gambar diambil dari sini
Kadang dalam kepala saya yang carut marut kayak benang
kusut ini, terbersit sebuah tanda tanya besar besar dengan blok tebal seperti
ini; peperangan, kejahatan, konflik agama, rasisme, pengkastaan selera, bentrok
antar tetangga, teroris, gempa bumi, gunung meletus, perebutan kekuasaan,
popularitas yang mengadiksi, fanatisme brutal, pengerukan materi, sensualitas
hiburan yang membuat ejakulasi dan kontra-kontra humanity dan morality lainnya
adalah sebuah-keharusan-dalam-hidup-dan-kehidupan-ini. Mungkin anda akan menista
saya senista nistanya karena melintaskan pikiran seperti ini. Sebuah pemikiran
yang tidak pro dengan perdamaian dan kemanusiaan. Eh, jangan terlalu gegabah
anda, saya pun punya mimpi tentang bumi yang damai pun demikian dengan semua
orang. Hanya orang tak waras saja yang pengen hidup dalam chaos dan perang
berkepanjangan. Jadi kalau begitu saya yang tak waras atau mimpi-mimpi itu yang
perlu dipertanyakan kewarasannya? Nyatanya saudara, hidup tak seindah
teori-teori zaman pertengahan, mengulas dan mengupas sehabis-habisnya tentang
hidup yang ideal, hidup yang utopis – ya, utopis saudara, anda hanya akan
menemukan di surga kehidupan yang seperti itu. Jadi matilah saja dulu agar bisa
studi banding ke sana, itupun kalau anda beruntung. Teori-teori itu hanya membuat
keren dan berkesan pada teman mengobrol anda, membuat anda terlihat intelek dan
berbudaya tinggi saat mencantumkannya dalam kutipan-kutipan tulisan anda. Hm,
suka atau tak suka, mengamini atau tidak, hidup nyatanya memang tak semanis
barisan teori-tori kritis yang menghipnotis!
Apakah saya terdengar skeptis? Lihatlah televisi dan
surat kabar, dan anda akan tahu jawabannya. Berita-berita seperti itu sangat
menguntungkan media, ia seperti kharisma yang memberi nilai jual. Apakah
manusia sudah mulai teradiksi dengan hal yang bertensi tinggi? Karena kita
dicekoki berita buruk setiap hari? Entahlah. Kalau damai hanya sebatas mimpi,
apakah kita harus ‘tidur selamanya’ dulu baru bisa merasakan sebuah kedamaian
yang permanen dan solid? Entahlah juga. Mungkin secara temporary anda bisa
membeli tiket damai di gedung bioskop, bisa mengunyah kudapan sambil
menelanjangi dunia utopis nan absurd di televisi. Jadi apalah penghiburan kita
kalau bukan hanya sebatas itu. Jangan salahkan televisi kalau ramai-ramai
menjual mimpi.
Selain itu, apakah hidup yang damai dan tenang tak
akan membosankan? Saya ingat suatu pagi dulu saya sering memulai ritual pagi
dengan menonton spongebob. Disalah satu sub ceritanya menggambarkan tentang
squidward yang sudah sangat merasa bosan dan geram dengan kehidupannya – memang
sudah biasanya ia merasa seperti itu, tapi ini sudah melewati batas sabar dan
sudah di titik nadir. Squid sudah muak dengan hiruk pikuk yang dibuat oleh
spongebob, ketololan si Patrick, tuntutan kerja yang masif dari tuan Krabs dan
hal-hal disekitarannya yang sudah tidak sesuai dengan standar hidup idealnya;
tenang, damai dan selalu bercita rasa tinggi. Lalu beruntunglah si gurita
bertentakel, Dewa Neptunus mendengarkan do’a yang terselubung dalam tiap
gerutuannya, suatu hari tanpa sengaja ia menemukan brosur tentang sebuah tempat
yang menjawab semua mimpinya. Tanpa pikir panjang lagi si Squid ini bergegas
dan berkemas menuju ‘destinasi-yang-sempurna’. Awal-awal tinggal di sana ia
sangat merasa senang, ia merasa menemukan rumah yang sebenarnya. Orang-orang
secara teratur dan disiplin melakukan
aktifitas sehari-harinya. Semuanya begitu sangat terprogam dan terperinci. Tak
ada cela dan cacat. ‘hidup harusnya begini’ pikir Squid. Tapi Squid lupa, hidup
yang seragam dan monoton itu kadang jatuhnya akan sangat membosankan. Maka
tidaklah heran bila dalam hitungan hari saja ia sudah merasa tak betah tinggal
di sana. Tiba-tiba ia begitu merindukan segala kegaduhan yang dibuat Spongebob
dan Patrick – rindu berkonfrontasi dengannya, ia ingin bernostalgia kembali
dengan tuntutan kerja dari tuan Krabs sang pemuja segala hal yang berbau dolar.
Ia kangen dengan semua yang ada di Bikini Bottom – hal yang dulu sangat dibenci
dan dikutuknya, karena merasa peradabannya tak selevel dengan selera rendahan masyarakat bawah laut.
Yah begituah hidup, ia butuh sebuah Konfrontasi penuh
tensi tinggi. Beragam perbedaan yang merajalela kemana-mana, pengkotak-kotakan strata
karena status sosial dan material. Mungkin kita akan menyangkalnya
habis-habisan. Tapi pikirkanlah apakah dengan hidup yang damai dan tenang
melulu akan melahirkan pemikir-pemikir besar, mahakarya-mahakarya yang tak
ternominal harganya, gagasan-gagasan yang lahir sebagai solusi akan pemecahan
masalah orang banyak,inovasi-inovasi yang tanpa henti, kemanusiaan yang semakin
teruji, toleransi yang mesti dipahami dan diterapkan setiap hari dan lain sebagainya yang secara permanen akan
tercatat dan dikenang sebagai artefak berharga dalam perjalanan peradaban
manusia.
Iya. Suka tidak suka, hal-hal yang beraneka ragam
adalah menyenangkan karena perbedaan tak bisa dibantahkan. Hal baik dan buruk
adalah alasan kenapa bumi diciptakan – kalau ingin damai selalu, terbang ke
surga sana! :]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar