gambar diambil dari sini
Dear, han
Bagaimana keadaan di sana? Berikan aku
gambaran untuk membayangkannya. Sebuah dunia semacam utopia yang kau janjikan
di kitab-kitab suci itu, apakah masih di sana?
Apakah masih perlu kutanyakan
bagaimana keadaanmu di sana? – Huh, sebenarnya aku sangat tidak suka kalimat
ini. Sebuah hal yang biasa sebenarnya tapi menjadi sebuah keharusan yang
memaksa kita untuk menuliskannya di awal kalimat sebuah paragraf dalam sebuah
surat. Basi sekali kan? Tetapi harus! – biar kutebak! Pasti semakin sulit
mengendalikan semua hal yang terjadi di kosmik ini. Bagaimana manusiamu ini
semakin rumit dan kompleks saja, sekaligus ambisius. Hati-hati suatu saat kami
bisa menggantikan posisimu. Kami akan menyabotase segala hal yang dulu seakan
mustahil bagi kami. Lihat, bahkan kami sudah sampai pada proyek menghidupkan
kembali orang mati, atau melakukan reproduksi ulang pada zat yang tak kasat
mata bernama nyawa – masih dalam tahap penelitian tentu saja.
Tapi karena aku tahu kamu keren, aku
yakin kamu pasti bisa ‘menangani-segala-sesuatunya’. Lha Superman yang hasil
buatan manusia yang notabene hasil buatanmu juga bisa menyelamatkan dunia dan
dengan heroiknya melakukan hal-hal mustahil lainnya. Aku percaya seyakinnya
kamu lebih keren daripada Superman maupun Iron Man
Han, pasti wajahmu cemberut melihat keadaanku
yang sekarang ini. Betapa kita jarang mengobrol, berasyik masyuk seperti dulu
lagi. Dari dulu aku yang badung ini memang jarang menemuimu lewat ritual-ritual
religius yang sudah digariskan lewat wahyu nabi itu – lebih memilih khusyuk
sembahyang di depan televisi dan komputer daripada menyentuhkan kening pada
permukaan sajadah. Lebih asyik membaca koran daripada Qur’an. Dan sekarang ini
lebih parah lagi, aku seakan-akan sudah tak mengacuhkan kehadiranmu lagi. Aku
cuek, aku apatis padamu.
Sebenarnya di ceruk otakku yang paling
dasar, aku sangat mengkawatirkan hal ini. Hal yang dari dulu sangat ingin aku
hindari, yaitu membencimu. Aku tak ingin membencimu. Membencimu berarti
membenci diriku sendiri. Aku bukan narsis hanya egois. Oh, lihatlah han! Lagi-lagi
aku meninggikan benteng di seluruh penjuru mata angin keberadaanku. Membuat
pembenaran dengan menjauhkan kesalahan pada diri sendiri. Dasar manusia egois,
tenggelam sana di lautan penuh teripang dan belibis! *sigh
Han, dulu kau sangat tahu aku kan? Meskipun
sebandel apapun, aku masih ingat padamu. Menganggapmu sebagai teman paling
keren sejagat raya. Teman yang tak banyak menuntut dan tak banyak bertanya.
Engkau adalah yang paling tulus dan tanpa pamrih. Saat semua berpaling
membelakangiku, engkau masih setia disampingku. Duduk menemaniku. Saat hidup
begitu tak adil padaku dan memaksaku untuk mengusap air mata – engkau tak
keberatan untuk meminjamkan ujung bajumu demi menyeka titik-titik air di pipi
yang belum tenta reda, masih ada rinai di sana. Saat dunia memalu kepalaku dan
membuat berat leherku untuk memanggulnya – engkau tanpa sungkan menyodorkan
pundakmu untuk tempatku bersandar demi sekedar melepas lelah barang sejenak.
Hidup memang penat, tapi menyadari keberadaanmu membuatnya tak lagi sepat.
Engkau adalah teman maha keren.
Sebandel apapun aku, engkau masih tak jera bermain-main denganku. Di tanah
lapang kita bermain layang-layang. Di lembah yang cekung kita bermain berlomba
menangkap capung.
Han, senakal apapun aku, engkau hanya
menghukumku dengan jeweran di telinga yang mudah untuk dilupa. Lalu kita
bermain-main lagi, lagi dan lagi. Kapan aku kunjung jera, bila aku punya teman
sekeren dirimu? Sebagaimana yang masuk dalam hitungan
sangat-kikuk-bersosialisasi, engkau adalah boneka barbieku – ah tidak, aku
tidak suka warna pink – kau adalah boneka teddy bear-ku, si coklat yang
menggemaskan yang membuatku tak terobsesi untuk menjadi tinggi, langsing, putih
dan berambut lurus panjang.
Salah kalau menyebutmu adalah teman
imajinerku. Engkau adalah nyata. Hidup di sini dan di sini.
Dulu itu, kau adalah teman maha keren
bagiku. Kita bisa berbincang berjam-jam lamanya hanya ditemani dengan secangkir
kopi. Aku bebas menumpahkan sesuatu apapun padamu tanpa memberi penghakiman dan
solusi-solusi menggurui. Engkau tak pernah mengeluh mendengar segala sumpah dan
keluh kesahku.
Meskipun kau tahu aku brengsek karena
kadang hanya mau mengobrol dan bertemu denganmu kalau sedang ada masalah yang begitu sulit tertanggungkan. Apakah itu
manusiawi atau kampret sekali? Bah!
Han, kadang aku heran kenapa engkau
yang hebat sekali dan maha keren itu masih tahan dengan manusia dalam spesies
dan habitat seperti ini. Padahal aku ini sangat egois padamu, datang dan pergi
sekehendak hati tanpa mau peduli apa sih yang kamu ingini. Engkau itu maha,
pantas disembah sujud syukuri. Aku merasa kamu itu sangat membumi – entah apa aku
saja yang membuatnya begitu – tapi akhir-akhir ini kau tak terlihat seperti itu
lagi, banyak pemujamu yang merasa sok tahu tentangmu dan memutarbalikkan segala
aturan yang melekat padamu. Hell!
Meskipun begitu asal kau tahu aku
masih menganggapmu maha keren. Karena engkau tak seremeh itu untuk ditendang ke
tempat sampah.
Tapiii... lihatlah aku yang sekarang
ini. Begitu menafikanmu. Aku sedang tak berubah menjadi tokoh Hasan di novel
Atheis. Aku hanya sedang dalam titik dimana semuanya terasa kebas. Dimana
semuanya seperti keliman baju yang tak diacuhkan keberadaannya.
Han, semoga kau sabar denganku.
Percayalah ini bukan permanen. Ini hanya semacam anestesi dan aku mengalami
tidur yang tidak panjang. Suatu saat aku akan sadarkan diri, meskipun luka yang
ada di dalam sini entah sembuh total atau masih menyisakan sayatan perih.
Han... kadang aku rindu masa itu.
Betapa mesranya kita. Ngobrol panjang lebar sambil ngopi. Membiarkan dirimu
berputar-putar liar di kepalaku. Berimaji bersamamu dalam rinai hujan. Betapa
intimnya kita. Membuat iri seluruh kosmik.
Han, aku kangen. Semoga kita sampai ke
rasa itu dan tak pergi-pergi lagi. Dimana malam hari tak lagi menakutkan dan
enggan.
Sudah ya han, sampai jumpa lagi. Peluk
dan cium serta dekap hangat untukmu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar