Kamis, 31 Mei 2012

NASIONALISME DI KOTAK AJAIB


Hai isi perut yang sedang bergejolak, tahukah kamu? Sekarang ini tampilan nasionalisme di televisi semakin lebay saja. Melebihi lollipop, terlalu berwarna dan terlalu manis – heran, berapa banyak batang gula dan pensil warna yang disia-siakan demi menarik mata dan merangsang lidah…
Nasionalisme adalah profit. Rasa bangga dan cinta terhadap bangsa sudah menjadi komoditas. Dijual serupa kacang rebus dengan bungkus kertas bekas yang sedikit berminyak; “ini sangat murah, maka belilah. Ayo nikmati selagi hangat…” Seperti wanita berlipstik tebal dengan rok di atas lutut memamerkan paha mulus yang bisa kau temui di pinggir jalan tengah malam; “kau berani bayar berapa? Maka pelayananku akan setimpal. Kecewa dan sesal bukan untuk malam ini sayang…”
Televisi adalah penampil sejati. Ia tahu dengan baik bagaimana cara menanamkan imej di otak-otak yang matanya melotot terpapar radiasi sinar layar kaca tanpa harus terlihat terlalu menggurui dan sok tahu [hmm... bukankah itu terdengar so sweet dan bijaksana sekali. Hahaha]. Di televisi nasionalisme dikemas semenarik mungkin dengan pita warna-warni dan kelap-kelip di sana sini. Biar yang melihat silau matanya dan tergerak hatinya. Siapa yang kuasa menolak tampilan memesona? Ah, taiklah…



*dibuat saat ada gegap gempita sepakbola nasional di layar kaca. Atas nama Nasionalise barisan do’a pun masuk televisi. Sangat berlebihan saudara. Sampai membuat mual… 

Senin, 28 Mei 2012

HAI TUAN CILLIAN MURPHY! KUNOBATKAN KAU SEBAGAI FANTASI...






gambar diambil dari sini

 Damn! Mata yang sangat luar biasa. Superb! Hahaha... :]

PERI-PERI BERSAYAP TRANSPARAN DI MALAM HARI

 
Dia masih perempuan bodoh yang sama. Absurditas yang berulang tak akan membuatnya bosan – dia menyebut dirinya setengah autis. Dengan kenaifan di ambang batas normal itu membuatnya berfikiran; ritual tiap tengah malam dengan mata nanar menantang langit berharap semua dongeng konyol tentang peri itu benar adanya adalah kewajaran yang seharusnya.
Kau tahu? Dalam bayang retinanya, dari ujung langit sana – yang terbatas pandang mata – para peri datang menghampiri. Awalnya hanya berupa titik-titik yang buram dan melelahkan mata. Lantas tak sampai hitungan dua digit detik titik-titik itu berpendar pendar mendekat padanya. Mereka seperti perkakas berbahan logam dan ia adalah medan magnetnya. Tampak begitu menyilaukan serupa serbuk berlian yang disebarkan begitu saja. Dalam jarak kurang dari tiga belas langkah darinya, kilau-kilau itu membentuk kepak sayap transparan yang sekilas tampak rapuh. Lantas dalam satu kedipan mata, voila! Mereka benar-benar membuat silau. Membuatnya tak berkedip.
Dengan tampilan bak Barbie bersayap – meski dalam ukuran sekian sentimeter –siapa yang bisa menolak pesona peri-peri itu? Haturkan sembah sujud pada televisi! Lantas salah satu dari mereka membisikkan sesuatu ke telinganya “apakah kau benar-benar siap ikut dengan kami? Dengan segala anonim yang mungkin akan kau temui di sana?” kepak sayapnya yang berisik hampir menelan suaranya ke dunia tak berpenghuni. “Tentu saja!” jawabnya. “Tak ada yang lebih baik dari tempat dimana semuanya tampak tak bernama,” lanjutnya dengan antusias yang membara. “Baiklah, pejamkan matamu. Berjanjilah kau tak akan membukanya. Tunggulah perintahku. Jangan takut tersesat, kita akan saling berpegangan tangan.” Para peri itu lantas meraih tangannya – begitu hangat, sangat kontras dengan malam yang begitu dingin. Perlahan-lahan tubuhnya melayang menjauhi bumi. Seperti ada sepasang sayap yang tumbuh di balik punggungnya. Semakin jauh dan tekanan udara semakin terasa berat. Dadanya mulai terasa sesak.
Seiring ketinggian yang tak terjangkau mata manusia bumi, tubuhnya pun berotasi semakin masif. Membuat perutnya mual. Punggungnya terasa panas seperti habis terkena sengatan lebah. Apakah sayapnya mengeluarkan asap? Kalau tak ingat janji para peri itu ingin rasanya ia membuka mata. Hanya ingin memastikan apakah ia menuju tempat yang dijanjikan ataukah ia sedang menuju neraka. Ia benar-benar  sudah tak tahan. Semuanya terasa begitu lama. Mungkin roket tak akan selama itu untuk mencapai ruang angkasa. Eh, ia seperti tersadar dari koma, kemana perginya tangan-tangan mungil itu? Tangannya tiba-tiba begitu kebas. Kilatan-kilatan aneh berkelebatan di kepalanya. Apakah prei-peri itu sengaja menyesatkannya ke antah berantah? Atau mungkin mereka adalah utusan iblis yang sedang mencari koloni. Ah, siapa yang tak takut kesepian? Dia mulai merasa gelisah. Serangan tremor memicu kelenjar keringatnya berproduksi lebih dari biasanya. Begitu dingin membanjiri kulit ari. Mungkin benar, rasa takut akan neraka mengalahkan segalanya.
Ketika tubuhnya mengawang dan nyaris mati rasa karena rasa nyeri – benar, percayalah rasa ngeri itu membuat sakit fisik – ia memaksakan diri membuka mata. Tak semudah yang dibayangkannya, rasanya seperti ketindihan setan. Memaksa dan terus memaksa. Akhirnya ia bisa mengerjapkan mata. Benar-benar berhasil membuka mata. Tapi ini tak seperti yang diharapkannya. Ia tak sedang mengapung di angkasa dengan sayap transparan dan peri-peri imut. Ia mendapati tubuhnya telentang di atas kasur. Di tempat dan ruang yang sama. Masih menginjak bumi. Oh Tuhan! Ingin rasanya ia berteriak sekeras-kerasnya. Tapi ia takut dianggap tak waras. Ia merutuk dalam hati “kenapa selalu berakhir seperti ini? Brengsek!”
Hahaha… ia tertawa sambil menangis. Malam-malam yang selalu sama. Ia yakin itu bukan mimpi. Siklus yang repetitif. Diawali dengan menatap nanar langit di luar berharap peri datang lantas mendapati diri terengah-engah menatap  Langit kamar.
Ia insaf, itu terlalu nyata untuk disebut mimpi. Dan ada satu rahasia yang ia simpan sendiri, peri-peri itu selalu meninggalkan selembar bulu sayap di bawah bantalnya. Hampir-hampir lemari rahasianya tak mampu menampung bulu-bulu itu. Jadi – berulang kali lagi – bagaimana bisa ia menyebut itu hanya sekedar bunga tidur belaka. Huh, itu sungguh melelahkannya. Berpuluh-puluh malam yang sama. Ia merasa seperti CD bajakan yang diputar berulang-ulang kali tanpa jeda, hanya menunggu tamat riwayatnya saja. Tapi ia tak kunjung jera. Karena ia terlalu bodoh untuk tidak menjadi skeptis dan sinis. Sangkanya dunia sudah tak semenyenangkan dan semenarik dulu lagi. Dunia menjelma menjadi sosok nyonya tua astrokat dengan lemak bergelambir dan penuh selulit di sana sini. Sungguh membosankan mata. Ia ingin sembunyi ke atas sana. Dimana semua hal sepertinya anonim. Ya, malam nanti ia akan mencoba peruntungannya lagi. Lagi dan lagi… 

*dengan takaran gula satu sendok dan bubuk kopi tiga sendok mampu membuat mata melek hingga subuh. Walau kompensasinya perut menjerit keroncongan. Aah… kadang peri itu seperti tuhan. Kita tahu bahwa tak ada bukti tentang keberadaannya,  tapi kita tak menyangkal kemungkinan kalau ia mungkin ada. Sial! Lagu-lagu sendu dini hari di radio semakin membuat lapeeer…


Sabtu, 19 Mei 2012

ROBOT BOY

gambar diambil dari sini

Mr. an Mrs. Smith had a wonderful life.
They were a normal, happy husband and wife.
One day they got news that made Mr. Smith glad.
Mrs. Smith would would be a mom
which would make him the dad!
But something was wrong with their bundle of joy.
It wasn't human at all,
it was a robot boy!
He wasn't warm and cuddly
and he didn't have skin.
Instead there was a cold, thin layer of tin.
There were wires and tubes sticking out of his head.
He just lay there and stared,
not living or dead.

The only time he seemed alive at all
was with a long extension cord
plugged into the wall.

Mr. Smith yelled at the doctor,
"What have you done to my boy?
He's not flesh and blood,
he's aluminum alloy!"

The doctor said gently,
"What I'm going to say
will sound pretty wild.
But you're not the father
of this strange looking child.
You see, there still is some question
about the child's gender,
but we think that its father
is a microwave blender."

The Smith's lives were now filled
with misery and strife.
Mrs. Smith hated her husband,
and he hated his wife.
He never forgave her unholy alliance:
a sexual encounter
with a kitchen appliance.

And Robot Boy
grew to be a young man.

Though he was often mistaken
for a garbage can.” 

-Tim Burton


HAL-HAL YANG MEMBUAT SAYA TERTARIK


Iseng-iseng saya membuat daftar ini. Apa-apa yang bisa membuat saya lansung tersenyum dan secara spontan memberi sensasi bahagia. Urutannya saya buat secara acak – karena hal-hal yang menarik buat saya tidak bisa diukur dengan deret angka. Oke langsung saja cekidot…
1. Hujan dini hari
Tidak ada istilah ‘insomnia’ bila sudah mendengar suara mereka yang berdentang-dentang secara koloni membentur bumi. Itu seperti tidur diiringi dengan gesekan biola. Terasa begitu menenangkan. Serasa ada yang mengelus kepalamu sepanjang malam. Jadi kau tak perlu repot-repot pergi ke apotik untuk membeli obat anti depresi.
2. Deretan sawah disepanjang jalan
Saat pulang ke rumah atau bepergian kemana saja menggunakan moda transportasi bis atau kereta api sebisa mungkin saya harus duduk di sebelah jendela. Mata saya akan dengan mudah terhipnotis petak hijau berderet-deret yang kadang lama putusnya itu. Apalagi kalau disaat cuaca cerah, matahari akan memberi efek liukan cahaya di atas hamparan padi yang menghijau. Mata saya akan terus mengikutinya sampai mulut saya menguap. Panggil saya autis. Saya akan sedikit mengeluarkan kata kalau sedang dalam kondisi seperti ini. Tak kalah hebat dibandingkan saat menonoton komidi putar. Hal-hal semacam itu terlalu sayang untuk dilewatkan.  
3. French language
Dalam bayangan saya orang perancis itu seperti seekor ikan yang sama-sama bernafas melalui mulut. Yang bila orang lain mencobanya dalam hitungan puluhan detik pasti langsung megap-megap. Satu lagi, akan sukses membuat lidah anda keseleo beribu kali. Ya.. saya suka suara sengau yang keluar dari mulut mereka. Terdengar sangat eksotis di telinga saya. Dan sampai sekarang saya hanya tahu beberapa kalimat saja, seperti; Bonjour, ca va bienExcusez-moi, monsure dan Merci beaucoup. Err… sepertinya saya hanya suka mendengar cericit vibra mereka tanpa mau berusaha untuk bisa. Anu… saya ngeri mendengar suara sendiri. Sengau serak parah! hahaha…
4. Warna Sepia dan absurditas di film Perancis
Saya sangat suka warna itu. Seperti warna dari kehidupan lain yang begitu asing tapi sekaligus begitu hangat dan akrab. Selain warna elemen lain yang membuat saya terpana adalah – selain bahasa tentunya – mereka bisa menampilkan cerita dan gambar absurd yang begitu indah. Mengawang namun secara bersamaan tampak begitu nyata. Sangat manis…
5. Panggilan nduk/nak
Panggilan seperti itu sangat mengena didiri saya. Apapun perkataan atau nasihat yang selalu diimbuhi kata nduk/nak akan mampu menundukkan kemasabodohan saya. Sangat akrab dan hangat. ‘nduk’ ‘nak’ itu seperti magic word mampu mencerahkan hari yang suram, mendekatkan jarak dan menghangatkan hati. Cieee….
6. Tikus
Akhir-akhir ini saya sangat suka kata tikus - meskipun di dunia nyata saya sangat benci binatang itu . Seperti  tetikus untuk kata ganti mouse. Mickey tikus dan Mini tikus lebih menarik di telinga daripada Mickey mouse atau Mini mouse. Mereka terdengar begitu catchy. Membuat telinga saya seperti digelitik, keenakan lalu ketagihan…
7. Bau buku
Sebelum membaca buku saya selalu memulai ritual dengan membaui lembaran-lembarannya [sudah seperti bocah ingusan yang mabok lem saya].  Buku baru maupun buku lawas. Ada yang khas di sana. Kadang-kadang saya menemukan jejak coklat batangan dan daun maple di sana.
8. Layang-layang
Keriuhan sekumpulan anak yang sibuk menggerak gerakkan benang mengendalikan layang-layang selalu mampu menarik perhatian saya. Tanya kenapa? Karena saya suka awan dan langit maka layang-layang adalah elemen yang pas untuk menyempurnakan kombinasi tersebut.
9. Jus tomat dan durian
Saya suka jus tomat karena saya suka tomat - yaelah! Suka rasanya yang tak terlalu manis dan ada sedikit rasa asam di dalamnya. Meskipun banyak teman saya yang tak suka dengannya. Lalu durian adalah buah sejuta umat. Raja dari segala raja buah. Buah surgawi meeen… tak ada alasan untuk menolaknya. Baiklah, saya bisa terima kalau orang berbeda selera musik dengan saya. Saya bisa menghargai jenis buku apapun yang anda pilih. Saya bisa mengerti apapun orientasi seks anda. Tapi, kapasitas otak saya tidak bisa menerima kalau ada orang yang bilang tidak suka durian. Sebutan apalagi yang pantas untuk disematkan pada orang yang menolak kelezatan buah berduri itu selain bodoh. Maaf, anda telah menyia-nyiakan kenikmatan duniawi. Belum tentu nanti di surga sana tumbuh pohon durian… :p
10. Kata ‘thanks to’ di sampul kaset
Ya, saya sangat manual. Saking manualnya saya masih beli kaset. Hehehe… saya sangat suka membaca persembahan terimakasih dari seseorang kepada orang lain. Biasanya yang sangat berjasa dalam hidup atau karyanya;  seperti Tuhan, orang terdekat, teman sahabat sampai remeh temeh lainnya. Banyak hal unik yang saya dapati di sana. Kadang lucu, membuat meringis, berlebihan, absurd. Seperti membaca ekspresi wajah…
11. Rahasia
Sebenarnya masih banyak hal lain yang membuat saya tertarik. Tapi rahasia dong… bukankah setiap orang harus punya harta karunnya sendiri. Akan ada seorang seperti Jack Sparrow yang akan membuat hidup anda tidak membosankan dan lebih berwarna. Karena anda punya umpan berupa harta karun yang peta dan gemboknya ada di tangan anda. Menyenangkan huh? Hohoho…

Sudah, sekian dulu list dari saya. Mau bobok sambil mendengarkan lullaby dari abang Kurt. ‘Putar kasetnya Nirvana – SLIVER the best of the box’ 


Rabu, 16 Mei 2012

MANIS!


gambar diambil dari sini 


Ashley: What else have you seen Kale? 
Kale : What else have I seen? 
Ashley : Yeah, what else? 
Kale : I've seen a lot. I mean, not like that, not, I mean...
[takes a breath

Kale : For instance, I've seen that you're maybe one of, I don't know, three people in the world that likes pizza-flavored chips. You're also the only person I've ever seen that spends more time on the roof of her house than in her actual house. And what are you doing? You're reading. Books. You know, not "US Weekly or "Seventeen", or, you know... but you're reading substantial books. You also do this, uh...
[scratches head, chuckles

Kale : You do this thing where, it's like an OCD thing, but it's not. It's, um... Whenever you're leaving your room, you grab the doorknob, you turn it and you're getting ready to leave but you don't, you stop and you back up and you turn to the mirror and you stare at yourself. But it's not like a, you know, "I'm so hot" kind of stare. You know, it's more like... "Who am I, really?" And to ask yourself that, I mean, that's so cool. So you look out the window all the time like I do, only you're looking at the world, you know? Tryin' to figure it out, trying to understand the world. Trying to figure out why it's not in order like your books... I'm only looking at you. 
Ashley : That's either the creepiest... or the sweetest thing I've ever heard.*


gambar diambil dari sini 





*dikutip dari film 'DIsturbia'


KITA BUTUH PEMAHAMAN BUKAN PENYERAGAMAN

Kita berbeda dari apa yang kita baca.
kita berbeda dari apa yang kita tonton.
Kita berbeda dari apa yang kita dengar.
kita berbeda dari apa yang kita punya.
kita berbeda dari apa yang kita percaya.

Kita berbeda...

Beda cara lingkungan dan orang-orang disekitaran membesarkan kita.
Dikelilingi teman yang tak sama.
Fasilitas dan akses yang kita terima tak juga seragam.

Sedari asal kita sudah dipaksa berbeda.
Keberuntungan yang tak sama sejak dilahirkan. 
Karena kita tak bisa memilih dari rahim mana seharusnya kita dilahirkan...

Jadi,

Apa gunanya mencemooh mereka yang tak satu selera.
Mengutuk apa-apa yang tak sepaham.
Toh standar itu hasil buatan manusia juga.
Pun, kita bukan hasil produksi masal yang dipajang di etalase toko.

So, nyantai wae tho ya.
Lha mereka-mereka itu gak ganggu kita kog.
Kalo gak suka mbok ya disikapi dengan wajar dan waras.
Toh apapun atributnya kita ini sama-sama terbentuk dari ovum dan sperma.

*Maaf, bukannya saya mau sok bijaksana atau apa. Saya bukan pengikut loyal salam super Mario Teguh. Saya orang yang lebih memilih membeli novel picisan daripada buku motivasi yang tebalnya segede gaban , meskipun sedang ada diskon 70%. Dan reality – entah drama entah bukan – show semacam ‘Andai Aku Menjadi’ bla bla bla atau apalah namanya itu yang menjual rasa kasihan dan airmata tak akan sanggup membuat saya menangis termehek-mehek. Ayolah... semengenaskan itukah hidup di desa? [sumpah! Anda membuat saya pengen kencing berdiri. Hahaha…]
Baiklah, panggil saya si bebal! Tapi asal tahu saja, mata saya akan mudah berkaca saat mendengar kata ‘kangen’ keluar dari mulut Bapak Ibu saya . Dan kemarin dulu saya tak bisa menyembunyikan kecengengan saat keponakan saya yang berumur 4 tahun bilang “Mbak Lina itu sahabat terbaikku lho…” – sambil memeluk saya erat dan memberi hadiah kecupan manis di pipi. Saya mewek. Hahaha, ironikal bukan?

Minggu, 13 Mei 2012

NAMANYA HUJAN

  
Gambar diambil dari sini

Aku suka suara air yang tercurah dari langit. Berdentang-dentang menubruk tanah. Melengking membentur atap. Tangga nada yang belum ditemukan namanya. Harmonisasi yang nyaman di telinga. Nyaris membuat mata dan kepala terkantuk kantuk. Kau tahu, aku sangat menikmatinya. Masturbasi hati, tak ingin lekas usai.

 

REKONSTRUKSI MIMPI

 
Pagi hari. Mendapati diri di ruang tamu rumah. Bapak dan ibu lalu lalang di depan mata tanpa sepatah katapun. Apa yang mereka sibukkan? Rumah begitu sepi. Hening malah. Tanpa sempat menelaah, aku sudah berada di atas balkon rumah – ditawari budhe jeruk berwarna orange kekuningan yang sangat besar dengan ibu di sebelah aku ikut mencicipinya...

Langit mendadak gelap. Di Tk depan rumah bermain dengan tiga keponakan kecil. Membuatku heran karena Tk itu tidak terkunci [tapi sepertinya aku melihat salah satu keponakan memegang kunci. Entah didapat dari mana]. Kami lantas masuk. Isi ruangannya sedikit berubah. Ada dua toilet baru di dekat bangku murid [ini sungguh mencengangkan ada toilet di dalam kelas]. Lemari buku, tempat duduk guru serta murid dan ornamen dinding letak dan bentuknya masih sama. Lantas tanpa aba-aba si tiga keponakan meluluhlantakkan seluruh isi kelas. Aku hanya bisa berteriak panik sambil berusaha menarik ketiga berandalan kecil keluar dari ruangan. Menyelamatkan mereka dari amuk guru besok pagi…
Alur bergerak cepat [layaknya pergerakan uang nasabah yang dihitung mbak-mbak wangi pegawai bank]. Di pelataran Tk suatu siang yang terik – dari arah selatan datang segerombolan pengayuh sepeda dengan jersey warna-warni dan para pengendara ferrari dengan dandanan sophisticated-nya melaju dalam kecepatan tinggi. Kalian pikir ini lintasan balap huh! [bahkan asap dan debunya masih mempolusi otakku hingga detik ini]. Scene berganti dengan atmosfer yang agak buram, penglihatan fokus pada tetangga yang sedang ada hajatan. Tamu hilir mudik datang bergantian dengan wajah muram...
Kemudian dengan cepatnya latarbelakang berganti menjadi sebuah toko yang entah berada dimana. Entah malam entah siang – dengan alur lambat. Di sana sudah ada aku dengan teman-teman dimasa lalu. Tiba-tiba kami diserang sepasukan hantu kumuh. Mereka bersenjata pedang panjang yang tajam. Para teman tak ada yang berani mengusir para hantu jelek. Akhirnya dengan modal nekat kukorbankan diri menghajar hantu-hantu keparat itu. Semua berhasil kuenyahkan. Tapi ada satu yang terakhir muncul yang sulit ditaklukkan, mungkin ia adalah ketuanya. Tanpa kusadari hunusan pedangnya mengenai dada. Goresannya menyilang panjang. Perih sekali. Berdenyut-denyut. Entah mengapa hantu tua berambut panjang keperakan itu tidak menghabisiku. Ternyata ketika kutolehkan kepala ke belakang sosoknya sudah menghilang… 
Semua berjalan begitu acak. Dada yang perih. Teman yang memberi perban putih. Orang-orang sibuk membeli galon air. Mobil dan manusia berserakan di jalanan. Diseberang jalan ada seorang laki-laki yang menatap heran. Aku tak mengenalnya. Tapi ia terus memandangiku. Peduli setan, aku tak tahu siapa dia! Eh tiba-tiba dia menyeberangi jalan menghampiriku. Apa maunya? Dia semakin dekat dan d-e-k-a-t… Hei di belakang kepalaku sayup-sayup terdengar suara Craig Nicholls melantunkan lagu ‘Winning Days’:
The winning days are gone
Because I know just where I'm seeing
Was giving as I know
I can't hear…

Cause underneath there's gold
I'll need to get around to find it
When I wanna go
I can dream…
I've been trying
All my time…..

I'm just seeing it right
Cause it could be the light that's over me
So I just wanna let it be…
 
 Telingaku agak tergoda dengan suara yang malas-malasan itu. Mata mengerjap, silau terkena cahaya dari kisi-kisi jendela. Kemudian otak merekonstruksi apa-apa yang dipindai mata pertama kali. Lemari di dekat pintu, poster lusuh yang terpasang miring di dinding, buku dan kaset berserakan, bau kopi yang tumpah semalam… Ternyata ini kamarku – jam 08:45. Tapi apa yang dilakukan si Craig di kamarku? Apakah ia sengaja menyesatkan diri ke sini? [menyeringai sambil meneteskan air liur. Aerrrgh….!] Hahaha ternyata itu bersumber dari radio tua di pojokan kamar. Sungguh membuat kecewa!
Dan apakah serangkaian hal absurd tadi hanyalah mimpi? Kenapa isi mimpiku tak jelas semua. Hanya satu yang bisa kumengerti – tentang menghajar hantu. Aku bisa maklum kalau bawah sadarku menampilkan citra hantu di mimpiku. Karena sore harinya aku mengulang menonton film ‘sixth sense’ dan si tokoh ‘Cole Sear’ [Haley Joel Osment] yang penyendiri sekaligus smart masih tersisa di kepala. Apalagi tatapan dinginnya [Dasar pedhopil! Hahaha...]. Omong-omong tumben aku masih bisa mengingatnya. Biasanya bagian belakang kepalaku akan berdenyut tak karuan bila mencoba mereka ulang mimpi. Hanya membuat tubuhku berguling ke kanan dan ke kiri. Frustasi. Ingin rasanya kubenturkan kepala ke tembok!
Waaah… Pagi ini pengecualian rupanya. Ini patut dirayakan! Errr… Tunggu! Atau ini gara-gara subuh tadi aku terlalu banyak mengeluarkan cairan alias mencret [ini gara-gara kopi dingin semalam] dan bodohnya itu tak menghalangi untuk melanjutkan tidur yang belum tuntas. Hm… dalam kasus ini sepertinya holmes benar bahwa “Otakku akan lebih tajam kalau perutku kosong”. Ha-ha-ha..

Post-scriptum : Goresan pedang di dada itu benar-benar terasa perih. Sungguh nyata sakitnya. Sama seperti saat aku bermimpi menghisap ganja. Benar-benar merasa melayang ke dimensi entah berantah. Padahal belum pernah mengalami sendiri bagaimana rasanya nge-fly itu. Aneh…
 

Rabu, 09 Mei 2012

DI SINI DAN DI SANA HANYA TERPISAH SELAPUT IMAJINER


Di suatu siang yang tak terlalu terik, di bawah pohon oak yang rindang kau berdiri disana seraya melemparkan senyum padaku. Tak jua berubah, senyummu masih setenang dulu. Dan mata itu – yang beberapa tahun lalu berhasil membuatku memujamu – masih sama, masih menyisakan sebentuk tanya dikepalaku sampai sekarang “bagaimana tuhan begitu bermurah hati memberimu sepasang mata yang begitu memesona, kerling yang seksi dan polos secara bersamaan”. Dan… entah berapa banyak perempuan selain aku yang terjerat dalam pesona matamu itu. Tapi aku tak menyalahkanmu, memang sudah seharusnya begitu…
Sosokmu masih sama persis dengan siluet yang terbentuk bertahun-tahun di selaput otakku. Tinggal lama disini hanya membuatmu tampak lebih matang dari apa yang biasa kulihat selama ini. Selebihnya kau tak banyak berubah. Terima kasih… karena dengan begitu aku tak perlu bersusah payah untuk mereka-reka kembali seperti apa dirimu. Berkeluh dan berpeluh mengais-ngais potongan-potongan untuk direkatkan kembali, yang padahal entah diletakkan dimana karena harus mengalah dengan kenangan-kenangan yang datang barusan. Aku tahu, itu akan sangat melelahkan sekali. Ah… kenapa tiba-tiba tenggorokanku begitu sulit untuk menelan ludah dan fokus pandanganku mendadak mengabut. “Sudah hentikan kecengenganmu itu, Bukankah ini saat yang sudah terlalu lama kau nantikan. Jadi tersenyumlah…”
Hmm… berdiri di depanmu serupa mimpi saja. Teganya kau membuatku kikuk seperti ini, mirip anak anjing yang dituduh mengencingi karpet kesayangan tuannya. Masihkah sama saperti dulu, engkau yang hangat tapi begitu tak terjangkau…
Aku [A] : “Ehm… kemeja yang bagus – rapi sekali. Kemana larinya kebiasaanmu berpakaian serba hitam dengan jeans penuh sobekan itu. Apakah disini tidak ada sesuatu yang bisa kau idolakan untuk kau tuliskan namanya dimotif kaosmu?  Ataukah karena kau tahu aku akan datang maka kau membuat pengecualian untuk hari ini. Kau tahu, itu membuatku gelisah sekaligus tersanjung…”
Dia [D] : “Hei! Untuk orang yang baru saja datang bicaramu banyak sekali. Hahaha…”
A : “Aku hanya merasa tak tahu harus meluapkan kemana kegembiraanku karena akhirnya bisa bertemu denganmu. Mungkin dengan banyak omong kau akan bisa mengerti semua apa yang ada di kepalaku dan yang ada di sini…”
D : “Ya, aku mengerti. Di sana kita tidak terlalu banyak bicara bukan? itu juga karena salahku yang tak terlalu punya nyali untuk mendekatimu.”
A : “Kupikir itu bukan hanya salahmu, mungkin selama itu kita sudah terpuaskan dengan hanya saling melihat dan mengagumi dari kejauhan. Mungkinkah karena beberapa selang waktu itu kita begitu sama-sama tak terjangkaunya. Seperti menara di tengah padang pasir. Kita yang mengagungkan kesendirian…”
D : “Bukankah itu sungguh menggetirkan? Tapi paling tidak kita bisa melihat sisi positifnya. Kau tak terlalu kehilangan saat aku pergi untuk menetap di sini karena tak banyak kenangan yang bisa kutinggalkan padamu.”
A : “Ah… bagaimana mungkin kau bisa berkata seperti itu. Bisakah kau bayangkan sesuatu yang belum tuntas dan yang tak terungkapkan pasti akan sangat menyakitkan bila ditinggalkan begitu saja. Parut luka yang meninggalkan jejak ditubuhmu yang mau tak mau menjelma serupa reminder di telepon genggam - menjadi pengingat di setiap saat.”
D : “Benarkah sepedih itu? Kupikir hanya aku yang merasakannya...”
A : “Mengapa kau bisa se-egois itu…”
D : “Aku tahu. Andai aku bisa menyuap doraemon untuk bermurah hati meminjamkan kantong ajaibnya, aku ingin kembali ke masa itu. Dimana aku tak akan sungkan-sungkan untuk menculikmu dan membuatmu bersukarela berada di sampingku selamanya.”
A : “Hahaha… Kuharap itu tak akan menjadi kenyataan. Aku tak bisa membayangkan betapa akan membosankannya itu. Mengingatkanku pada cerita dongeng semacam Cinderela. Kau sungguh menggelikan.”
D : “Eh! Kau jangan meremehkanku. Bukan hanya sekedar itu. Aku akan membawamu menyesatkan diri ketempat-tempat yang selama ini kau inginkan. Tempat dimana kita akan selalu merasa terlahir kembali dengan segala keterasingan di sekitar kita. Bagaimana menurutmu?”
A : “Baiklah, itu terdengar sangat kereeen… “
D : “Tentu saja. Dan kau akan sangat menyesal kalau tidak mencobanya. Hahaha…”
A : “Hahaha… kau sungguh mengerti.”
D : “Oh ya, bagaimana kabarmu disana Pemudi berambut besar? Sudah berapa banyak cinta yang berhasil kau jerat?”
A : “Tak sebanyak pergantian musim di satu tahun. Tak banyak yang bisa membuatku seantusias seperti saat ada dirimu. Asal kau tahu aku sudah mencoba bekerja jauh lebih keras untuk mendapatkan yang lebih daripada itu. Tapi kadang itu sangat melelahkan…  Dan bagaimana dengan dirimu sendiri wahai Pemuda gondrong berjambang? Menurut cerita yang sering kudengar banyak perempuan cantik yang berseliweran disini, berapa banyak yang sudah masuk perangkapmu?”
D : “Wah, kemana saja kau? Asal kau tahu aku tak begitu berselera dengan perempuan cantik. Kalau-pun iya, mana mungkin dulu aku mau melirikmu. Perempuan unik menurutku lebih eksotis.”
A : “Lebih tepatnya perempuan aneh mungkin. Aku tak menyangka kau ternyata bisa se-aneh itu. Hehehe… atau kau mungkin hanya ingin menyenangkan hatiku bukan? Lelaki mana yang tidak suka pemandangan indah – kalian para makhluk visual. Tapi tak bisa disalahkan juga…”
D : “Hufh… memang kadang susah meyakinkan kalian wahai para perempuan. Apa sebenarnya yang kalian mau?”
A : “Hehehe, yang kumau mari kita tinggalkan obrolan tak penting barusan itu. Errr… apakah kau betah disini? Bukankah sudah sangat lama kau tinggal di sini?
D : “Bagaimana mungkin aku bisa bosan dengan pemandangan seperti ini. Padang luas penuh rumput menghijau. Bunga warna-warni yang tak pernah layu dengan latar belakang perbukitan dibelakang sana. Disini setiap hari adalah cerah, panas yang tak memanggang. Kalaupun sedang ber-air lebih sering gerimis daripada hujan deras penuh halilintar dan petir. Dan apakah kau familiar dengan bau ini? Sangat nyaman bukan? Jadi, apakah kau akan sempat menghitung hari jika diposisiku? Kau tahu… ini semualah yang bisa menghiburku saat rinduku tak tertahankan padamu…”
A : “Aku tahu, tempat ini sangat mengesankan. Mengingatkanku pada suatu tempat di belahan bumi sana. Tempat yang sempat ingin kujejakkan kaki sebelum aku bisa menetap di sini selamanya. Tapi di sini tak kalah indah, kalaupun pada akhirnya tak bisa ke sana aku tak akan terlalu menyesal. Aku juga merindukanmu…”
D : “Tapi kita hanya bisa menangguhkan rindu ini sampai kita benar-benar bertemu dan bersama lagi ditempat ini. Melanjutkan cerita yang belum usai – yang menunggu untuk dituntaskan…”
A : “Bukankah aku sudah di sini, kita sudah berpijak di tanah yang sama sekarang. Tapi bagaimana mungkin kau bilang seperti itu…?”
D : “Karena kau belum benar-benar ada di sini. Ini hanya sebatas mimpi buatmu.”
A : “Jahat sekali… “
D : “Memang begitulah kenyataannya. Ini tak akan selama yang kau pikirkan. Jadi manfaatkanlah waktumu se-efektif mungkin wahai Alien dari planet anonim.”
A : “Hahaha, lucu sekali Tuan pemalu bermata jernih. Semoga ini tak akan menjadi sesi tanya jawab layaknya wawancara kerja!”
D : “Hahaha… kelucuanmu kadarnya tak jua berkurang rupanya. Masih saja sarkas. Tapi aku suka. Semakin membuatmu tak biasa…”
A : “Wah… di sini rupanya ada semacam mesin pengolah alphabet yang pandai merangkai kata-kata menjadi sebentuk untaian kalimat yang manis. Dan sepertinya kau telah banyak belajar darinya.”
D : “Hahaha… Dasar! Ingin rasanya kumelumatmu dalam mesin daur ulang agar kau tak ada habisnya. Hahaha…”
 A : “Hihihi… Dasar saiko abal-abal!
D : “Hush!”
A : “Hmm... Sesungguhnya aku sangat iri padamu. Diusia semuda itu kau sudah bisa sampai di sini. Eh! Apakah kau sudah bertemu Jim Morrison, Curt Cobain, Janis Joplin, John Lennon, Amy Winehouse, Bob Marley dan yang lainnya? Kalau iya, pasti sangat menyenangkan.”
D : “Benar, aku lumayan sering bertemu  mereka. Lebih sering ngobrol sambil ngopi disore hari. Menyenangkan memang, tapi tak sepenuhnya begitu. Kadang aku harus mengalah menghadapi letupan-letupan egosentris mereka. Itu mungkin karena mereka sudah terbiasa menjadi pusat perhatian di sana.”
A : “Huh! Sangat membuat cemburu. Sadarkah kau? Engkau adalah si pencuri mimpi. Seharusnya aku yang tiba lebih awal di sini.”
D : “Benarkah? Salahkan Dia. Aku bahkan tak memintaNya untuk menempatkanku semuda itu di sini. Aku rasa itulah yang membuatNya indah – si misterius yang flamboyan. Ke-ironisan yang menawan.”
A : “Hehe, benar juga. Meskipun sampai sekarang aku masih memimpikan itu. Kuharap sebelum angka 30. Syukur-syukur kalau aku bisa bergabung di “Club 27”. Hehehe…”
D : “Ya semoga... Semoga Dia mendengarmu. Pasti akan jauh lebih menyenangkan bila kau ada disini. Mencium rambutmu yang bau matahari karena terlalu asyik mengejar kupu-kupu. Bisa kau bayangkan betapa menyenangkannya itu. Tapi… aku juga pasti akan sangat bahagia jika kau bisa menghabiskan sisa waktu di sana dengan sangat menyenangkan dan dalam jangka waktu yang lama kau bisa melengkungkan senyum dibibirmu. “
A : “Entahlah… aku hanya takut mati rasa karena terlalu lama disana. Ini semacam invasi tremor karena terlalu mencandu kafein.”
D : “Aku tahu itu hanya kekawatiran sementaramu saja. Itu tak akan terjadi kalau kau mau sedikit saja merendahkan tembok pertahananmu.”
A : “Hahah… begitukah?”
D : “Jangan se-skeptis itu. Bersenang-senanglah. Kau pantas mendapatkannya.”
A : “Sungguh kata-kata yang ringan diucapkan untuk sebuah mulut yang tak lagi mengalami hidup di bawah sana.”
D : “Hahaha… kau masih saja sesinis dulu. Semakin membuatku gemas saja! Percayalah aku sangat menginginkanmu di sini, melebihi apapun yang pernah kuimpikan. Tapi aku juga tak bisa berlaku se-egois itu kepadamu…”
A : “Sungguh  menyebalkan!
D : “Hehehe… Ehem! Kurasa waktu berkunjung sudah habis. Pulanglah perempuanku…
A : “Ta-Tapi… cepat sekali! Rasanya baru beberapa detik yang lalu aku di sini. Tak bisakah kau membujukNya untuk memberiku waktu sekian jam lagi. Kumohon…”
D : “Jangan merajuk…Percayalah ini belum tuntas. Masih ada beratus bahkan beribu kesempatan lagi buatmu bertemu denganku. Itu bukan sebuah kenihilan…”
A : “Hmm… baiklah. Jagalah baik-baik dirimu di sini. Suatu saat aku pasti akan kembali. Entah itu untuk sementara atau selamanya dan aku tak ingin melihatmu berubah. Tak bisa lebih baik dari ini tampilan citramu dikedua mataku.”
D : “Pasti! Aku akan di sini menunggumu. Di tempat yang sama dengan aku, orang yang sama…”
A : “Terimakasih sudah memberiku kesempatan mengunjungimu., ini sungguh melegakan. Sampai jumpa…”
D : “Iya… Sampai jumpa lagi. Berjalanlah yang tegap. Lebarkan pundakmu. Jangan terlalu banyak menoleh ke belakang,  itu akan membuat pandanganmu mendadak kabur...”
Dan sebelum sempat aku menyahut, disaat suara masih ditenggorokan belum mencapai langit-langit mulut – kau memelukku. Hawa tubuhmu mengalahkan hangatnya udara disekitaran kita. Lantas kau bisikkan sesuatu ditelinga kiriku. Hei apakah itu? Terdengar begitu samar. Sesamar senyuman terakhirmu. Sebelum sempat kutanyakan apa maksudmu, aku terlanjur mendapati tubuhku menjauhimu dan apapun yang ada disekelilingmu. Tiba-tiba saja semuanya begitu mengawang dan berkabut. Panik menyerangku! Sosokmu lenyap begitu saja. Ada apakah ini. Ini serupa hantaman tsunami tanpa peringatan. Tak ada luang untuk meratap. Engkau benar-benar lindap dari pandangan…

Post-scriptum: Hei kamu! Aku tak akan melewatkanmu begitu saja. Aku pasti akan datang kembali, menanyakan apa sesungguhnya kata-kata yang kau bisikkan itu. Tunggu saja lelaki berambut ikal dengan kerling nakal… :p

Kamis, 03 Mei 2012

AKU si MENYEDIHKAN



Ada tikus mengerat kayu di lemari bajuku – aku tak peduli. Hingga ia melebur menjadi serpihan daging busuk penuh belatung pun, yang baunya memenuhi segala ruang dimana sepuluh jari tanganmu tak berdaya menolong lubang hidung yang kembang kempis menahan sekarat – aku tetap bergeming seperti patung selamat datang, tak kenal hujan badai maupun panas [sangat heroik bukan?!]. Saraf motorik sensorikku sudah terlanjur masuk dalam kubangan sampah limbah plastik. Perlu waktu lama untuk mendaurulang demi membuatnya berguna dan memberi arti [lagi].
Belakangan ini aku sulit membedakan manis asin asam dan bla-bla rasa lainnya – h a m b a r. Aku jadi kurang pandai mendeteksi ekspresi – sangat gagap dan kikuk. Hanya ada hitam dan putih dengan siluet garis tipis buram – bayangkan televisi tahun 50-an! Datar mendatar serupa jalan tol. Ia mungkin sekali kali penuh dengan belokan dan tanjakan, tapi karena tekstur dan konturnya yang halus akan membuatmu sulit menangis, mengaduh, mengumpat bahkan kalau perlu menangis histeris. Aku hanya orang tolol yang otot wajah dan badannya memar babak belur dihantam masalah beranonim yang sayangnya tak bersinonim dengan apapun dan siapapun. Itu tabrakan beruntun yang membuat otak dan hati nyaris mati suri – mati rasa. Hahaha, bahkan membuat garis lengkung di bibir saja sudah tak sanggup. Menyedihkan!
Inilah aku si robot bodoh dengan kulminasi sabar di bawah titik nol. Aku patuh pada kabel warna warni dan suara “bip bip bip”. Sungguh mudah sekali mematikanku. Tarik salah satu kabelku, kalu kau tak yakin kau boleh menggunakan kancingmu untuk berspekulasi. Sekali tarik aku akan mati atau kemungkinan paling buruk aku akan meledak mengasap dan kau akan memperlakukanku seperti seonggok limbah besi beradiasi – kau tak sabar lekas-lekas menggadaikanku dengan sekantong besar kerupuk rasa udang, “lihat! Mulutmu belepotan minyak!” See, mudah sekali bukan meniadakanku. Dan aku tak peduli, paling tidak tak akan ada yang tersakiti karena merasa kehilangan.
Aku adalah fosil ribuan tahun yang tertimbun berton ton balok es di kutub utara. Perlu pemburu bernyali yang tak takut waktunya terbuang sia-sia untuk menemukan, menggali dan menghidupkanku kembali.
Alien dari planet anonim adalah nama tengahku. Aku terjebak disini tanpa aku tahu kenapa. Disini semakin hari semakin asing. Semakin sulit membedakan realita atau fiksi. Setiap malam aku menghabiskan waktu di balkon ditemani secangkir kopi, hanya untuk menunggu alien dari planet entah berantah menjemputku. Karena tempatku bukan disini… Kadang aku terlalu lelah untuk terlalu banyak berharap. Ehm, mungkin saja radarnya sedang bermasalah hingga terlalu lambat untuk menyadari keberadaanku. Baiklah, kali ini kumaafkan…
Ahh… mungkin akan butuh waktu lama lagi. Akhir-akhir ini cuaca kurang bersahabat. Mana mau pesawat luar angkasa landing ditengah hujan dan angin ribut. Aarrrgh…  Damn!

KOPI

 

Suatu hari nanti aku ingin berbagi ini dengan seseorang. Berbagi cerita dalam tiap tegukan yang menyisakan hangat ditenggorokan. Tanpa penghakiman. Sangat melegakan…
Baiklah, sekarang akan kuturunkan sedikit level egosentrisku. Aku bukan menara gading dan batu karang yang tahan akan sepi dan sendiri, kau tahu “karena aku tak setegar itu” [err… sebenarnya sangat sulit dan perlu jeda cukup lama untuk mengakui ini];  kepalaku ini sudah terlalu penuh serta berpeluh dan aku perlu seseorang untuk membaginya sebelum batang otakku meledak mengeluarkan asap berputar butar menabrak dinding pembatas. Aku perlu sebentuk pundak untuk meletakkan kepala yang kelebihan muatan ini, aku lelah, terlalu lelah untuk berjalan kembali. Aku perlu pemberhentian untuk meluruskan kembali punggungku, menguatkan lagi tapak langkahku. Sebuah titik henti yang membuatku betah berlama-lama hingga membuatku lupa aku luka. Terlalu nyaman untuk beranjak dan  terlalu sayang untuk membuatnya lewat begitu saja. Karena ia seseorang dengan punggung membingkai senja.

Oh Tuhan! Omong kosong apa ini, kenapa jadi se-sentimentil ini. Apakah ini halusinasi atau semacamnya? Kumohon! beri sedikit ruang untukku bernafas… ini sungguh menyesakkan! Sial! Hahaha…