi K.
Shannon Steele. Dengan penuh pengertian, seorang perawat memperhatikan
perubahan dalam diriku. Aku ditempatkan di rumah transisi, Kampus Westboro,
tempat para pasien yang dianggap bisa hidup lebih mandiri.
Di sini aku menunjukkan
bakatku sebagai koki kepala. Bahkan, aku diterima bekerja di suatu panti wreda.
Inilah periode stabil bagiku. Saat-saat paling produktif, ketika aku berhasil
membangun harga diri. Aku membutuhkan pekerjaan yang dapat memberi makna dan bukannya diberi tugas untuk sekedar
membuatku sibuk.
Dua minggu bekerja di
dapur panti wreda, aku dipanggil kepala perawat. Aku ditawari jadi asisten
perawat. Kujalani tugas itu, yang selama delapan bulan mendekatkan aku pada
kehidupan normal. Tiba-tiba, suatu malam aku mendapat kabar, perawat McCarthy
yang telah berjasa padaku itu diserang pasien yang baru masuk. Bayi yang dikandung
perawat itu lahir prematur, hanya bisa bertahan hidup tiga minggu.
Suara-suara itu langsung
menyerangku. “Jika bukan karena kamu,
perawat McCarthy tak akan kehilangan bayinya. Dia berencana cuti hamil, tapi
kamu datang. Ada korban bayi lagi, kau tahu? Berapa banyak lagi orang yang akan
kau sakiti? Kau harus mati supaya orang lain hidup. Kapan kau akan menjalankan
perintah kami? Bunuh diri, itulah satu-satunya jawaban.”
Dilanda badai psikotik
seperti itu, aku jadi jijik pada diri sendiri. Aku sudah berusaha keras meraih
kehidupan yang berguna, tapi setiap usaha justru mendatangkan bencana dan aku
kembali di tempatku semula: terkutuk berkelana di dunia sendirian.
Cepat kukemasi barang,
lalu aku kembali ke jalanan. Tidur di toilet umum. Terpaksa menumpang
trailer-traktor zbesar menuju Chicago, dengan imbalan “pelayanan seksual
tertentu.” Dari sopir itu aku berkenalan dengan alkohol, yang ternyata
membantuku meredakan suara-suara itu.
Melompat dari Golden Gate
Aku terseret lagi masuk
dunia gay, dan “ditemukan” seorang anak jutawan, Karl, yang membawaku pergi
naik pesawat dan tinggal di hotel berbintang. Aku sangat terpukul ketika
beberapa hari kemudian Karl ditemukan mati bunuh diri.
Kembali kususuri jalanan
Kota Denver, meringkuk di emperan toko. Suara-suara itu menuntunku berjalan
satu setengah hari menyusuri Highway 25, menunggu truk berukuran besar untuk
melemparkan tubuhku di depannya. Sayang, polisi meringkusku, dan mengirimku ke
Pueblo State Hospital di Pueblo, Colorado. Aku diasingkan dalam sebuah lemari
besar. Amat tersiksa. Beruntunglah orangtuaku turut campur mengeluarkan aku
dari “neraka” ini.
Setelah sepuluh tahun
menghilang, akhirnya aku diterima kembali di rumah orangtuaku. Adikku Joey
sudah besar. Hubungan kami kembali menghangat, meskipun ayah tetap terus
mengawasiku. Aku diterima bekerja di pabrik di tengah kota Waterbury. Di rumah,
kami makan malam bersama. Sungguh keluarga bahagia.
Namun, ih … suara-suara itu membujukku untuk
meniru kematian seorang wanita muda, Karen Ann Quinlan, yang menemui ajal
setelah meminum obat anti cemas, valium dan Librium, sekaligus. Perbaduan ini
bisa menyebabkan mati otak. Ya, aku ingin membunuh otakku agar suara-suara itu
tak mengangguku lagi.
Begitulah, suatu pagi di
bar dekat pabrikku, aku menelan semuanya, dibantu alkohol. Tiba-tiba aku
pingsan. Polisi memenjarakan aku. Ayah datang membayar uang jaminan. Aku boleh
pulang. Esoknya, dengan amat marah ibu melemparkan koran Waterbury Republican
ke wajahku. Di dalamnya tertulis, Kenneth Steele ditangkap dengan tuduhan: tindakan cabul, melawan penangkapan, perilaku
mengacau, menganggu ketenangan.
Aku terpaksa “membuang
diri” kembali dari lingkungan keluarga. Apalagi Ayah berkata tegas, “Begitu
urusanmu selesai, kuharap kau pergi dari sini dan tak pernah kembali lagi.”
Kuputuskan masuk kembali ke rumah sakit jiwa, Norwich State Hospital di tenggara
Connecticut. Dua tahun aku di sini. Berperilaku baik, lalu diterima di rumah transisi,
dan menjadi asisten perawat di suatu panti wreda. Aku pun berjuang mengurangi
kebiasaan merokok, dari tiga pak sehari menjadi hanya satu pak.
Aku mengumpulkan uang
untuk satu tujuan baru. Apakah itu? Aku ingin terbebas dari suara-suara itu,
karenanya harus punya uang untuk naik bus dari Connecticut ke San Fransisco,
menyisakan sedikit uang untuk makan dan sewa kamar setiba di sana. Sisa itu tak
usah banyak-banyak. Toh, aku berniat bunuh diri dengan melompat dari Jembatan
Golden Gate!
Matikah Ken Steele?
Ternyata, dunia nyata selalu “menyelamatkan”-nya. Epimenides, peramal Kreta
yang hidup pada abad ke-6 SM, berkata, “Ada kesenangan menjadi gila yang tak
dapat dirasakan oleh orang lain kecuali orang gila.”
Ken merasakannya.
“Suara-suara itu telah mengisi tempat khusus dalam hidupku. Tanpa mereka, aku
merasa sendirian.”
Post-scriptum: ini adalah salah satu
tulisan di majalah Intisari edisi Maret 2005 No. 500 Tahun XLI. Saya suka
nukilan ini. Untuk menunjukkan loyalitas saya sebagai seorang penyuka maka saya
melakukan pengorbanan dengan mengetik ulangnya untuk di posting di sini. Karena ini masih dalam suasana natal dan tahun
baru saya ingin berbagi kesukaan dengan siapa saja, salah satu dari sekian
kesukaan saya tentu saja. Semoga ini bisa menjadi bingkisan yang berkenan… :]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar