Minggu, 17 April 2011

DULU SAAT INGATAN SAYA MASIH SETAJAM GOLOK!


Dulu beberapa tahun kebelakang, kalau bisa dianalogikan, kepala saya ini adalah brankas yang terbuat dari baja anti peluru. Yang dengan mudahnya bisa dibuka tutup. Karena kode-nya hanya terdiri dari sedikit digit yang sangat sederhana tanpa takut orang lain akan mencurinya. Saya ingat, saat masih dibangku sekolah dulu saya tidak perlu bekerja keras untuk belajar setiap hari hanya untuk mendapatkan nilai bagus. Selain karena orang tua saya tidak terlalu menuntut hal itu – yaa, mereka memang keren – bagi saya belajar itu ibarat nasi bungkus, hanya dibeli saat lapar dan saat ibu saya sedang malas memasak.  


Benar, saya hanya belajar kalau ada ulangan/ujian. Itupun tak butuh waktu berjam-jam, kadang kepala saya mendadak pusing kalau berlama-lam belajar. Itulah ajaibnya kepala saya dulu, selain hitung-hitungan, saya hanya butuh sekali baca untuk mengingat dan mengerti berlembar-lembar teks di buku pelajaran. Dan saya senang, itu artinya keesokan harinya saya hanya  perlu nongkrong di kantin untuk menunggu giliran ujian disaat teman-teman saya hilir mudik menenteng catatan dan duduk-duduk di sepan kelas sambil membuka lembar demi lembar buku pelajaran – kadang saya sangat membenci pemandangan itu.

Pernah ada seorang teman ngomong sama saya, “Kamu itu aneh ya, gak pernah kelihatan belajar tapi nilaimu bisa tetap bagus.” Hahaha, mereka bilang saya aneh. Hmm, memang – bukannya ingin sombong, meskipun saya ini tipikal santai yang menjurus malas tapi – walau tak pernah ranking satu – saya selalu masuk sepuluh besar. Begitulah, puji syukur dan alhamdulillah untuk daya ingat saya.

Karena saya tak ingin takabur, saya selalu membagikan karunia ini kepada teman-teman saya yang membutuhkan – dalam kategori malas tapi sayangnya tak seberuntung saya [Hahaha. Congkak sekali!] – saya dengan sangat sukarela memberikan contekan kepada mereka, dan bahka tanpa sungkan-sungkan saya memberikan lembar jawaban untuk di copy bergilir [kata bergilir mengingatkan saya pada tulisan di kolom berita kriminal]. Meskipun Nietzche pernah berkata, “Rasa kasihan adalah suatu pemborosan perasaan, suatu parasit yang membahayakan kewarasan moral.” – namun saya tetap melakukan ritual itu, bagi saya itu bukan bentuk rasa kasihan tapi lebih kepada solidaritas antar teman [semoga ini bukan kata yang genit] dan saya tak peduli definisi waras itu seperti apa.

Saya tak ambil pusing dengan deret nilai-nilai. Dan saya tak begitu terobsesi dengan tingkat kepintaran yang dikemas sangat apik dalam kotak warna-warni bernama rangking kelas [nama yang arogan sekali]. Menurut saya sekolah bukan hanya masalah buku pelajaran dan angka-angka membingkai nilai. Mungkin, saya mempunyai gen ketertarikan minimum dengan yang namanya buku pelajaran.Buku fiksi menurut saya lebih seksi. Jadi, bisa naik kelas dan lulus sekolah itu sudah cukup bagi saya. Begitu juga kata ibu bapak saya. He he he…


Itulah dan begitulah. Saya menyebut itu sebagai NOSTALGILA OTAK KIRI!
 

Tidak ada komentar: