Kamis, 19 Mei 2011

BATU - kah?


x : "Ekspresimu aneh, engkau menangis sekaligus tersenyum."
y : "Aku tak tahu caranya memilah rasa secara bersamaan"
x : "Aku akan membantumu bila kau tak keberatan."
y : "Tapi aku ini batu, tak punya perasaan."
x : "Engkau bercanda, batu tak akan bingung memilah rasa.”
y : "Tapi..."
x : "Teruslah menggunakan kata - Tapi dan aku tak akan peduli."
y : "Ternyata engkau lebih batu daripada aku."
x : "Hahaha - bahkan batu pun bisa bercanda."
y : "Hehehe..." 

Jumat, 06 Mei 2011

BERANDA TANPA ATAP


"Ini cerita pendek pertama saya. Sekedar mencoba menakar sejauh mana kadar basa basi imajinasi saya"



Dari atas pundak Bapak aku bisa melihat awan-awan itu melambaikan tangan ke arahku. Dengan sedikit bergumam kubalas sapaan mereka, aku takut Bapak akan mendengarkan pembicaraan kami. Kalau sudah begini aku sering tak menganggap acuh apapun yang di bicarakan Bapak. Aku menimpali semua omongannya dengan ala kadarnya saja, hanya kata “iya” dan “hmm” saja yang keluar dari mulutku. Karena menurutku awan di atas sana lebih menarik dari apapun.

Di mataku mereka adalah kembang gula dengan bentuk yang berwarna warni. Kembang gula yang di sana seperti kepala ikan dengan mata yang melotot dan pipi penuh, terus yang itu seperti boneka beruang yang sering kulihat di televisi dan yang di ujung sana menyerupai gelembung-gelembung sabun yang hampir pecah. Hmm, mungkin akan sangat menyenangkan sekali kalau aku bisa ada di atas sana, aku bisa makan kembamg –kembang gula itu sesuka hatiku hingga perutku menyerupai badut.

Dan bila kesana aku tak akan membawa Bapak ikut serta, karena pastinya ia akan cerewet sekali. Katanya kalau aku terlalu banyak makan yang manis-manis, di malam hari akan ada monster yang diam-diam menggali lubang di gigiku dan itu akan sakit sekali. Tapi aku tahu Bapakku hanya berhalusinasi, tak ada monster yang tahan dengan air liur dan bau mulut.

***

“Nak, kalau besar nanti kamu mau jadi apa?” Tanya Bapak suatu siang di beranda rumah.

“ aku ingin jadi layang-layang,” kulirik wajah Bapak dari balik poniku, hanya untuk memastikan bagaimana reaksinya.

“Kenapa harus layang-layang?” suara Bapak terdengar biasa saja di telingaku, dan ku akui ini membuatku semakin nyaman.

“Karena aku ingin tahu seperti apa rupa awan itu sebenarnya, apakah rasanya manis seperti permen. Dan aku ingin sekali bisa tinggal di atas sana, pasti akan sangat menyenangkan sekali berteman kembang-kembang gula sepanjang waktu,” mataku berbinar-binar dan senyumku mengembang lebar saat kuutarakan alasanku kepada Bapak. Sedetik-pun mataku tak pernah lepas memandang kapas-kapas putih di atas sana. Sepertinya mereka sedang mengarak matahari agar ia lekas sembunyi.

“Jangan pergi ke sana. Engkau akan lekas kesepian. Apa yang akan kau lihat dari atas sana tak akan sama seperti apa yang kau lihat dari bawah sini. Nanti engkau hanya berteman langit biru dan mentari. Kau tak bisa mengharapkan loyalitas dan kesetiaan dari mereka. Mereka terbatas dan lekas bergegas. Sama sepertimu, keinginanmu akan sejalan dengan pola pikirmu. Akan berubah dengan seiring berlalunya waktu,” Bapak mulai ngelantur. Aku tak mengerti apa yang dibicarakannya dan aku tak peduli. Mungkin ia hanya merasa cemburu dan takut ditinggal sendirian.

“Tapi aku akan tetap ke sana,” kulihat Bapak hanya diam saja, ekspresinya datar sekali. Aku tak bisa menebak apa yang ada di pikirannya saat ini. Tapi aku tak menghiraukannya, Bapak memang biasa begitu – tak ingin menentang aku yang keras kepala, sepertinya ia sangat merindukan kedamaian. Sudahlah, kuluaskan pandanganku ke atas sana. Yaa, aku akan tetap ke sana dengan atau tanpa izin Bapak. Aku pikir sampai kapanpun awan-awan itu akan tetap ada di sana, dan kupikir dalam jangka waktu yang panjang aku tak akan kehilangan rasa ketertarikan kepada mereka. Sepertinya di balik awan sana terdapat taman bunga yang memproduksi zat adiktif. Ahh… aku tak sabar menunggu besar.

***

Aku sangat membenci perempuan itu. Ia mengambil satu-satunya orang yang ada di hidupku selama ini. Ia adalah perempuan menawan dengan tubuh yang bisa membuat jakun setiap laki-laki naik turun. Semestinya ia mudah saja mendapatkan lelaki manapun yang ia inginkan.

Tapi kenapa harus Bapak? Ia hanya lelaki biasa yang mempunyai ekspresi terdatar sepanjang sepengetahuanku. Ia juga bukan lelaki yang isi kantongnya bisa diandalkan. Harta kami hanya rumah sederhana dengan beranda tanpa atap ini. Karena ia perempuan mungkin ia akan menyukai rumah yang di halamannya terdapat taman bunga. Namun sayangnya halaman rumah kami hanyalah taman tandus yang tanahnya hampir retak.

Aku benar-benar tak habis pikir kenapa ia menjatuhkan pilihannya pada Bapak. Kalaupun ada yang bisa kubanggakan dari Bapak adalah karena ia bukan tipe pembosan. Di beranda rumah ia tak pernah lelah menemaniku menatap langit mencari awan yang bersembunyi. Membiarkanku bermain-main dengan khayalan dan ia tak pernah menolak saat kuajak bermain-main di dalamnya. Itu hampir terjadi setiap hari dan ia tak pernah mengeluh. Selama bertahun-tahun ia betah mendekam di dalam rumah ini. Mungkin sudah hampir seusia lumut-lumut di dinding rumah ini usiaku, tapi aku tak pernah sekalipun melihat Bapak meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama. Sepertinya ia telah mengubur nyalinya di rumah ini. Dan aku sangat tidak keberatan sama sekali. Aku pikir paling tidak aku masih punya teman bicara dalam bentuk manusia.

Tapi aku benar-benar tak memerlukan perempuan itu. Berdua saja sudah cukup bising menurutku, apalagi harus ditambah satu mulut lagi. Kami sudah terlalu terbiasa hidup tanpa perempuan. Dan satu lagi, aku sangat tidak suka warna bibirnya, itu mengingatkanku pada darah tikus yang kemarin babak belur dihajar Bapak. Sungguh! melihat bibirnya saja sudah membuat perutku mual.

***

Tak butuh waktu lama bagi perempuan itu untuk menjadi bagian dari rumah ini. Ia sudah seperti hantu saja, gentayangan dimana-mana. Aku sering memergokinya hampir di setiap sudut ruangan rumah. Rasanya tak ada sekotak ubin pun yang luput dari pantauan mata liciknya itu. Kalau ia seekor anjing pasti sudah dikencingi apa apa yang ada di rumah ini.

Memang, tak salah lagi ia benar-benar ingin menguasai tempat ini, sangat serius malah. Setiap pagi aku melihatnya mengendus dan mengelus-elus perabotan rumah yang warnanya membuatku amnesia membayangkan seperti apa bentuk aslinya. Dan di malam hari diam-diam aku sering mendenga suara lirihnya membacakan dongeng pengantar tidur kepada tembok-tembok dingin berlumut itu. Aku yakin ia sedang melakukan provokasi kepada mereka agar mau diajak berkonspirasi merebut rumah ini dari tangan kami.

Namun satu yang tak bisa kuterima adalah di siang hari, di beranda rumah tanpa atap itu, aku sering melihatnya duduk dengan bibir komat-kamit dan mata lurus tanpa berkedip menantang awan-awan di atas sana. Benar-benar lancang! Hanya aku yang berhak disana dan bapak adalah satu-satunya pengecualian. Saat itu juga ingin rasanya aku mencongkel mata dan menyumpal mulut busuknya itu. Tapi untung baginya, aku masih menyisakan sedikit logika di ujung kilatan mata pisau yang sekarang ada di genggaman tanganku.

Sebenarnya aku sudah sering mengadukan kelakuan perempuan itu kepada Bapak. Tapi Bapak malah menganggapku sedang berhalusinasi. Ha ha ha, bahkan sekarang Bapak mulai mempermasalahkannya. Dulu bagi bapak rasanya tak ada batas jelas antara realita dan khayalan. Aku membangun kerajaan ilusi di kepalaku dan bapak mengamininya. Kini, tampaknya perempuan itu telah berhasil meniupkan mantra-mantra ke ubun-ubun Bapak. Itu terlihat dari dahinya yang semakin mengkilap. Huh, perempan sial! Benciku sudah berlipat-lipat kepadanya.

***

Lihatlah, dirimu tampak begitu menyedihkan. Lelaki ringkih dengan kursi roda karatan. Wajah murungmu itu bisa kau gunakan untuk menarik simpati para dermawan. Rambutmu satu dua mulai beruban dan kerutan di sudut matamu mulai berakar kemana-mana, hampir mencapai pelipismu. Tapi waktu seakan tak merubah apapun. Waktu bagimu hanya sekedar pergantian siang dan malam. Hanya sebatas awan dan beranda tanpa atap. Melingkar-lingkar di tempat yang sama, hidup dalam kebosanan yang membuatmu nyaman. Ha ha ha – engkau ini benar-benar menyedihkan!

Huh, lekas kualihkan pandanganku pada cermin besar yang merangkap lemari pakaian itu. Tiba-tiba aku merasa takut dan asing dengan sosokku sendiri. Bergegas kugelindingkan kursi rodaku ke beranda rumah, di sana sudah duduk perempuan yang sudah tak asing lagi bagiku. Kami duduk bersama berbagi kesenangan disini. Saling melemparkan bisik lirih ke arah kembang-kembang gula di atas sana. Saling bergegas mengeja berbagai bentuk rupa awan sebelum mereka berubah pikiran. Dan saling berburu jejak kenangan diantara suara bising pesawat yang berseliweran di atas kepala kami.

Benar kata orang, waktu bisa memungkinkanmu untuk berdamai dengan apapun dan siapapun. Meski begitu, melihat kenyataan bahwa perempuan ini ada di dekatku sekarang kadang membuatku bergidik tak percaya.

Entah sejak kapan aku berdamai dengan perempuan itu, mulai menganggapnya ada. Hmm, mungkin sejak ia dengan telaten membantu meringankan segala kebutuhanku. Ia membantuku mendorong kursi roda menyusuri seluruh sudut rumah. Ia yang dengan telaten memandikan dan memakaian baju di tubuh ringkihku ini. Di hari-hari berikutnya tidak hanya kepada tembok-tembok, perempuan itu juga membacakan dongeng pengantar tidur kepadaku, kadang pula ia tidak beranjak dari kamarku hingga menjelang subuh. Sejak saat itu aku merasa bibirnya tidak lagi serupa warna darah tikus, di mataku ia sudah bermatamorfosa menjadi bunga mawar yang kelopaknya merah marun.

Dan tentu saja aku tak akan mengadukan hal itu kepada Bapak, karena kali ini ia tak akan menganggapku hanya sekedar berhalusinasi.

***

Dari beranda tanpa atap ini, di bagian langit sana aku melihat awan yang menyerupai kepala Bapak. Dan aku sangat asing dengan ekspresi wajah itu, tampak perahu kertas sedang sandar di bibirnya.

Bapak telah mencuri impianku, dia mencurangiku, harusnya aku yang bersenang-senang di atas sana. Layang-layangku kini putus sudah, yang tertinggal hanya potongan benang yang aku simpan di bawah bantal.

Tapi aku telah merelakannya, merelakan ia berteman dengan kembang-kembang gula di sana. Anggap saja hitung-hitung sebagai balas budi karena telah membawa perempuan berbibir merah marun itu ke rumah ini.







*Suatu tempat, 230311

Selasa, 03 Mei 2011

KEREN-KEREN DI DINDING DIAM-DIAM MERAYAP




Di minggu pagi saat saya berangkat kerja, dari jendela angkot yang saya tumpangi, saya mendapati pemandangan yang mungkin beberapa minggu lalu bola mata saya ini akan sulit mendeteksinya. Di sepanjang jalan saya melihat banyak orang yang mengayuh sepeda angin, mereka menamakannya ‘gowes’- baiklah, itu terdengar keren di telinga saya. Saya melihat mereka serupa seekor ular yang bagian tubuhnya terputus-putus dan mempunyai lebih dari satu warna. Mereka adalah puzzle yang hampir rampung tapi tak kunjung tuntas.

Sepeda sekarang ini sedang menjadi primadona. Serupa epidemi, ia menyerang tak pandang bulu – tentu saja ini tak ada hubungannya dengan ulat bulu yang akhir-akhir ini begitu ‘booming’- Dari usia yang nominalnya kecil sampai yang terbesar. Dari rumah yang petaknya bisa kau hitung dengan jari sampai rumah yang membuat kepalamu berkunang-kunang bila menghitung luas per-meter perseginya.

Bersepeda sudah menjadi ‘life style’, sesuatu yang dianggap keren. Jadi berlomba-lombalah mengikutinya. Sebenarnya saya orang yang akan ikut senang dan gembira gegap gembita bila itu adalah permanen. Jadi, paling tidak ‘keren’ itu bukan sekedar kotak berkabel warna-warni dan apa-apa yang nilai tukar materialnya semakin tinggi maka itu akan ‘terlihat’ semakin sangat sangat KEREN. Pun, bersepeda bisa dianggap keren  oleh ‘semua’. Saya rasa itu prestasi yang bukan main-main, disamping itu apakah murni untuk sebuah gaya hidup sehat atau sekedar hanya agar terlihat keren.  TAPI akan sangat disayangkan sekali bila itu hanya sebatas menjadi cendawan di musim hujan.

Melihat fenomena diatas, pernah terbersit dalam pikiran saya sebuah mimpi yang sekarang ini mungkin hanya sekedar menjadi ilusi di kepala saya; Di suatu hari nanti, di negeri ini, semua kegiatan yang melibatkan otak kanan akan menjadi life style di semua lapisan kehidupan masyarakat. Membaca buku, menggambar, menulis, membuat patung, mempelajari tari dan musik tradisional, melihat pameran lukisan di galeri-galeri seni, mengunjungi museum bersejarah, mengapresiasi seni dan lain-lain adalah sesuatu yang bisa dianggap keren oleh siapa saja. 
Hahaha… apakah saya terlalu berlebihan? Entahlah, semoga ini bukan sekedar halusinasi saya saja…


Sepertinya saya terlalu banyak menggunakan kata ‘keren’ di tulisan ini, membosankan huh? Hehehe…

RUMAH


x : "Tolong desainkan saya rumah yang seluruhnya pakai kamar mandi dalam."
y : "Nilai-nilai keluarga seperti apa yang sedang kamu bangun?"
x : "Lho kenapa?"
y : "Sadar nggak, kalau pakai kamar mandi dalam semua,rumahmu nanti akan seperti hotel."          
x : "Bukannya itu lebih enak?"
y : "Iya, enak. Tapi nggak ada nilai-nilai yang dikembangkan. Nggak ada cerita antri, nilai-nilai berbagi..."