Kamis, 24 Maret 2011

MENGKALKULASI KENANGAN

  • Ada kenangan di galon kemasan warna hijau
  • Ada kenangan di poster hitam putih “Ramones”
  • Ada kenangan di bangkai kecoak yang tinggal sebelah sayapnya
  • Ada kenangan di bungkus permen yang bertahun tahun lupa dibuang
  • Ada kenangan di gantungan baju yang sering kelebihan muatan
  • Ada kenangan di radio yang tempat kasetnya sudah rusak
  • Ada kenangan di tumpukan koran bekas
  • Ada kenangan di lemari kayu yang sebelah pintunya tidak bisa ditutup rapat
  • Ada kenangan di piring plastik bergambar kembang di pinggirannya
  • Ada kenangan di kaset Green Day “American Idiot”
  • Ada kenangan di colokan listrik
  • Ada kenangan di tas rajut lusuh dan sepatu kets butut
  • Ada kenangan di kaca jendela yang sengaja lupa dibersihkan
  • Ada kenangan di cat tembok yang mengelupas
  • Ada kenangan di satu dua tiga gerombolan jaring laba-laba
  • Ada kenangan di boneka kelinci yang entah darimana memperolehnya
  • Ada kenangan di bau bantal yang entah kapan terakhir kali di jemur
  • Ada kenangan di buku-buku hasil diskonan sekian persen
  • Ada kenangan di semut-semut kecil warna orange
  • Ada kenangan di nyamuk-nyamuk bergigi lancip penghisap darah
  • Ada kenangan di sobekan kertas dimana ada coretan yang mustahil terbaca
  • Ada kenangan di lampu yang jarang dinyalakan di malam hari
  • Ada kenangan di selotip yang bekasnya menempel kuat di dinding
  • Ada kenangan di toples yang entah berapa kali berganti isi
  • Ada kenangan di pintu cokelat yang sesekali memerlukan sedikit usaha bila ingin menguncinya
  • Ada kenangan di remah-remah roti rasa coklat
  • Ada kenangan di retakan tembok serupa gambar detak jantung
  • Ada kenangan di tas kresek putih bertuliskan nama sebuah minimarket
  • Ada kenangan di pecahan kaca milik teman kamar sebelah
  • Ada kenangan di topeng kayu hasil urunan dengan seorang teman
  • Ada kenangan di rambut rontok yang helainya tertinggal di lantai
  • Ada kenangan di…
  • Ada kenangan di…
  • Ada kenangan di…
Saya sedang mencoba mengkalkulasi kenangan-kenangan di ruangan ini. Sekedar ingin mengukur seberapa besar nyali saya untuk meninggalkan tempat ini. Ah, sebatas bangun ruang tak seberapa luas ini dan itu pun hitung-hitungan saya masih jauh dari rampung. Tapi, rasa-rasanya saya sudah tak sanggup lagi menyelesaikannya. Tiba-tiba saja pandangan saya jadi kabur dan ada banyak kunang-kunang beterbangan di atas kepala saya…

L.A.B.I.L



Ketahuilah bahwa saya sedang sangat kecewa sekali, hingga membuat saya terpaksa merasa sedih. Rasanya ada kosong dan sesak yang dilesakkan secara bersamaan di sini. Membuat saya sulit bernafas…

Saya tidak butuh pengakuan, tapi paling tidak beri saya sedikit penghargaan. Sinisme tak akan membunuh saya, namun sesusah itukah memberi sedikit senyuman. Bila tidak terbiasa, tak bisakah sedikit berpura-pura…
Ketahuilah, saya memang bukan siapa-siapa, tapi bukan berarti saya bukan apa-apa. Saya tidak bisa sepanjang waktu bersikap tidak peduli dan masa bodoh. Di dalam perpustakaan saya juga terdapat kamus yang di dalamnya ada huruf L besar bernama ‘Lelah’. Memang saya hanya manusia, tapi toh saya masih manusia [!]
Ketahuilah, saya tidak pernah menghitung dan mengungkit loyalitas dan royalitas saya. Bangkai itu semua[!] Haram bagi saya [!], meskipun hal itu kadang membuat saya kelihatan sangat-sangat bodoh…
Dan ketahuilah, saat ini saya merasa seperti ABG yang sedang curhat dengan teman perempuannya. Namun selayaknya tipikal remaja zaman sekarang; “Emangnya gue pikirin!”
Ha-ha-ha-ha-ha

Minggu, 20 Maret 2011

TANPA TUJUAN


Apa yang dapat saya lakukan dengan hidup yang sudah tidak ditunjang oleh suatu cita-cita. Secara spontan dan tanpa sadar saya mengikuti pendapat Pascal tentang "kesenangan". Tetapi kesenangan-kesenangan yang saya dapatkan tidak memberikan kebahagiaan sejati. Berulang kali saya bertanya pada diri sendiri: "Daripada meneruskan hidup yang sama sekali tak berarti, apakah tidak lebih baik bila saya mengakhiri hidup saya?" Tetapi pada saat itu, kehampaan yang saya kira akan mengikuti kematian tidak begitu menarik bagi saya. Kematian di medan perang atau di depan regu tembak nampaknya lebih berharga, sedangkan hidup dengan tanpa tujuan, seperti juga mati dengan tanpa tujuan, nampaknya tidak berarti. Maka saya tetap menolak keinginan untuk memilih kematian. Mungkin juga dalam alam ketidaksadaran saya ada setitik harapan bahwa saya akan menemukan suatu kehidupan baru.*


* Dikutip dari buku Ateisme Dewasa Ini   ditulis oleh Ignace Lepp

TOLONG


Tuhan, tolong kirimi saya segelas jus tomat. Siang ini panas sekali... 

PAGI YANG DINI


Dini hari, di luar sedang bulan penuh. Sepertinya banyak orang yang menantikannya. Tak seperti biasanya, entah kenapa kali ini aku tidak terlalu antusias untuk ikut menikmatinya. Bisa jadi karena aku kurang nyaman kalau apa yang aku sukai ternyata disukai banyak orang juga. Entahlah, aku lebih bisa menikmati sesuatu kalau hanya ada interaksi antara aku dan sesuatu itu. Aku perlu keintiman untuk menikmati sesuatu. Seperti saat aku menikmati sebuah lukisan, aku tak ingin mendengarkan suara-suara di belakang kepalaku. Aku tak peduli apakah lukisan itu bagus atau tidak. Karena aku percaya tak ada keindahan yang mutlak, setiap orang punya standartnya sendiri-sendiri. Untuk menikmatinya aku hanya perlu diam untuk bisa membiarkan mata, kepala dan perasaanku berintim ria dengan kanvas-kanvas bergambar itu. Membebaskan gambar dan goresan cat itu bercerita sendiri kepadaku

Di luar bulan masih penuh. Dan aku diam berpeluh di dalam ruangan ini. Suara-suara dibalik jendela itu sangat menggangguku. Sedangkan suara-suara di kepalaku juga tak mau kalah. Sungguh berisik! Sesekali aku berbicara pada tembok untuk mengalihkan kebisingan itu. Tapi dasar tembok sialan! ia tak mengacuhkanku, ia memunggungiku, sedang menikmati sinar bulan katanya. Sejak kapan ia begitu peduli pada cahaya, selama ini aku lebih sering mematikan lampu sepanjang hari di kamar ini. Baiklah, kualihkan kegelisahanku pada bantal bantal ini saja, siapa tahu mereka lebih berempati. Tapi sial! sama saja, mereka sibuk membicarakan kecoak yang kemarin menjadi bangkai di atas tubuh mereka. Kukeraskan volume suara radio, mencoba sedikit meredam suara-suara itu. Sedang tidak beruntung! suara itu bahkan lebih keras berpuluh kali dibanding suara dari kotak berkabel itu. Kalau begini harusnya kugembalakan saja suara-suara ini ke dalam tidur, namun sayangnya aku belum mengantuk. Secangkir kopi dari sachet coklat seribuan itu ternyata berhasil membuatku terjaga sampai subuh. Konsekuensinya aku harus bertahan dengan kegelisahan dan kemuraman yang ditimbulkan suara-suara itu. Ini membuatku seluruh pori-pori tubuhku mengeluarkan kelenjar lembab. Hmm... bau apakah ini, seperti bau tanah kering sehabis hujan panjang. kuendus-enduskan hidungku kesana-kemari. Aah brengsek! bahkan aku tak mengenali bau keringatku sendiri. Di sini, Dini hari ini aku benar-benar terasing dari diriku sendiri.

Sudah pagi, apakah bulan di sana masih menarik perhatian orang-orang? aku tak peduli. Biarlah mereka dengan kesenangan mereka sendiri. Aku hanya ingin tidur barang beberapa jam. Beruntung, bersamaan dengan suara adzan subuh di luar sana mataku mulai menyipit menahan kantuk. Sudah cukup untuk suara-suara penuh peluh. Saatnya menidurkan kepala di atas bantal. Selamat tidur untukmu bulan yang dini hari tadi jadi primadona. Hanya sebentar dan engkau akan segera dilupakan. Dan aku akan kembali memujamu. Selamat pagi, tidur yang nyenyak...

Kamis, 17 Maret 2011

KAPAN MATI?



Ketika kucing kesayangan ibu saya mati, saya tidak menangis. Saya pikir karena itu sudah waktunya. Ketika nenek buyut saya meninggal, saya tidak terlalu sedih. Saya pikir karena dia sudah tua. Dan ketika lelaki yang saya sukai pergi untuk selamanya, saya begitu sedih dan tiba-tiba saya sangat membeci malam hari. Saat itu saya pikir Tuhan sangat tidak adil. Namun kemudian saya mengerti bahwa semua itu tentang berapa kenangan yang saya punya dan saya buat. Jumlahnya akan berkolerasi positif dengan berapa banyak produksi air mata yang akan saya hasilkan.  Kadang hal itu membuat saya berpikir bagaimana kalau seandainya saya yang mati, apakah mereka juga akan bersedih atau biasa-biasa saja. Hmm, saya rasa juga akan sama saja. Akan selalu ada hukum timbal balik. Saat kau memberi lebih engkau akan menerima banyak, begitu pula sebaliknya.

Sebenarnya [sampai saat ini] saya tak pernah benar-benar peduli kapan tepatnya saya akan mati. Entah besok, entah lusa, entah bulan depan atau entah tahun depan saya sungguh-sungguh tak ambil pusing. Bagi saya mati adalah konsekuensi dari hidup. Seperti saya harus cuci piring sehabis makan. Dan saya sama sekali tak menghiraukan apa yang akan terjadi setelah saya mati. “Lalu bagaimana dengan surga dan neraka?” jangan salah, saya masih percaya Tuhan. Ketika saya berbuat baik dan saat saya tidak melakukan hal-hal buruk itu bukan semata-mata karena saya mengharapkan pahala [surga] dan menghindari dosa [neraka]. Tapi itu juga karena kesadaran saya sebagai manusia yang mempunyai kemampuan untuk berfikir dan merasa. Saya rasa setiap orang mempunyai sisi ‘manusia’ dalam dirinya, dan saya pikir agama bukanlah satu-satunya yang mengajarkan itu. Jadi biarkan surga dan neraka itu menjadi hak prerogative Tuhan. Saya tak tertarik untuk melakukan intervensi-intervensi membabi buta. Lagi pula sangat tidak mudah untuk memanipulasi Tuhan. Dia bukan keponakan saya yang gampang dirayu dengan sebatang lollipop. Sayang sekali memang. Hehehe…

Tapi, sejujurnya saya lebih takut di tinggal mati dan lebih cemas  memikirkan perasaan orang yang akan saya tinggal mati. Dan saya sesungguhnya kadang tak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan mereka – bapak dan ibu saya salah satunya– daftar teratas dalam prosentase tabel kenangan saya. Seperti apa rasanya kehilangan sesuatu yang sudah terbiasa ada di saat kita sudah menjadi sebagian dari hidupnya. Apakah lebih menyakitkan daripada kehilangan sebuah buku kesayangan yang telah dibaca berpuluh-puluh kali. Memang engkau mungkin akan mendapatkannya lagi di toko buku, tapi di sana ada kenangan yang tidak bisa di beli di toko buku manapun. Di buku itu ada bekas coretan-coretanmu, ada bekas lipatan-lipatan penanda bacaanmu, ada bau khas dari buku itu yang selalu membuatmu nyaman, ada jejak tangis dan tawa yang kau tinggalkan disana dan entah ada berapa ribu sidik jarimu di buku itu. Saat kau melihat buku lain engkau akan selalu teringat pada buku yang hilang itu. Benarkah rasanya lebih menyakitkan dari itu? Ahh… Melukiskannya di kepala sepersekian detik saja sudah membuat saya sulit bernafas.

Dan bagaimana kalau saya yang lebih dulu pergi meninggalkan mereka? Sungguh saya takut membayangkan perasaan mereka. Mungkin itu seperti menggali kenangan di tanah tandus dengan menggunakan skop karatan. Akan membuat sakit sekujur tubuhmu dan membuat suhu badanmu tiba-tiba meninggi lalu engkau akan bermandikan keringat dingin. Sampai kapan kau akan bertahan dan terbiasa lalu sembuh dari rasa sakit tubuhmu itu? Itu  semua tergantung seberapa besar daya imunmu. Atau bahkan kau akan membawa rasa sakit itu seumur hidup. Pernah suatu kali saat saya sedang sakit, saya iseng bertanya pada ibu, “bagaimana kalau aku mati?” Lalu jawab ibu, ”kalau engkau mati ibu juga bisa mati,”. Entah itu serius atau tidak, yang jelas jawaban itu selalu menjadi senjata ampuh saya saat melawan suara-suara bertanduk di kepala.




Jadi… kapan saya dan mereka akan mati? Siapa yang meninggalkan siapa? Siapa yang ditinggalkan siapa? Hahaha. Untungnya Tuhan masih berbaik hati merahasiakannya. Sehingga saya masih bisa menikmati jus tomat ini tanpa harus takut tersedak. Satu tegukan terakhir dan [mungkin] besok besoknya lagi saya masih bisa menikmatinya lagi… :]  

Selasa, 01 Maret 2011

TEMAN LEMARI KAYU


Aku mempunyai seorang teman. Temanku itu berambut panjang dengan warna merah menyala. Kami seumuran. Postur tubuhnya juga hampir mirip denganku, namun dia lebih tinggi 1-2 cm dariku. Tapi aku tidak yakin dengan warna bola matanya, selalu berubah-rubah setiap harinya. Hal yang disukainya adalah saat rambutnya yang panjang itu tertiup angin, seperti ia telah  menjangkau surga dengan rambut yang melambai-lambai itu. Hal yang paling dibencinya adalah ketika ada semut yang menggigit matanya, seperti ia melihat neraka di mata yang diameter kelopaknya sudah bertambah beberapa inci itu.

Temanku itu meletakkan logika di tangan kanan. Dia tak pernah menbiarkan seorangpun menjabat tangannya, ia takut seseorang akan mencurinya. Aku sering menggigit lidah bila berbicara dengannya. Membuat mulutku ditumbuhi bulatan kecil berwarna putih, dan terasa sakit sekali bila digunakan mengunyah makanan. Kadang di depannya aku sering mencuri-curi pandang ke dalam tangan kanannya, berharap dia lengah agar bisa mencukil otaknya meski sedikit. Namun aku takut dia akan menempelengku dengan tangannya itu. Itu akan membuat kepalaku sedikit berdenging. Tapi aku masih berteman baik dengannya…

Setiap ada di dekatnya aku dengan berat hati menyembunyikan khayalan-khayalanku [dia menyebutnya omong kosong] di kantong celana, yang sebenarnya membuatku sangat tersiksa karena celanaku sempit sekali. Kadang juga aku menyembunyikannya di dalam kaos kaki yang sudah lupa seperti apa bau deterjen itu. Aku seperti orang yang terserang kram sekujur tubuh bila ada di dekatnya. Kadang juga serupa robot yang kehabisan baterai, berkedap-kedip seperti lampu disko. Tapi dia masih teman baikku...  

Dia adalah teman dengan ekspresi terdatar yang pernah aku kenal. Dia adalah menara es, aku harus mendongakkan kepala dari kejauhan untuk melihatnya agar tidak ikut membeku bersamanya. Saat sedang duduk sebangku dengannya, waktu adalah seekor siput. Pantat  rasanya gatal sekali, ingin sekali menggaruknya tapi aku ngeri dengan sorot mata dingin itu. Aku takut dia akan menyihirku menjadi boneka salju dengan perut gendut dan ranting yang menancap di hidung. Tapi kami masih berteman baik...

Ssst… jangan bilang siapa-siapa, ini  rahasia; suatu malam tanpa sengaja aku memergokinya mengigau dengan tangan kiri terkepal erat, sedang tangan kanannya dia masukkan kemulutnya, dan itu membuat wajahnya kelihatan sangat aneh. Dan tiba-tiba saat itu juga aku begitu ingin memutilasi tangan kanannya, akan aku ganti dengan tangan boneka monyetku. Itu akan membuatnya berpikir dua kali bila ingin menjejalkan tangan kanannya ke dalam mulut lagi. Lagian siapa yang ingin mengulum tangan monyet!

Hahaha… Ada cula di kepalaku, apakah barusan aku menyeringai seperti tokoh antagonis di sinetron?!




* untuk teman yang tinggal di lemari kayuku; jangan tanya kenapa aku masih bisa berteman baik denganmu – Engkaulah satu-satunya yang setia mengusap kepalaku saat aku masuk ke ‘rumahmu’ dengan mata sembab [dengan tangan kananmu]