Kita
berbeda dari apa yang kita baca.
kita berbeda dari
apa yang kita tonton.
Kita berbeda dari apa
yang kita dengar.
kita berbeda dari apa
yang kita punya.
kita berbeda dari apa
yang kita percaya.
Kita
berbeda...
Beda cara lingkungan
dan orang-orang disekitaran membesarkan kita.
Dikelilingi
teman yang tak sama.
Fasilitas dan akses
yang kita terima tak juga seragam.
Sedari
asal kita sudah dipaksa berbeda.
Keberuntungan yang
tak sama sejak dilahirkan.
Karena kita tak bisa
memilih dari rahim mana seharusnya kita dilahirkan...
Jadi,
Apa
gunanya mencemooh mereka yang tak satu selera.
Mengutuk
apa-apa yang tak sepaham.
Toh standar itu hasil
buatan manusia juga.
Pun, kita bukan hasil
produksi masal yang dipajang di etalase toko.
So,
nyantai wae tho ya.
Lha mereka-mereka itu
gak ganggu kita kog.
Kalo gak suka mbok ya
disikapi dengan wajar dan waras.
Toh
apapun atributnya kita ini sama-sama terbentuk dari ovum dan sperma.
*Maaf,
bukannya saya mau sok bijaksana atau apa. Saya bukan pengikut loyal
salam super
Mario Teguh. Saya orang yang lebih memilih membeli novel picisan
daripada buku
motivasi yang tebalnya segede gaban , meskipun sedang ada diskon 70%.
Dan reality – entah drama entah bukan – show semacam
‘Andai Aku Menjadi’ bla bla
bla atau apalah namanya itu yang menjual rasa kasihan dan airmata tak
akan
sanggup membuat saya menangis termehek-mehek. Ayolah... semengenaskan
itukah
hidup di desa? [sumpah! Anda membuat saya pengen kencing berdiri.
Hahaha…]
Baiklah, panggil
saya si bebal! Tapi asal tahu saja, mata saya akan mudah berkaca saat
mendengar
kata ‘kangen’ keluar dari mulut Bapak Ibu saya . Dan kemarin dulu saya
tak bisa
menyembunyikan kecengengan saat keponakan saya yang berumur 4 tahun
bilang
“Mbak Lina itu sahabat terbaikku lho…” – sambil memeluk saya erat
dan memberi
hadiah kecupan manis di pipi. Saya mewek. Hahaha, ironikal bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar