1. Dimensia
Suatu malam dipenghujung tahun 2011 yang
sangat haus masuklah saya kesebuah minimarket berinisial A. Tanpa babibu saya
langsung menuju lemari pendingin berwarna merah darah menggiurkan. Entah
mengapa tiba-tiba mata saya ingin melihat tanggal kadaluarsa di teh kotak
dingin yang saya pilih – saya adalah tipikal orang yang langsung konsumsi tanpa
peduli tenggat berapa makanan layak masuk kerongkongan – setelah melihat deret
angka itu otak saya langsung berputar mencari kesimpulan; “gila! Ini kan sudah masuk
tanggal kadaluarsa.” Bagaimana mungkin toko yang punya nama sebesar ini
bisa seceroboh itu. Saya lantas melihat kemasan minuman lain, sama saja.
Kemudian saya mencoba membandingkannya dengan makanan ringan dalam kemasan
plastik, eh sama juga.
Entah berapa lama saya berputar-putar di
tempat itu, tanpa satu barangpun di tangan saya. Sumpah serapah memenuhi kepala
saya. Tiba-tiba entah setan darimana yang untungnya berbaik hati memukul
tengkuk saya; ‘ini bukan Desember 2012,
ini Desember 2011 bodoh!’ Hahaha, lantas meledaklah tawa saya. Kasihan
sekali, entah sudah berapa puluh menit saya bertingkah seperti orang bodoh,
yang merasa hidup satu tahun lebih cepat. Benar kata Sinchan, segala bentuk
manusia ada di muka bumi ini. Dan saya adalah bentuk dari sinonim kata
‘konyol’.
2. Mbak Cantik dan Malaysia
“Eh Lin Malaysia itu udah gak jadi bagian dari wilayah Indonesia
lagi ya?”
“Eh, apa?
Pertanyaan di siang yang santai itu hampir
membuat jantung saya berhenti mendadak. Membuat saya ingin menelan bulat-bulat
piring bekas makan siang yang ada di sepan saya. Sumpah kotak tertawa saya
hampir meledak tanpa ampun, namun demi melihat ekspresinya yang sungguh-sungguh
bertanya – dan saya tak melihat kerut main-main di sana – maka mati-matianlah
saya menahan tawa, seperti menahan kentut yang membuat perut cenat-cenut.
Kemudian dengan berbaik hati saya jawablah pertanyaannya itu; “besok aku pinjami buku sejarah keponakanku
ya?”
Hahaha, sebuah pertanyaan konyol dari mbak
cantik wangi yang calon sarjana pula. Ah, katalog belanjaan yang berjibun itu
kadang hanya membuat pintar penampilan.
3. Kanker Abal-Abal
Mimisan dan rambut rontok adalah indikasi
adanya kanker, sinetron mengajarkan itu. Dan saya mengalaminya saat Dharmawisata
ke Bali jaman SMA dulu. Selama di Bali hidung saya tak henti-hentinya
mengeluarkan darah, pernah sih saya mimisan tapi ya tak pernah sebanyak itu. Di
penginapan saat baru tiba saja saya menghabiskan satu handuk besar demi
menampung stok darah dari lubang hidung. Karena itulah kemana-mana saya
berbekal tisu seabrek hasil sumbangan dari teman-teman – ya, dari dulu saya
paling malas menenteng tisu kemanapun itu. Kalo keringetan ya tinggal elapin ke
baju, iyuuuh…
Dan salahnya mimisan itu dibarengi dengan
rambut saya yang tiap harinya rontok satu kepalan tangan banyaknya, maka
berpikirlah saya yang tidak-tidak. Saya langsung berkonklusi kalau saya
menderita kanker stadium sekian. Ketika di dalam bis selama berputar-putar di
Bali, pikiran saya melayang ke langit lapis tujuh, membuat alur cerita sendiri;
kepala botak – saya tak keberatan dengan
ini, berharap bisa semempesona Sinead O'Connor – obat dan injeksi berkali-kali banyaknya, bagaimana
reaksi dan perasaan bapak ibu saya, bagaimana rasanya sekarat, lalu siapa saja
yang mengantarkan saya ke kuburan. Saya seperti melihat pementasan drama di
kepala keruh saya. Uh, saya merasa tidak sedang di pulau Dewata tapi di pulau
penuh rana.
Sekembalinya dari Bali mimisan dan rambut
rontok saya hilang begitu saja. “Itu
mungkin karena faktor kelelahan saja,” ujar ibu saya. Ah konyol sekali,
membuat saya tidak bisa menikmati liburan semaksimal mungkin. Dewa-Dewi di sana
pasti menertawakan saya dengan riangnya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar