Senin, 31 Agustus 2009

11 : 33



Duduk sendirian di lorong
Menatap rumput-rumput liar
Bergoyang ditiup angin kesana kemari
Panas terik siang ini
Meninggalkan jejak-jejak gersang
Pada tanah yang mulai retak satu-satu
Seperti puzle yang tak tentu bentuk
Celah-celahnya tak mampu merayu
Seekor cacing tanahpun untuk berkubang di sana
Sangat meratap.........
Tak ada yang peduli......
Tak satupun terkasihani.....
hanya bisa meringis menahan perih

Hawa panas mengusap nanar wajah

Menampar-nampar emosi
Menggelegak dalam percikan darah
Sekujur tubuh terkulminasi
Meraung-raung penuh gelagat
Ingin luruh dalam bayang bola api
Menyatu dalam awan yang membayang
Membentuk satu berkas cahaya tak ternafikan
Menyenangkan.......
Tanpa pamrih........
Bergulung pada rentetan fragmen tak berbingkai
Tak terkungkung pada batas
Keleluasaan untuk sebuah aktualisasi diri
Merdeka dalam napas sendiri
Menawan hati.......

Panas semakin membuncah

Mengendapkan bulir-bulir keringat
Mengaliri tiap lekuk tubuh
Tercumbu tanpa terasa
Melekatkan kulit ari pada nelangsa
Seiring daun-daun kering yang merontokkan diri
Atau mungkin.......
Dirontokkan oleh angin tepi
Pohon-pohon berbenih benalu
Tak mampu memberi damai dahannya
Kekuningan diberangus metafora
Menjadi fatamorgana
dalam rabun senja........

Heiii...........

Coba tengokkan kepalaku
Ada kupu-kupu melintasi gairah tengah hari
Hinggap pada pucuk ilalang yang mengering
Mengeras dalam dekapan waktu pilu
Tapi tak mengeluh kalah
Bertahan di tengah gempuran surya
Tersadar aku tiba-tiba........
Untuk apa aku membusukkan diri disini
sendiri...........
Tertohok emosi dan rasaku
Pada kupu-kupu yang sepintas lalu
Yang sayapnya sudah mulai rapuh
Membentuk jaring-jaring karang......

Lalu......

kupaksakan tubuh berdiri
Langkahkan kaki menyusuri lorong ini
Hmm........
Tiba-tiba semua terhirup wangi
Seiring detak langkahku....
Hati dan jantung_pun ikut bernyanyi
Indah.........

Rabu, 19 Agustus 2009

MERDEKA!!!

 
Kalau kau pikir kita sudah merdeka.
Lihatlah wanita tua di ujung aspal sana.
Berteman panas matahari mengejar mimpi.
Meski usia tinggal sepenggal nafas.
Tak urung menjejakkan langkah kaki telanjangnya.
Di atas aspal panas yang penuh luka.
Menengadahkan tangan.
Mencari belas kasihan kepada sesama pribumi.
Receh demi receh begitu berarti atas nama sesuap nasi.
Bukan karena malas ia meminta-minta iba.
Tapi karena zaman begitu anti pati pada dunianya.
Akankah yang duduk di atas sana peduli akan rintihnya.
Akankah bisa melihat derai air matanya
diantara silau kuasa yang membuncitkan perut.
Tapi aku tahu……
Perempuan tua itu tak butuh empati dan simpati palsu.
Dia akan terus bisa melanjutkan hidup.
Bergelinjangan dengan kerasnya hidup yang kasat mata.
Karena tak ada gunanya menggantungkan hidup pada Negara.
Yang sibuk mengurusi kuasa orang berpunya.
Dibalik kedok gubuk-gubuk rakyat jelata.
Jadi………
Memeras keringat darah di negeri sendiri.
Di ujung dera saudara sebangsa sendri.
Tak punya kuasa menentukan nasib sendiri.
Pantaskah itu disebut sebuah kemerdekaan…?!

Kalau kau pikir kita sudah merdeka.
Tengoklah suara-suara yang terbungkam sudah.
Hanya membentur tembok-tembok tebal tak kenal nurani.
Memberangus pendapat-pendapat berlidah api.
Yang akan membakar kerut dahi mereka.
Kepala yang hanya digunakan untuk kepentingan sendiri.
Peduli setan…..!!!
Kantong tebal,telah penuh dolar.
Tak peduli apa kata kaum termarjinalkan.
Mereka hanyalah boneka yang didengarkan.
Dan dianggap ada.
Jika ada yang dibutuhkan.
Peduli setan suara perubahan yang merontokkan kantong….!!!

Kalau kau pikir kita sudah merdeka.
Lalu dimanakah perginya rasa aman.
Kemanakah larinya sebuah kebanggaan.
Tersudut kemanakah kaum terpinggirkan.
Tersesat di ujung manakah segala mimpi-mimpi anak pribumi.
Dan begitu banyak pertanyaan untuk mempertanyakan
segala kemerdekaan ini.
Kemerdekaan yang sudah terbiasa dirayakan setiap setahun sekali.
Sudah biasa…….
Sangat biasa malah………
Tapi kebiasaan tanpa makna adalah kesia-siaan belaka.

Kemerdekaan bukanlah seremonial belaka.
Bukan hanya pengibaran bendera kurang lebih satu jam.
Setelah itu usai sudah.
Bukan cerocos pidato-pidato pengobar semangat.
Juga bukan sekedar lomba-lomba penggembira.
Kemerdekaan adalah pemaknaan.
Merdeka bukan hanya terbatas pada pengertian
merdeka politik,dalam batasan Negara dan bangsa.
Melainkan juga merdeka dalam hal pemikiran dan jiwa
dalam batasan sebagai manusia-manusia hamba Tuhan.
Dan merdeka dari semua bentuk “dominasi” manusia lain.

Betapa banyak darah yang mengalir.
Dan betapa banyak nyawa melayang.
Demi tegaknya kedaulatan bangsa.
Api semangat para pahlawan yag tak pernah padam.
Mempertahankan tetap tegaknya sang saka merah putih.
Terima kasih para pahlawan-pahlawanku.
Segala jasa-jasamu patut di hargai dan diteladani.

Lalu dimanakah kita…..
Dalam mengisi kemerdekaan ini.
Agar darah dan airmata para pahlawan tidak terbuang sia-sia.
Isi kemerdekaan dengan apa yang kita punya dan kita mampu.
Walaupun hanya seujung kukupun……..
Pertahankan kedaulatan bangsa!
Kobarkan nasionalisme!
Walaupun apa yang terjadi…….
Sebobrok apapun bangsaku ini nanti.
Indonesia tetaplah kebanggaanku.
Gumpalan darah ragaku……
Hembusa nafas ke_ADA_anku……
MERDEKA……!!!



* To all invincible heroes who’s been fighting for humanity,environment,and animal right.My deepest respect.Goes to all.Thank you. ^_^

DIAM

DIAM

Hmm………
Mencoba mendiamkan diri sejenak.
Membiarkan pikiran berlari liar.
Melintasi cengkeraman dimensi waktu.
Mengayuh di rimba luas masa lalu.
Mengais-ngais peluh yang masih tercecer.
Di dinding terjal hati yang telah berkerak.
Berlumut sudah di sana.
Menjadi lembab pelataran logika.
Meraung……..
Meronta………
Membabi buta………
Lalu lemah lunglai tak punya daya.
Upaya pun tak ada kuasa.
Lelah terisak-isak .
Menembus kelenjar air mata.
Yang kering sudah……….
Suara-suara di kepala……
Terdesak segala kepekatan kelam.
Mencekat di ujung lidah yang kelu.
Menjadi dahak penuh nanah menahun.
Hanya bau busuk…….!!!
Hanya sampah penuh laknat…….!!!
Jika kusemburkan segala.
Apa yang berjejal-jejal dipelupuk otak.
Akan mengkontaminasi udara.
Euforia dan histeria akan terjerat
lolongan serigala bermata merah.
Dosa niscaya menggelinding kemana-mana.
Membentur dinding-dinding ego megalomaniak.
Yang sudah berkarat dan berlubang-lubang.
Habis dimakan tikus-tikus rakuskah?
Atau……..
Luluh lantak digerus fantasi imaji
yang sulit diaplikasi.
Entahlah……..
Tanyakan pada suara sumbang malam.
Biarkan bercermin pada purnama.
Yang begitu kalap ingin didekap.
Mungkin bisa meremukkan tulang rawan rasamu.
Ohh……
Betapa rapuhnya senyawa melankolia ini.
Dan………
Aku terus terpaku di sini.
Membiarkan khayal menebar jaring laba-laba.
Mencari mangsa di dunia nyata.
Kemudian mencumbunya di sekat benang rapuhnya.
Jaringpun menjadi taring…..
Merobek-robek aliran darah di syarafku.
Menancapkan geligi tajam.
Pada luka yang masih basah.
Rasaku telah terbang menjadi remah-remah.
Berserakan tanpa arah.
Sangat payah…….
Bertekuk lutut tersudut sepi.
Tapi…….
Menjadi sebongkah espun
tak akan membekukan jiwa.
Karena aku yakin pada nyala.
Yang masih tersisa……..
Di sini……..
Di titik paling nadir kalbuku.
Disanalah asaku menapakkan jejak di pasir berdebu.
Biarkan aku bertemaram cahaya samar……..
Hanya untuk saat ini……..
Kali ini……..
Biarkan ku pintal jaring-jaring laba.
Menjadi sepasang sayap malaikat.
Yang akan membawaku terbang.
Melintasi dunia imaji fatamorgana.
Tempatku menghibur diri.
Dari pengapnya dunia nyata
yang tak mungkin terelakkan.
Biarkan ku diam.
Dalam jiwa yang mengalun pelan.
Hening……….
Tak terasa…….
Tak dinyana……..
Larut……….
Luruh……..
Lalu menjauh………..