Jumat, 30 November 2012

DELICICHAOS



 gambar diambil dari sini


Kadang dalam kepala saya yang carut marut kayak benang kusut ini, terbersit sebuah tanda tanya besar besar dengan blok tebal seperti ini; peperangan, kejahatan, konflik agama, rasisme, pengkastaan selera, bentrok antar tetangga, teroris, gempa bumi, gunung meletus, perebutan kekuasaan, popularitas yang mengadiksi, fanatisme brutal, pengerukan materi, sensualitas hiburan yang membuat ejakulasi dan kontra-kontra humanity dan morality lainnya adalah sebuah-keharusan-dalam-hidup-dan-kehidupan-ini. Mungkin anda akan menista saya senista nistanya karena melintaskan pikiran seperti ini. Sebuah pemikiran yang tidak pro dengan perdamaian dan kemanusiaan. Eh, jangan terlalu gegabah anda, saya pun punya mimpi tentang bumi yang damai pun demikian dengan semua orang. Hanya orang tak waras saja yang pengen hidup dalam chaos dan perang berkepanjangan. Jadi kalau begitu saya yang tak waras atau mimpi-mimpi itu yang perlu dipertanyakan kewarasannya? Nyatanya saudara, hidup tak seindah teori-teori zaman pertengahan, mengulas dan mengupas sehabis-habisnya tentang hidup yang ideal, hidup yang utopis – ya, utopis saudara, anda hanya akan menemukan di surga kehidupan yang seperti itu. Jadi matilah saja dulu agar bisa studi banding ke sana, itupun kalau anda beruntung. Teori-teori itu hanya membuat keren dan berkesan pada teman mengobrol anda, membuat anda terlihat intelek dan berbudaya tinggi saat mencantumkannya dalam kutipan-kutipan tulisan anda. Hm, suka atau tak suka, mengamini atau tidak, hidup nyatanya memang tak semanis barisan teori-tori kritis yang menghipnotis!

Apakah saya terdengar skeptis? Lihatlah televisi dan surat kabar, dan anda akan tahu jawabannya. Berita-berita seperti itu sangat menguntungkan media, ia seperti kharisma yang memberi nilai jual. Apakah manusia sudah mulai teradiksi dengan hal yang bertensi tinggi? Karena kita dicekoki berita buruk setiap hari? Entahlah. Kalau damai hanya sebatas mimpi, apakah kita harus ‘tidur selamanya’ dulu baru bisa merasakan sebuah kedamaian yang permanen dan solid? Entahlah juga. Mungkin secara temporary anda bisa membeli tiket damai di gedung bioskop, bisa mengunyah kudapan sambil menelanjangi dunia utopis nan absurd di televisi. Jadi apalah penghiburan kita kalau bukan hanya sebatas itu. Jangan salahkan televisi kalau ramai-ramai menjual mimpi.

Selain itu, apakah hidup yang damai dan tenang tak akan membosankan? Saya ingat suatu pagi dulu saya sering memulai ritual pagi dengan menonton spongebob. Disalah satu sub ceritanya menggambarkan tentang squidward yang sudah sangat merasa bosan dan geram dengan kehidupannya – memang sudah biasanya ia merasa seperti itu, tapi ini sudah melewati batas sabar dan sudah di titik nadir. Squid sudah muak dengan hiruk pikuk yang dibuat oleh spongebob, ketololan si Patrick, tuntutan kerja yang masif dari tuan Krabs dan hal-hal disekitarannya yang sudah tidak sesuai dengan standar hidup idealnya; tenang, damai dan selalu bercita rasa tinggi. Lalu beruntunglah si gurita bertentakel, Dewa Neptunus mendengarkan do’a yang terselubung dalam tiap gerutuannya, suatu hari tanpa sengaja ia menemukan brosur tentang sebuah tempat yang menjawab semua mimpinya. Tanpa pikir panjang lagi si Squid ini bergegas dan berkemas menuju ‘destinasi-yang-sempurna’. Awal-awal tinggal di sana ia sangat merasa senang, ia merasa menemukan rumah yang sebenarnya. Orang-orang secara teratur dan disiplin  melakukan aktifitas sehari-harinya. Semuanya begitu sangat terprogam dan terperinci. Tak ada cela dan cacat. ‘hidup harusnya begini’ pikir Squid. Tapi Squid lupa, hidup yang seragam dan monoton itu kadang jatuhnya akan sangat membosankan. Maka tidaklah heran bila dalam hitungan hari saja ia sudah merasa tak betah tinggal di sana. Tiba-tiba ia begitu merindukan segala kegaduhan yang dibuat Spongebob dan Patrick – rindu berkonfrontasi dengannya, ia ingin bernostalgia kembali dengan tuntutan kerja dari tuan Krabs sang pemuja segala hal yang berbau dolar. Ia kangen dengan semua yang ada di Bikini Bottom – hal yang dulu sangat dibenci dan dikutuknya, karena merasa peradabannya tak selevel  dengan selera rendahan masyarakat bawah laut.

Yah begituah hidup, ia butuh sebuah Konfrontasi penuh tensi tinggi. Beragam perbedaan yang merajalela kemana-mana, pengkotak-kotakan strata karena status sosial dan material. Mungkin kita akan menyangkalnya habis-habisan. Tapi pikirkanlah apakah dengan hidup yang damai dan tenang melulu akan melahirkan pemikir-pemikir besar, mahakarya-mahakarya yang tak ternominal harganya, gagasan-gagasan yang lahir sebagai solusi akan pemecahan masalah orang banyak,inovasi-inovasi yang tanpa henti, kemanusiaan yang semakin teruji, toleransi yang mesti dipahami dan diterapkan setiap hari  dan lain sebagainya yang secara permanen akan tercatat dan dikenang sebagai artefak berharga dalam perjalanan peradaban manusia.

Iya. Suka tidak suka, hal-hal yang beraneka ragam adalah menyenangkan karena perbedaan tak bisa dibantahkan. Hal baik dan buruk adalah alasan kenapa bumi diciptakan – kalau ingin damai selalu, terbang ke surga sana! :]


Tidak ada komentar: