Tiba-tiba saya ingin punya buku diary lagi, setelah
tanpa sengaja tangan saya yang ceroboh ini menyenggol tumpukan buku adik saya
dan tadaaa… saya menemukan buku mungil dengan tali pembatas berwarna merah hati
itu. Kenyataan bahwa adik laki-laki saya yang sangar dan pembangkang itu punya
buku ranah pribadi berupa diary bersampul merah jambu bergambar teddy bear
membuat sendi-sendi saya membeku sepersekian detik lantas mulut menganga sekian
senti dan mengeluarkan bunyi “wow!”. Saya tak tega melihat
isinya, dari sampulnya saja saya sudah bisa membaca apa yang ditulis adik saya –
pun saya kira itu tindakan yang tak berselera, seperti mengintip orang yang
sedang mandi.
Nah betapa saya tidak belajar bahwa penampilan tidak
mewakili keseluruhan, betapa universe terlalu besar untuk diwakilkan pada
bintang gemintang. “Berhentilah berlagak seperti cenayang!” seharusnya saya tulis
itu besar-besar dengan huruf kapital
tebal di jidat saya.
Kontroversi adik saya dengan buku imutnya itu telah
menggelitik rasa ingin saya untuk ikut memilikinya. Ego saya tak bisa terima
bagaimana saya bisa ketinggalan dalam hal ini dengannya. Bagaimana seekor
kucing bisa mencintai hamster. Ah sudahlah, buang ke tong sampah pikiran
dangkal saya yang menjijikkan ini.
Ehm tapi kemudian saya tersadar tentang satu hal yang
krusial; apa yang akan saya tulis bila saya punya diary? memang sih saya pernah
punya diary saat kelas 2 SMP dulu, tapi setelah lembar ke-lima saya mulai
bosan. Menuliskan hal-hal pribadi secara gamblang bukan hal yang mudah bagi
saya. Saya perlu metafora dan simbol-simbol yang kadang hanya saya sendiri yang
bisa mengerti. Introvert adalah nama tengah saya. Saya tak akan dengan mudah
membiarkan orang lain mengerti tentang saya. Seperti tipikal permainan Italia
yang defensih. Terdengar konyol memang, bahkan pada lembar kertas pun saya
masih menyimpan kekikukan yang memicu tremor itu. Tambahan pula apa sih yang mau
saya tuliskan, hidup saya toh begini-begini saja; tak ada meteor jatuh diatas
kepala saya. Bercerita tentang bubuk kopi robusta java yang baru saya beli
kemarin atau tentang kekaguman saya pada kecoak yang terjebak dilubang kloset
adalah hal yang perlu dipikir ulang untuk menggubahnya menjadi bentuk deret
huruf. Hahaha,sepertinya saya perlu mengkaji lagi perlu tidaknya untuk memiliki
buku berwarna lembut itu. “Hei salut
untuk kalian yang memiliki buku diary, you
rock!”
Post-scriptum;
Kalau adik saya tahu saya membahas tentang dia beserta buku imutnya di sini, bisa-bisa
tubuh saya dikaramkannya di sungai Amazon, dijadikan hidangan penutup dipesta
bujangan para Piranha jejaka! ”Sorry
kiddo, just another intermezzo. Hehehe…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar