Sabtu, 01 Desember 2012

DEAR SUPERHAN


 gambar diambil dari sini


Dear, han
Bagaimana keadaan di sana? Berikan aku gambaran untuk membayangkannya. Sebuah dunia semacam utopia yang kau janjikan di kitab-kitab suci itu, apakah masih di sana?

Apakah masih perlu kutanyakan bagaimana keadaanmu di sana? – Huh, sebenarnya aku sangat tidak suka kalimat ini. Sebuah hal yang biasa sebenarnya tapi menjadi sebuah keharusan yang memaksa kita untuk menuliskannya di awal kalimat sebuah paragraf dalam sebuah surat. Basi sekali kan? Tetapi harus! – biar kutebak! Pasti semakin sulit mengendalikan semua hal yang terjadi di kosmik ini. Bagaimana manusiamu ini semakin rumit dan kompleks saja, sekaligus ambisius. Hati-hati suatu saat kami bisa menggantikan posisimu. Kami akan menyabotase segala hal yang dulu seakan mustahil bagi kami. Lihat, bahkan kami sudah sampai pada proyek menghidupkan kembali orang mati, atau melakukan reproduksi ulang pada zat yang tak kasat mata bernama nyawa – masih dalam tahap penelitian tentu saja.
Tapi karena aku tahu kamu keren, aku yakin kamu pasti bisa ‘menangani-segala-sesuatunya’. Lha Superman yang hasil buatan manusia yang notabene hasil buatanmu juga bisa menyelamatkan dunia dan dengan heroiknya melakukan hal-hal mustahil lainnya. Aku percaya seyakinnya kamu lebih keren daripada Superman maupun Iron Man

Han, pasti wajahmu cemberut melihat keadaanku yang sekarang ini. Betapa kita jarang mengobrol, berasyik masyuk seperti dulu lagi. Dari dulu aku yang badung ini memang jarang menemuimu lewat ritual-ritual religius yang sudah digariskan lewat wahyu nabi itu – lebih memilih khusyuk sembahyang di depan televisi dan komputer daripada menyentuhkan kening pada permukaan sajadah. Lebih asyik membaca koran daripada Qur’an. Dan sekarang ini lebih parah lagi, aku seakan-akan sudah tak mengacuhkan kehadiranmu lagi. Aku cuek, aku apatis padamu.
Sebenarnya di ceruk otakku yang paling dasar, aku sangat mengkawatirkan hal ini. Hal yang dari dulu sangat ingin aku hindari, yaitu membencimu. Aku tak ingin membencimu. Membencimu berarti membenci diriku sendiri. Aku bukan narsis hanya egois. Oh, lihatlah han! Lagi-lagi aku meninggikan benteng di seluruh penjuru mata angin keberadaanku. Membuat pembenaran dengan menjauhkan kesalahan pada diri sendiri. Dasar manusia egois, tenggelam sana di lautan penuh teripang dan belibis! *sigh

Han, dulu kau sangat tahu aku kan? Meskipun sebandel apapun, aku masih ingat padamu. Menganggapmu sebagai teman paling keren sejagat raya. Teman yang tak banyak menuntut dan tak banyak bertanya. Engkau adalah yang paling tulus dan tanpa pamrih. Saat semua berpaling membelakangiku, engkau masih setia disampingku. Duduk menemaniku. Saat hidup begitu tak adil padaku dan memaksaku untuk mengusap air mata – engkau tak keberatan untuk meminjamkan ujung bajumu demi menyeka titik-titik air di pipi yang belum tenta reda, masih ada rinai di sana. Saat dunia memalu kepalaku dan membuat berat leherku untuk memanggulnya – engkau tanpa sungkan menyodorkan pundakmu untuk tempatku bersandar demi sekedar melepas lelah barang sejenak. Hidup memang penat, tapi menyadari keberadaanmu membuatnya tak lagi sepat.
Engkau adalah teman maha keren. Sebandel apapun aku, engkau masih tak jera bermain-main denganku. Di tanah lapang kita bermain layang-layang. Di lembah yang cekung kita bermain berlomba menangkap capung.
Han, senakal apapun aku, engkau hanya menghukumku dengan jeweran di telinga yang mudah untuk dilupa. Lalu kita bermain-main lagi, lagi dan lagi. Kapan aku kunjung jera, bila aku punya teman sekeren dirimu? Sebagaimana yang masuk dalam hitungan sangat-kikuk-bersosialisasi, engkau adalah boneka barbieku – ah tidak, aku tidak suka warna pink – kau adalah boneka teddy bear-ku, si coklat yang menggemaskan yang membuatku tak terobsesi untuk menjadi tinggi, langsing, putih dan berambut lurus panjang.
Salah kalau menyebutmu adalah teman imajinerku. Engkau adalah nyata. Hidup di sini dan di sini.

Dulu itu, kau adalah teman maha keren bagiku. Kita bisa berbincang berjam-jam lamanya hanya ditemani dengan secangkir kopi. Aku bebas menumpahkan sesuatu apapun padamu tanpa memberi penghakiman dan solusi-solusi menggurui. Engkau tak pernah mengeluh mendengar segala sumpah dan keluh kesahku.
Meskipun kau tahu aku brengsek karena kadang hanya mau mengobrol dan bertemu denganmu kalau sedang ada masalah  yang begitu sulit tertanggungkan. Apakah itu manusiawi atau kampret sekali? Bah!

Han, kadang aku heran kenapa engkau yang hebat sekali dan maha keren itu masih tahan dengan manusia dalam spesies dan habitat seperti ini. Padahal aku ini sangat egois padamu, datang dan pergi sekehendak hati tanpa mau peduli apa sih yang kamu ingini. Engkau itu maha, pantas disembah sujud syukuri. Aku merasa kamu itu sangat membumi – entah apa aku saja yang membuatnya begitu – tapi akhir-akhir ini kau tak terlihat seperti itu lagi, banyak pemujamu yang merasa sok tahu tentangmu dan memutarbalikkan segala aturan yang melekat padamu. Hell!
Meskipun begitu asal kau tahu aku masih menganggapmu maha keren. Karena engkau tak seremeh itu untuk ditendang ke tempat sampah.

Tapiii... lihatlah aku yang sekarang ini. Begitu menafikanmu. Aku sedang tak berubah menjadi tokoh Hasan di novel Atheis. Aku hanya sedang dalam titik dimana semuanya terasa kebas. Dimana semuanya seperti keliman baju yang tak diacuhkan keberadaannya.

Han, semoga kau sabar denganku. Percayalah ini bukan permanen. Ini hanya semacam anestesi dan aku mengalami tidur yang tidak panjang. Suatu saat aku akan sadarkan diri, meskipun luka yang ada di dalam sini entah sembuh total atau masih menyisakan sayatan perih.

Han... kadang aku rindu masa itu. Betapa mesranya kita. Ngobrol panjang lebar sambil ngopi. Membiarkan dirimu berputar-putar liar di kepalaku. Berimaji bersamamu dalam rinai hujan. Betapa intimnya kita. Membuat iri seluruh kosmik.
Han, aku kangen. Semoga kita sampai ke rasa itu dan tak pergi-pergi lagi. Dimana malam hari tak lagi menakutkan dan enggan.

Sudah ya han, sampai jumpa lagi. Peluk dan cium serta dekap hangat untukmu...


Tidak ada komentar: