Disebuah kamar yang lembab hiduplah peri berkelamin laki-laki bernama June. Si June ini bukan tipikal peri yang centil – yang bersuka ria kesana kemari dengan sayap imutnya, yang suka menjerat wanita dengan kerlingan matanya yang cemerlang. June hanyalah peri biasa yang menjalani hidupnya dengan cara yang sangat biasa. Dan June adalah peri yang ada hanya di bulan Juni. Karena dia suka angka enam yang pas ditengah-tengah. Jangan tanyakan padanya kenapa, karena baginya kesukaan dan kesenangan hanya untuk dinikmati bukan untuk dipertanyakan.
Kau tahu, ‘June’ adalah nama yang ia sematkan
sendiri di keningnya. Baginya nama June terdengar sangat tendensius dan
misterius – ia memang menyukai ironi yang manis. Sstt… sebenarnya itu dimulai
di suatu sore yang kering tanpa sengaja June mendengar sebuah lagu dengan bunyi
seperti ini; “Bye June. I'm going to the
moon. I hope you make it soon. 'Cause I'm waiting on this moon. Bye June…”
Setelah mencari kesana kemari ternyata itu adalah lagu kepunyaan Smashing
Pumpkins yang judulnya ‘Bye June’. Sejak saat itulah ia jatuh cinta dengan nama
June.
Sebenarnya masih banyak hal lagi tentang June, tapi
hal yang terlalu berlebihan jatuhnya akan sangat membosankan. Baginya; “Galilah
sendiri dan kau akan menemukan harta karun.” Yang perlu kau tahu June adalah
sesosok lelaki yang teradiksi dengan kontra dan lelaki tertutup dengan senyum
ala kadarnya.
Di kamar yang tidak pernah terang itu June berbagi
ruang dengan seorang perempuan bernama Nana. Nana tidak beda jauh dengan June.
Nana sangat benci hiruk pikuk yang seragam. Ia mencandu sepi tanpa apapun dan
siapapun – Ia begitu self obsessed. Cinta
baginya hanyalah artefak yang paling menggelikan yang pernah ada di peradaban
manusia. Ya, ia adalah pembenci dunia paling militan. Baginya surga hanyalah
cerita bualan sebagai pelipur lara atas segala kegetiran di bumi. Itu tak
ubahnya sinetron di televisi, membuai tanpa ampun – mengharap bunga bakung
mekar ditengah rawa penuh lendir hijau. Sama bodohnya dengan adegan di film
yang rambut pemain protagonisnya tetap klimis meski habis babak belur beradu
fisik dengan musuh-musuhnya dan dar der dor senjata disana sini tidak mampu
membunuhnya, bahkan menggores kulitnya pun tidak.
Nana tidak terlalu suka banyak bicara. Ia adalah
tipikal perempuan yang bicara seperlunya saja. Tapi sebenarnya ada
pengecualian, ia akan lebih banyak omong bila sudah bertemu dengan orang yang
setipe dengannya. Oleh sebab itu ia lebih suka berbincang dengan cermin. Membuatnya
lebih aman dan nyaman.
Nana tak pernah memikirkan hari esok. Hidup adalah
apa yang terjadi hari ini . Untuk apa repot-repot memikirkan masa depan, toh
pikirnya umurnya tak akan lebih dikisaran angka 27. Ia adalah pencemburu bagi
mereka yang beruntung mati muda. Umur panjang adalah mimpi buruk. Lebih mudah
baginya membusuk di dalam tanah berteman cacing daripada menghabiskan hidup di
dunia berteman detak jam yang bagai monster bermata satu. Tak ada yang lebih
mengerikan dari mahkluk bermata satu, kitab suci dan cerita dalam dongeng
mengajarkan itu.
Di kamar 3 x 4 meter itu June menempati ruang di
tempat kaset milik Nana. Cover kaset bergambar perempuan berfisik sempurna yang
setengah telanjang itu ia jadikan alas setiap harinya. Sangat empuk memang,
tapi sayangnya tak bisa memancing birahinya. Standar yang terlalu tinggi untuk
memacu detak jantungnya. Gambar perempuan itu terlalu luar biasa untuk ia yang
biasa saja.
June bukanlah antidot buat si Nana, begitu pula
sebaliknya. Mereka adalah racun bagi dirinya sendiri. Racun yang tak ingin
mereka carikan penangkalnya karena sudah terlanjur nyaman denganya.
‘Tanpa ekspresi’ adalah nama tengah mereka - mereka sudah sama-sama kebas dengan segala lelucon alam semesta. Tidak ada kerut lengkung, diagonal maupung silang yang bertahan lebih dari lima detik di raut wajah mereka. Hahaha, jangan salah itu bukan karena mereka ingin awet muda. Tak ada gunanya awet muda, toh mereka pikir tak lama lagi akan mati muda juga.
‘Tanpa ekspresi’ adalah nama tengah mereka - mereka sudah sama-sama kebas dengan segala lelucon alam semesta. Tidak ada kerut lengkung, diagonal maupung silang yang bertahan lebih dari lima detik di raut wajah mereka. Hahaha, jangan salah itu bukan karena mereka ingin awet muda. Tak ada gunanya awet muda, toh mereka pikir tak lama lagi akan mati muda juga.
Hmm… kau tahu, mereka sangat suka dengan kata-kata
itu - MATI MUDA – Seperti secangkir teh
hangat di sore hari saat akhir pekan; Seperti membaca buku di bawah pohon
rindang dengan seseorang yang diam-diam sudah lama kita sukai; Seperti
lagu-lagu kesukaan yang tak sengaja terdengar dari pemutar music milik seseorang
yang tidak kita kenal di dalam gerbong kereta api saat perjalanan pulang ke
rumah. Ah, sudahlah… hentikan ‘seperti seperti’ itu, Mati adalah kepastian dan
mati muda adalah keniscayaan.
Benar, selama bulan Juni ini Nana dan June tak
saling bicara, mereka tak saling menyapa. Karena mereka tak saling kenal. Bagi mereka
berdua lebih mudah mengucapkan ‘Goodbye’
daripada ‘Hello’.
June hanya bisa memandangi Nana setiap perempuan itu
memojokkan tubuhnya di sudut kamar, memeluk lutut lantas diam-diam menangis
tanpa suara. June tak bisa memeluknya, ia merasa terlalu kecil untuk
melingkarkan lengannya di bahu Nana. June hanya bisa menemani tanpa harus
terlihat, mendengar tanpa harus memberi timbal balik.
Sebenarnya meski Nana tak pernah menyadari
keberadaan June , tapi Nana telah memberi penghiburan bagi June. Nana salah,
selama ini di setiap malam ia tidak bicara sendirian dengan tembok kamarnya
yang lembab, tanpa ia sadai ia berbicara kepada June. Peri - makhluk tidak
kasat mata yang Nana percaya hanya ada di dongengan pengantar tidur para bocah.
Ya itulah kenapa June selalu memilih tempat ini di tiap bulan Juni. Seperti
menggali mimpi di musim semi…
Entahlah apakah mereka masih bisa membedakan musim.
“Hei Nana dan June semoga kalian dapatkan apa yang kalian
inginkan. Dan bye June, Juni sudah di penghujung…”