Kamis, 31 Januari 2013

YOU’RE ALL I NEED


Berhubung ini malam Jum'at, lagu pengantar tidurnya saya kasih yang agak horor. Tapi masih tetap terdengar manis di telinga, kok.
Silahkan, tuan-tuan...


The blade of my knife
Faced away from your heart
Those last few nights
It turned and sliced you apart
This love that I tell
Now feels lonely as hell
From this padded prison cell

So many times I said
You'd only be mine
I gave my blood and my tears
And loved you, cyanide
When you took my lips
I took your breath
Sometimes love's better off dead

You're all I need
Make you only mine
[I loved you]
So I set you free
I had to take your life

[You're all I need]
You're all I need
You're all I need
And I loved you so
But you didn't love me

Laid out cold
Now we're both alone
But killing you
Helped me keep you home
I guess, it was bad
'Cause love can be sad
But we finally made the news

Tied up smiling
I thought you were happy
Never opened your eyes
I thought you were napping
Well, I got so much to learn
About love in this world
But we finally made the news

You're all I need
Make you only mine
[I loved you]
So I set you free
I had to take your life

[You're all I need]
You're all I need
You're all I need
And I loved you so
So I put you to sleep

You're all I need
Make you only mine
[You're all I need]
You're all I need
[You're all I need]
You're all I need

You're all I need
You're all I need
You're all I need
You're all I need
You're all I need
You're all I need




[BE]TAPA [RI]UHNYA KI[TA]


Sore tadi aku menemani Simbah nonton berita. Beritanya di saluran berlogo bulat warna merah dengan angka satu ditengahnya. 

SIMBAH [S]: Si… Siap, [sambil membenarkan letak kacamatanya]
AKU [A]: Suap, Mbah.
S: Oo, suap. Suap Pre… Presi, [semakin mencondongkan wajah ke depan tivi]
A: Suap Presiden PKS, Mbah.
S: Kok, presiden? Memangnya sudah mau pilihan presiden lagi, tho?
A: Ya ndak, maksudnya itu pimpinan partai. PKS itu nama partai, Mbah.
S: Oo, begitu tho. Wajahnya bulat, ya? gemuk ginuk-ginuk.
A: He’eh.
S: Kalau yang itu siapa, nduk?
A: Itu ketua KPK, Mbah.
S: Pegawai tho, nduk?
A: Iya, Mbah.
S: Rambutnya kok sudah putih semua ya, nduk? Padahal kelihatannya masih muda lho.
A: … [sibuk nepuk-nepukin pantat nyamuk]
S: Ganteng.
A: … [hening]
S: Gak ada siaran tho, nduk? Simbah mau lihat berita.
A: Ini juga berita, Mbah.
S: Lha, omong-omongan terus isinya. Simbah ndak ngerti. Coba cari berita yang banjir-banjir itu. Katanya Jakarta kebanjiran.
A: Banjirnya sudah lewat, Mbah. Di tivi banjirnya sudah surut.
S: Oalah, sudah gak ada tho ternyata. [matanya mulai sayu dan sesekali menguap]
A: Mbah, beritanya diganti ndak apa-apa ya? bagusan nonton kartun.
S: Terserah kamu, nduk. Lagian Simbah juga sudah ngantuk, mau tidur saja.
A: He’em.


Rabu, 30 Januari 2013

APAAN SIH, APAAN DONG. DANG DING DONG

 
N: Hei kamu, sekarang aku atheis lho.
A: Oh, ya? sejak kapan?
N: Belum lama ini, kok. Beberapa hari sebelum tahun baru, mungkin. Ya sekitaran itulah.
A: Ehm, terus kenapa kepikiran pengen jadi atheis?
N: Aku rasa atheis itu keren.
A: Ha-ha, keren? Paling tidak kamu harus merasa yakin benar untuk tak bertuhan sebelum merasa ’keren’ benar.
N: Tapi… aku tak sepenuhnya percaya kalau tuhan itu tidak ada. Aku hanya sedang sedikit meragukan keberadaanNya.
A: Ehem. Yang namanya atheis itu berarti tak beragama, tidak mengakui keberadaan tuhan, titik. No excuse, gak ada embel-embel lain di belakangnya.
Bukankah ragu itu berarti belum percaya sepenuhnya? Ibaratnya kamu masih ada di tengah-tengah, yang setiap saat kamu bisa meloncat ke sebelah kanan atau ke sebelah kiri. Kamu harus yakin benar seratus persen sebelum mangklaim sesuatu yang – mungkin - akan kamu pegang seumur hidupmu. Masalah keyakinan menurutku bukan lagi masalah main-main, dia bukan lagi masalah memilih jenis musik apa yang kamu sukai dan cara berpakaian apa yang kamu minati. Masalah keyakinan bukanlah masalah selera, yang bisa berubah kapan saja. Kamu tak ingin terlihat seperti Spongebob yang bingung harus memilih baju apa saat ada janji kencan,bukan? Ia sibuk mencoba baju apa saja yang menurutnya terbaik di lemari bajunya. Toh, ujung-ujungnya dia memakai baju kotak berdasi yang menjadi kebiasaannya itu juga.
N: Oh, seperti itukah?
A: Iya. Tapi, itu sepanjang pengetahuanku. Idealnya, kamu harus rajin mencari kajian atau rujukan tentang atheis itu dari segala sudut pandang. Jadi kamu akan mempunyai referensi kuat yang tak hanya searah untuk menelaah apakah menjadi atheis itu adalah seperti apa yang selama ini kamu harapkan. Masalah keyakinan ujung-ujungnya adalah masalah harapan menurutku. Seperti, saat berjalan-jalan di sebuah toko buku, tanpa sengaja matamu melihat sebuah buku yang bagus. Kenapa menurutmu itu bagus? Karena sampulnya, pengarangnya, atau testimoni tentang hal-hal baik dari buku itu yang terpampang di cover depannya, mungkin? Tapi, di atas semua itu, kamu pastinya berharap kalau buku itu memang benar-benar bagus isinya. Iya, sangat berharap.
Oh,sebelum lupa, jadi apa yang jadi pemicu sesungguhnya? 
N: Aku hanya merasa begitu banyak orang yang mengaku beragama, tapi kelakuan mereka sama brengseknya dengan para narapidana dan preman pasar. Dan eh, bukannya para koruptor itu bahkan sudah naik haji berkali-kali ya?
A: Memang. Tapi kamu juga tak bisa memukul rata kalau yang salah adalah agama itu sendiri. Aku lebih setuju kalau para personalnya yang bermasalah. Mereka terlalu grasa-grusu dalam menafsirkan ajaran suatu agama. Dibuat dan dimodifikasi sedemikian rupa untuk kepentingan kelompoknya sendiri.
Sama halnya kamu tidak bisa menggeneralisasikan bahwa semua yang bertatto itu pasti preman dan yang suka pakai peci itu pasti suci. Bukankah itu hal gegabah yang mewabah?
N: Jadi, apakah salah menjadi atheis?
A: Tidak, sama sekali tidak. Beragama ataupun tak beragama adalah hak dasar masing-masing orang. Dan aku bakalan respek sedalam-dalamnya kalau kamu punya alasan dan pegangan yang kuat di belakang itu.
N: Hahaha, kamu tahu? Seharusnya kamu jadi pendakwah saja.
A: Nah. Aku belum sebaik itu, lah. Ibadah juga masih suka bolong-bolong. Masih juga hobi ngebohong. Apalagi pengetahuan masalah agama, masih cetek banget banget. Kebangetan malah. Sepertinya aku belum ada bagus-bagusnya di mata orang-orang yang lebih ngerti agama.
Tapi aku percaya tuhan itu keren. Tak harus dengan serangkaian ibadah rutin dan formil untuk bisa sekedar ngobrol dan berintim ria denganNya.
Jadi, temanku yang baik hati, cobalah telaah lebih teliti lagi. Dan kalaupun pada akhirnya kamu memilih untuk menjadi atheis, kamu adalah seorang atheis yang keren.
N: Hehe, baiklah.
A: Hehe.


Senin, 28 Januari 2013

BEKAS


Apakah kamu punya bekas luka? Luka karena kecerobohan sendiri atau karena suatu hal yang tak bisa kamu hindari? Apakah luka itu sangat mengganggu penampilanmu? Apakah orang-orang sibuk mengolokmu karena hal itu? Dan kamu merasa semakin jauh dari standar cantik yang ada di iklan-iklan tivi, apakah seperti itu?
 
Hufh, saya mulai bosan banyak bertanya. Membuat saya terlihat seperti: wartawan-infotainment-yang-mau-tahu-segalanya. Saya tahu rasanya ditanya-tanya itu seperti apa, dan itu tidaklah menyenangkan - semoga kamu tidak melihat saya sebagai suatu hal yang menyebalkan.
Oke, kembali ke luka-luka itu. Kalau kamu merasa seperti di atas, menganggukkan kepala dengan semua tanya saya tersebut dan lantas di pikiranmu terbersit keinginan untuk melakukan segala cara menghilangkannya, mulai dari salep pemburam bekas luka sampai operasi kecantikan untuk melibas habisnya sampai mulus, itu HAK kamu! Lha wong itu uang-uangmu dan situ mampu ya sah dan silahkan saja. Saya bukan polisi moral yang harus bilang: ‘Hei, semua perempuan itu cantik lho. Yang penting kan inner beauty-nya.’ Ya elah, kalau yang ngomong kayak mbak Dian Sastro ya sama dengan bohong besar kali. Lha apa beliaunya pernah merasa ‘jelek’ gitu? Lha mindset setiap orang kan beda-beda, mana tahan juga bila setiap hari dibombardir dengan iklan-iklan brengsek yang membuat perempuan semakin tak ubahnya barang yang dipajang di etalase toko. Hanya sebagai pemuas daya visual semata, saudara-saudara.
Dan ya itulah kampretnya, kita ini ya mau-mau aja, kagak keberatan malah. Kita dijadikan objek penghasil uang, dan kita dengan nyamannya duduk adem ayem di atas empuknya sofa sambil ngemil remah-remah kertas dari majalah fashion dan life-style yang baru beli kemarin. Ya begitulah kita, lalu mau apa? Ini zaman visual, mau tak mau standar citra-lah yang berkuasa. Mari beri peluk dan cium untuk yang-mulia-televisi-tercinta. 

Eh, kenapa itu preambule-nya panjang bener, mau kemana dan mau naik apa kita? Hehe, jadi begini, sebenarnya saya mau ngomongin tentang bekas luka dan bekas lainnya. Bekas luka yang saya maksud di sini bukan bekas luka yang masif, yang biasa-biasa saja sebenarnya. Salahkan hormon ketidakpedulian saya! Dari dulu saya cuek-cuek saja kalau kulit saya punya sayat panjang karena kecerobohan sendiri, lebih tepatnya kelemahan tubuh saya dalam memindai rute jalan yang benar. Ini secara harfiah lho, seperti kena goresan pinggir meja yang konturnya tidak rata, kena duri-duri hasil blusukan di kebun belakang rumah, kena cipratan minyak goreng yang panas saat membuat telur mata sapi, tergores pisau saat mengupas kentang dan lain sebagainya. Beruntunglah, saya punya kulit yang lumayan bisa menahan rasa sakit. jadi kalau terkena kejadian macam itu, ya saya biarkan saja. Saya gak panik cari-cari obat penghilang nyeri atau plester penutup luka. Saya santai saja. Kan saya punya obat alami yang bisa saya hasilkan sendiri. Ya, saya punya kelenjar ludah yang ampuh. Tinggal lulurkan pada lukanya dan voila! Rasa nyerinya bakalan berkurang [terdengar jorok bangget yah? Hehe]. Lalu bekas lukanya? Ah, biarkan itu jadi tugas tuhan si maha tahu saja. Dan kalaupun tak akan hilang, anggap saja itu sebagai tanda pengingat – tatto alami. Kebetulan daya ingat saya lemah sekali. 

Seperti halnya noda di baju: kena cipratan sambal dan kecap saat menyantap bakso, merah-merah hasil berkelahi dengan teman di kaos yang sekarang sudah belel sekali, bekas ingus habis menangis sesenggukan karena hal sepele di lengan baju, noda warna merah cat saat membuat mural yang tak sengaja terciprat di celana, mimisan yang meluncur deras di bagian depan kaos yang warnanya sekarang sudah tidak merah lagi – eh, apakah saya terlalu sering menyebut warna merah? Ah, dasar alien dari planet merah!
Saya tak juga berusaha untuk menghapusnya dengan merendamnya memakai deterjen dengan daya luntur noda yang dahsyat. Saya sangat suka memandanginya, seperti melihat sebuah cerita. Seperti noda kopi di kaos yang sekarang saya pakai, ini karena ulah seorang teman yang iseng mendorong saya saat saya akan memonyongkan bibir ke mulut cangkir berisi kopi yang belum habis separo. Uh, dasar! Hei teman, apa kabar? 

Oh, saya memang menikmatinya, tapi apa kabar dengan ibu saya yang selalu cerewet dengan segala kecuekan saya ini? Wahai ibu, anakmu ini punya alasan yang sahih lho. Tapi beliaunya pasti punya seribu satu alasan untuk menyerang balik – ugh, seluruh ibu di jagat raya bakalan begitu.
Ayo itu bajunya dicuci yang bersih, kasihan bajunya kena noda kotor kayak gitu – Itu kenapa jerawat di pipi di pelihara terus, makanya rajin-rajin bersihin muka – Itu kenapa tangan kok dibiarin melepuh, cepet diolesin salep sana – Dan blablabla lainnya, saudara.
Dan saya-pun hanya bisa menjawab ya, ya dan ya. Namun sayangnya itu hanya sebatas wacana. He-he-he… 

DAN, entah ini parah atau tidak. Saya punya bekas jahitan karena kecelakaan di dahi sebelah kiri, lumayan kelihatan lho. Tapi saya sendiri tak pernah merasa melihatnya. Yang lantas dengan masa bodohnya, saya menguncir kuda rambut sebahu saya ini. Kening pun sukses terekspos secara vulgarnya. Sedang tidak peduli dengan poni di dahi, karena menurut saya ponytail tanpa poni itu seksi. Oh pohon durian, apakah saya ini perempuan? Huwahahaha…. >.<